Ini sebuah kisah
untuk dijadikan Pengalaman dan Pelajaran bagi Ayah Yang Ringan Tangan
Sepasang
suami isteri, seperti pasangan lain di kota-kota besar -- meninggalkan
anak-anak diasuh pembantu rumah saat bekerja. Anak tunggal keluarga ini, gadis
kecil berusia 4,5 tahun, sendirian di rumah. Acapkali dia bermain, asyik dengan
dunianya sendiri, diabaikannya pembantu yang juga sibuk membersihkan rumah.
Bermainlah dia, berayun-ayun di atas buaian yang dibelikan papanya, ataupun
memetik bunga, mengejar kupu-kupu, di halaman luas rumahnya, dengan pagar yang
selalu terkunci rapat.
Suatu
hari, dia melihat sebatang paku berkarat. Tertarik, dia pun mencoret lantai
garasi. Tapi, karena lantainya terbuat dari marmer, coretan tidak kelihatan.
Tak putus asa, coretan dia pindahkan ke mobil papanya, yang baru datang sebulan
lalu, mobil mewah berwarna hitam metalik. Coretannya pun tampak jelas. Dia
gembira, dengan tanpa lelah, dia tarik garis-garis putih sepanjang mobil itu,
dan dia bayangkan, "papa akan senang, mama akan senang..."
Ia
tahu, menjelang sore, papanya akan datang, dengan ibu, sehabis menghadiri undangan.
Setelah penuh coretan sisi sebelah kanan, dia beralih ke sebelah kiri mobil.
Dia gambar wajah papa dan mamanya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan
lain sebagainya mengikut imajinasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari
si pembantu rumah. Pulang petang itu, terkejut orang tua si anak ini, melihat
mobil yang baru dibeli dengan kredit, sudah penuh cacat. Si bapak yang belum
lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, "Kerjaan siapa ini?!"
Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga
beristighfar. Wajahnya merah padam ketakutan saat melihat wajah bengis tuannya.
Sekali
lagi, dia mendengar pertanyaan itu, lebih keras, dan dengan gugup, dia
menunduk, "Tidak tahu, Pak..." "Tak tahu?! Kamu di rumah
sepanjang hari, apa saja yang kamu lakukan?" hardik si isteri lagi. Si
anak yang mendengar suara papanya, datang tiba-tiba berlari keluar dari
kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata, "Ita yang membuat itu papa...
cantik kan?!" katanya sambil memeluk papanya, ingin bermanja seperti
biasa.
Si
bapak yang hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon bunga
raya di depannya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya.
Si anak yang tak mengerti apa-apa itu, melolong, kesakitan dan ketakutan. Puas
memukul telapak tangan, si bapak memukul pula punggung tangan anaknya. Si ibu
cuma mendiamkan, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman itu. Pembantu
rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa? Si bapak cukup rakus
memukul-mukul tangan kanan dan kemudian tangan kiri anaknya.
Setelah
si bapak masuk ke rumah dituruti si ibu, pembantu rumah menggendong anak kecil
itu, membawanya ke kamar. Dilihatnya telapak tangan dan punggung tangan si
anak, luka kecil dalam, berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu.
Sambil membersihkan luka-luka itu, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga
terjerit-jerit menahan kepedihan saat luka-lukanya itu terkena air. Si pembantu
rumah kemudian menidurkan anak kecil itu di kamarnya. Si bapak, juga si ibu,
seakan tak begitu perduli.
Keesokkan harinya, kedua-dua belah tangan si
anak bengkak. Pembantu rumah mengadu pada majikannya. "Oleskan obat
saja!" jawab tuannya. Pulang dari kerja, dia tidak bertanya lagi tentang
anaknya, yang biasa selalu menyambutnya dengan pelukan. Ia biarkan anaknya di
kamar pembantu. Si bapak mungkin ingin mengajar anaknya. Tiga hari berlalu, tak
pernah sekali pun dia menjenguk si anak. Si ibu pun sama, hanya sesekali
bertanya kepada pembantu.
"Ita
demam, Bu...” jawab pembantunya ringkas. "Kasih minum Panadol," jawab
si ibu. Sebelum masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dia
lihat Ita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar
pembantunya. "Biar Ita tahu dia telah melakukan kesalahan," bisiknya.
Masuk
hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Ita
terlalu panas. "Sore nanti kita bawa ke klinik. Pukul 5.00 tepat,"
kata majikannya itu, santai. Sore itu, Ita pun di bawa ke dokter. Tapi, dokter
klinik langsung merujuk ke rumah sakit karena keadaan yang kian serius. Setelah
seminggu di rawat inap, dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. "Tidak
ada pilihan lagi," katanya, dengan suara yang putus asa. Dokter
mengusulkan agar kedua tangan anak itu diamputasi kerana gangren yang terjadi sudah
terlalu parah. "Lukanya sudah bernanah, parah. Demi menyelamatkan nyawanya
kedua tangannya perlu dipotong dari siku ke bawah," jelas dokter.
Si
bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia
berhenti berputar. Tapi apa yang dapat mereka katakan. Si ibu meraung merangkul
si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si bapak seperti
orang gila, menangis tersedan-sedan saat menandatangani surat persetujuan
amputasi.
1 comments:
Sebagai ibu kita patut juga menghalangi perbuatan suami memukul. Khususnya pada anak-anak yang masih kecil dan tak tahu apa-apa. Mengajar dgn cara memukul bukanlah cara terbaik. Semoga kisah ini menjadi pengajaran terbesar buat kita.
Post a Comment