RSS
Container Icon

::. Ummu Hakim : Wanita Qurais Yang Berjuang Mengislamkan Suami .::


Sosok qudwah wanita muslimah kita kali adalah seorang wanita yang berjuang untuk menyelamatkan suaminya dari kemusyrikan dan kekafiran, membawanya ke bawa naungan Islam sejati, berkasih sayang di atas agama dan keridhaan Allah Ta’ala.

Hal itu bukanlah perkara yang mudah bagai membalik telapak tangan, karena suaminya adalah seorang yang paling antipati terhadap Islam dan memusuhi Rasulullah SAW serta para sahabat beliau. Juga karena ayah suaminya itu adalah seorang pemimpin utama kaum musyrikin, eksekutor serta pelaku penindasan yang sadis yang telah menjatuhkan berbagai hukuman kepada orang-orang mukmin, ialah Abu Jahal, sedangkan suami wanita muslimah kita ini adalah putra Abu Jahal bernama Ikrimah.

Ia bernama Ummu Hakim binti Al-Harits bin Hisyam dari kaum Quraisy. Bapaknya saudara Abu Jahal dan ibunya adalah Fathimah binti Walid kakak Khalid bin Walid. Ikrimah inilah suami pertama Ummu Hakim binti Al-Harits, putra pamannya, seorang pemuda terpandang; baik dari segi harta maupun keturunan. Karena kepemimpinan ayahnya Abu Jahal maka ia menjadi terpola untuk memusuhi Rasulullah SAW dan bahkan ikut menyiksa kaum muslimin denagn siksaan yang pedih demi menyenangkan hati bapaknya.

Terbunuhnya Abu Jahal pada Perang Badar membuat kebencian Ikrimah terhadap Islam makin berkobar. Kalau dahulu ia membencinya karena ingin menyenangkan ayahnya, tetapi sekarang kebenciannnya adalah untuk membalas dengan kematian ayahnya. Dari sinilah api permusuhan berkobar serta kebencian Ikrimah (dan orang-orang yang juga kehilangan keluarga mereka di Perang Badar) membara.

Pada mulanya, Ummu Hakim juga ikut bahu-membahu dengan suaminya dalam memusuhi Islam. Pada Perang Uhud ia bersama wanita-wanita Quraisy lainnya yang juga mendendam akan kematian keluarga mereka pada Perang Badar, berdiri tegak di belakang barisan musyrikin sambil memukul gendang untuk memberi semangat bagi tentara-tentara musyrikin agar terus maju. 

Pada hari itu kaum musyrikin mendapatkan sebagian keinginan mereka, hingga Abu Sufyan berkata, “Ini adalah balasan atas Perang Badar”. 

Pada penaklukan kota Mekah, Rasulullah SAW melarang panglima pasukannya untuk bentrok senjata secara langsung dengan orang-orang kafir kecuali kalau mereka diserang terlebih dahulu. Di saat itulah Ikrimah mengumpulkan pengikutnya dan menyerang pasukan yang besar dari pasukan-pasukan kaum muslimin. Akhirnya pasukan Ikrimah yang tak seberapa jumlahnya itu pun kalah, ada yang mati dan ada pula yang melarikan diri. Termasuk yang melarikan diri adalah Ikrimah bin Jahal.

Setelah kota Mekah ditaklukkan, Rasulullah SAW memberikan maaf kepada kaum Quraisy yang dahulunya melakukan berbagai tindakan dalam memusuhi beliau, dan mengatakan perkataan beliau yang masyhur, “Pergilah kalain, sesungguhnya kalian telah dibebaskan.” Hanya saja, Rasulullah SAW mengecualikan beberapa orang dengan memerintahkan di bawah kelambu Ka’bah. Di antara mereka yang dikecualikan itu yang paling utama adalah Ikrimah bin Abi Jahal. Maka karena mendengar hal itu Ikrimah secara sembunyi-sembunyi melarikan diri menuju ke Yaman.

Di sisi lain, Ummu Hakim istri Ikrimah bersama Hindun binti Uqbah menuju rumah Rasulullah SAW bersama sepuluh wanita lain, untuk mengungkapkan bai’at kepada Rasulullah SAW dan memeluk agama Islam. Setelah Hindun binti Uqbah menyatakan keislamannya, Ummu Hakim pun berdiri menyatakan keislamannya, lalu ia berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, Ikrimah telah melarikan diri menuju ke Yaman karena takut engkau akan membunuhnya. Berikanlah keamanan baginya, semoga Allah memberikan keamanan kepadamu.” Rasulullah SAW, “Ia telah mendapat keamanan.”

Seketika itu juga Ummu Hakim berangkat mencari Ikrimah ditemani oleh budaknya dari bangsa Romawi. Teriknya matahari, panasnya cuaca gurun sahara seakan tak terasakan oleh Ummu Hakim demi mendapatkan suaminya agar ia mau kembali dan masuk Islam bersamanya. Bahkan di tengah perjalanannya, budak Romawi yang menemaninya mencoba menggodanya untuk melakukan selingkuh, sungguh besar penderitaan wanita lemah berhati baja ini, menempuh perjalanan yang jauh, mengarungi padang pasir yang panas membara, mencari sang suami tercinta, sementara di tengah perjalanan budak yang seharusnya menjadi pelindung baginya berbalik menjadi bak serigala mendapatkan mangsanya. Wanita lemah ini memohon dan meminta tolong kepada penduduk kampung itu, lalu mereka menangkap budak tersebut dan mengikatnya di sana. Sedangkan Ummu Hakim meneruskan perjalanan tanpa teman, dan hanya Allah-lah yang menjaganya dari segala malapetaka.

Akhirnya dengan susah payah ia pun dapat bertemu dengan orang yang ia cari-cari, di tepi pantai di daerah Tihamah, ketika itu Ikrimah sedang bertransaksi dengan seorang nelayan muslim. Nelayan itu berkata kepadanya: “Bayar dahulu baru aku akan menyeberangkanmu.” Ikrimah berkata, “Bagaimana aku membayarmu?” Nelayan itu menjawab, “Dengan mengucapkan 
"ASHHADU ALLAH ILAHA ILLALLAH, WA ASHHADU ANNA MUHAMMADAR-RASULULLAH  ***                            in arabic Ø£Ø´Ù‡Ø¯ أن لااله الا الله وأشهد ان محمد رسول الله
Ikrimah menjawab, “Aku tidak melarikan diri melainkan dari itu.

Di saat itulah Ummu Hakim datang, lalu ia berkata kepada suaminya, “Wahai putra paman, aku datang dari sisi manusia yang paling mulia yaitu Muhammad bin Abdullah, aku telah meminta keamanan bagimu dan beliau menyetujuinya, janganlah engkau mencelakakan dirimu sendiri.” Ia berkata, “Engkau sendiri yang telah mengatakan kepadanya?” Ummu Hakim menjawab, “Ya, aku yang mengatakan kepadanya, maka ia memberikan keamanan.” Ummu Hakim terus membujuknya sampai Ikrimah mau kembali bersamanya.

Dalam perjalanan pulang Ummu Hakim menceritakan kisah budak mereka, lalu mereka singgah di perkampungan tempat Ummu Hakim meninggalkan budak itu lalu Ikrimah membunuhnya. Peristiwa ini terjadi sebelum ia masuk Islam.

Setibanya di Mekah ia langsung pulang menemui Rasulullah SAW untuk menyatakan keislamannya, dan meminta kepada Rasulullah SAW agar memintakan ampunan atas segala yang telah ia perbuat selama ia masih musyrik. Rasulullah SAW mengabulkan permintaan tersebut dengan gembira. Semenjak itu bergabunglah Ikrimah dalam bahtera dakwah, di medan perang ia bagai singa yang haus darah serta menjadi ahli ibadah dan selalu membaca kitabullah.

Itulah buah dari perjuangan Ummu Hakim binti Al-Harits, yang menuntun Ikrimah putra sekaligus tangan kanan seorang dedengkot kafir dan berada pada barisan terdepan dalam memerangi Rasulullah SAW, sehingga menjadi pembela Islam dan mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi dirinya sendiri. Ikrimah syahid pada perang Yarmuk (sebagian ahli sejarah mengatakan ia meninggal pada perang Ajnadin), di saat itu ia berperang dengan penuh semangat, sampai ia gugur sebagai syahid, dan di tubuhnya didapati lebih dari tujuh puluh luka bekas tikaman, panah, dan pukulan.

Sepeninggal Ikrimah dan masa iddah Ummu Hakim berakhir, ia dilamar oleh Yazid bin Abi Sufyan dan Khalid bin Sa’id, kemudian ia menerima lamaran Khalid dan ia pun menikah dengannya. Ketika hendak menggaulinya, bersamaan dengan itu tentara-tentara Romawi telah berkumpul (untuk menyerang kaum muslimin), Ummu Hakim berkata kepada Khalid, “Bagaimana kalau engkau undurkan sampai Allah mengusir barisan mereka?” Khalid menjawab, “Sesungguhnya aku merasa akan terbunuh dalam peperangan ini.” Ummu Hakim berakta, “Kalau begitu lakukanlah!” Maka Khalid pun menggaulinya,


Ketika pagi tiba, kedua pasukan pun mulai berhadapan, genderang perang ditabuh, dan pedang telah melakukan perannya. Khalid akhirnya terbunuh di peperangan tersebut. Mendengar berita itu, Ummu Hakim terjun ke medan perang dan membunuh tujuh orang Romawi dengan tiang kemah di jembatan yang hingga sekarang dinamakan jembatan Ummu Hakim, dan itu terjadi pada perang Ajnadin.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

::. Wahsyi bin Harb : Pembunuh Yang Masuk Surga .::

Wahsyi bin Harb dikenal juga dengan Abu Dasamah. Dia adalah hamba sahaya Jubair bin Muth’im, seorang bangsawan Quraisy.

Aksi Waksi Bin Harb Dalam Film Omar

Pamannya, Thu’aimah bin Adi, tewas dalam Perang Badar di tangan Hamzah bin Abdul Muthalib. Dia sangat sedih dan geram dengan kematian pamannya itu. Ia senantiasa menunggu waktu yang tepat untuk membalas dendam.

Tidak beberapa lama kemudian, kaum Quraisy mengambil keputusan untuk pergi ke Uhud guna menghukum Muhammad SAW dan para sahabatnya yang telah membunuh kawan-kawan mereka pada saat Perang Badar. Dibentuklah sebuah pasukan besar yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb.

Abu Sufyan memutuskan untuk mengikutsertakan para wanita, yang keluarga mereka telah terbunuh dalam Perang Badar untuk menggelorakan semangat prajurit dalam berperang. Mereka ditempatkan di samping laki-laki untuk mencegah mereka agar tidak melarikan diri.

Di antara para wanita yang pertama-tama mendaftarkan diri adalah Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan bin Harb. Ayahnya, Utbah bin Rabfah dibunuh oleh Ubaidah bin Harits. Pamannya, Syaibah bin Rabi’ah tewas di tangan Hamzah bin Abdul Muthalib, dan saudaranya, Al-Walid bin Utbah mati di tangan Ali bin Abi Thalib.

Semuanya tewas di medan Badar. Karena itu dendam Hindun sangat besar terhadap kaum Muslimin, terutama Hamzah bin Abdul Muthalib.

Ketika pasukan Quraisy akan berangkat, Jubair bin Muth’im berkata kepada Wahsyi, “Wahai Abu Dasamah, maukah engkau bebas dari perbudakan''

“Bagaimana caranya" tanya Wahsyi.

“Bila engkau berhasil menewaskan Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Muhammad yang telah membunuh pamanmu, Thu’aim bin Adi, maka engkau kubebaskan dari perbudakan." kata Jubair.

“Siapa yang menjamin kebebasanku bila aku berhasil?” tanya Wahsyi.

“Siapa saja yang engkau kehendaki. Akan kupersaksikan janjiku ini kepada seluruh masyarakat,” tegas Jubair.

Wahsyi pun setuju dengan perjanjian tersebut. Ia segera mengambil lembingnya dan berangkat bersama-sama dengan pasukan Quraisy. Ia berada di belakang pasukan bersama para wanita karena ia tidak terlalu mahir berperang. Hanya saja, Wahsyi memiliki kemahiran melempar lembing. Lemparannya tidak pernah meleset sedikit pun dari sasaran.

Setiap kali bertemu dengan Wahsyi, Hindun selalu melihat ke arah lembingnya yang berkilat-kilat kena sinar matahari, sembari berkata, “Wahai Abu Dasamah, sembuhkanlah luka hati kami. Tuntutkan bela dari Muhammad atas kematian bapak, paman, dan saudara kami.”

Ketika dua pasukan bertemu, Wahsyi keluar dari tenda dan mengincar Hamzah dengan diam-diam. Ia memang telah mengenalnya sebelum itu.

Tidak sulit bagi siapa pun untuk mengetahui siapa Hamzah bin Abdul Muthalib, karena dia selalu memakai bulu burung unta di kepalanya sebagai tanda kepahlawanan seperti lazimnya orang Arab waktu itu.

Memang, tidak lama kemudian, Wahsyi melihat Hamzah maju bagaikan unta kelabu, merobohkan lawn-lawannya dengan pedang tanpa hambatan. Tidak ada yang berani menghadang atau berdiri di hadapannya.

Sementara itu, Wahsyi berdiri di balik sebuah batu besar, menunggu Hamzah mendekat ke arahnya. Tiba-tiba seorang penunggang kuda pasukan Quraisy yang bernama Siba’ bin Abdul Uzza datang dan menantang Hamzah ke arah Wahsyi.

“Lawanlah aku, wahai Hamzah! Kemarilah!” tantang Siba’.

Hamzah menoleh lalu melompat ke arah Siba’. Tangannya bergerak memukulkan pedang. Sekali tebas Siba’ jatuh tersungkur bermandikan darah di hadapan Hamzah.

Wahsyi mengambil ancang-ancang dengan posisi yang tepat sambil membidikkan lembingnya. Setelah dirasa mantap, ia lemparkan senjata tersebut ke arah Hamzah. Lembing melesat ke depan dan tepat mengenai perut Hamzah bagian bawah, tembus ke selangkangannya.

Pahlawan Islam yang dikenal dengan ‘Singa Allah’ itu melangkah berat kira-kira dua langkah, kemudian jatuh dengan lembing bersarang di tubuhnya. Wahsyi tidak bergerak dari tempat persembunyiannya. Setelah yakin Hamzah benar-benar tewas, baru ia mendatangi tubuh Hamzah dan mencabut lembingnya lalu kembali ke perkemahan karena tidak ada kepentingan selain itu.

Pertempuran berkecamuk dengan sengitnya. Korban pun mulai berjatuhan. Tatkala tentara kaum Muslimin mengalami desakan hebat, Hindun dan beberapa wanita lainnya keluar dari perkemahan, lalu melangkah di antara mayat-mayat yang bergelimpangan.

Satu persatu ia bedah perut dan ia congkel mata mereka. Sedangkan hidung dan telinga, ia potong lalu dibuatnya menjadi kalung dan ia pakai. Hati Hamzah bin Abdul Muthalib ia kunyah dan muntahkan kembali.

Seusai pertempuran, Wahsyi kembali ke Kota Makkah bersama rombongan tentara Quraisy. Sampai di Makkah, ia pun dibebaskan oleh Jubair sesuai dengan janjinya. Sejak saat itu, Wahsyi bebas dari perbudakan dan merdeka.

Hari-hari terus berlalu. Kaum Muslimin yang berada di Madinah kian bertambah. Pasukan mereka semakin kuat dan besar. Semakin bertambah kekuatan kaum Muslimin, semakin besar kekhawatiran Wahsyi. Kegelisahan dan ketakutan semakin menghantuinya.

Tatkala kaum Muslimin berhasil menguasai Kota Makkah, Wahsyi melarikan diri ke kota Thaif mencari tempat yang aman. Namun hanya beberapa saat saja, penduduk Thaif pun menyatakan diri masuk Islam. Wahsyi bingung hendak lari ke mana.

Penyesalan datang menghinggapi dirinya. Bumi yang luas terasa sempit. Dalam keadaan seperti itu, seorang sahabat menasihatinya, “Percuma saja engkau melarikan diri, Wahsyi. Demi Allah, Muhammad tidak akan membunuh orang yang masuk agamanya dan mengakui kebenaran Allah dan rasul-Nya,” ujar sahabat tersebut.

Mendengar nasihat itu, Wahsyi berangkat ke Madinah. Di hadapan Rasulullah ia menyatakan diri masuk Islam.

Namun, begitu mengetahui Wahsyi adalah pembunuh pamannya, Hamzah, Rasulullah memalingkan mukanya dan tidak mau melihat wajah Wahsyi. Hal itu terjadi sampai beliau wafat.

Walaupun Wahsyi tahu bahwa Islam menghapus dosa-dosanya yang telah lalu, tapi ia tetap menyesal. Ia tahu, musibah yang ia timpakan kepada kaum Muslimin saat itu sangat besar dan keji.

Ia telah membunuh seorang pahlawan Islam secara licik dan tidak jantan. Karena itu, Wahsyi selalu menunggu kesempatan untuk menebus dosanya.

Setelah Rasulullah wafat, pemerintahan beralih ke tangan Abu Bakar Shiddiq RA. Di bawah pimpinan Musailamah, Bani Hanifah dari Nejed, murtad dari agama Islam. Khalifah Abu Bakar menyiapkan bala tentara untuk memerangi Musailamah dan mengembalikan Bani Hanifah ke pangkuan Islam.

Pemeran Wahsyi Dalam Film Omar

Wahsyi tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Bersama pasukan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, ia berangkat ke medan Yamamah. Tidak lupa lembing yang ia pakai untuk membunuh Hamzah, ia bawa. Dalam hati ia bersumpah akan membunuh Musailamah atau ia tewas sebagai syahid.

Ketika kaum Muslimin berhasil mendesak Musailamah dan pasukannya ke arah “Kebun Maut”, Wahsyi termasuk salah seorang yang selalu mengintai nabi palsu itu.
Saat Al-Barra’ bin Malik berhasil membuka pintu gerbang pertahanan musuh, Wahsyi dan kaum Muslimin tumpah ruah menyerbu markas Musailamah. Seorang Anshar turut mengincar Musailamah seolah-olah tidak boleh ada orang lain yang mendahuluinya.

Wahsyi bin Harb melompat ke depan. Setelah berada dalam posisi yang tepat, ia bidikkan lembingnya ke arah sasaran. Begitu dirasa tepat, Wahsyi melemparkan senjatanya! Lembing melesat ke depan mengenai sasaran.

Pada saat yang sama, prajurit Anshar yang sejak semula turut mengincar, melompat secepat kilat dan memukul leher Musailamah dengan pedangnya.


Hanya Allah-lah yang Mahatahu, siapa sebenarnya yang membunuh Musailamah. Wahsyi atau prajurit Anshar? Jika benar yang membunuhnya adalah Wahsyi, berarti ia telah menebus kesalahannya membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib dalam Perang Uhud. Apakah ganjaran orang yang telah membunuh musuh Islam kecuali surga?


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

::. Perjalanan Petinju Profesional Jepang, Chika Nakamura Menuju Islam .::

Hidayah adalah anugerah yang datang tanpa disangka-sangka. Hal ini dirasakan oleh Chika Nakamura, seorang petinju wanita asal negeri sakura. Chika lahir dan dibesarkan di Jepang, dengan masa kecil yang bahagia, diasuh oleh orang tuanya yang sangat disiplin. 


Ia belajar di sekolah yang bagus, mengikuti kegiatan ekskul, bermain dengan teman-teman; bermain bola dan plastisin (playdough) setiap akhir pekan. Ia adalah tipikal anak Jepang yang sangat dimanjakan secara material. “Namun ada yang hilang saat itu, yakni komunikasi anak dengan orang tua di dalam keluarga,” ungkapnya. Padahal, ia telah melewati masa kecil yang gembira karena terpenuhi segala kebutuhannya. Pun saat menginjak masa remaja, Chika bersekolah di sekolah favorit. Tapi ia tetap merasa ada yang hilang, yaitu passion-nya. “Saya tidak tahu apa yang hilang ketika itu,” hatinya bertanya-tanya. 

Saat usia 16 tahun, Chika meninggalkan rumah, pergi ke Inggris. Ia mencoba hidup mandiri, mencari nafkah; untuk makan, membayar tagihan-tagihan dan biaya sekolah bahasa Inggris. Perasaannya begitu tertantang. Semuanya baru; orang baru, lingkungan baru, bahasa baru. Ia merasa bersemangat. Namun demikian, ia mengakui “hidup di Inggris terlalu berat dan mahal, maka saya putuskan untuk kembali ke Jepang 2 tahun kemudian.

Saat berjumpa dengan Chika, orang tuanya terkejut. Caranya berpakaian telah berubah. Ia sangat kebarat-baratan. Pakaiannya ketat dan memakai rok mini. Karena merasa tidak cocok tinggal di pinggiran kota, ia lalu pindah lagi ke Tokyo selama 2 tahun. 

Tokyo adalah kota besar yang sangat materialistis. Segalanya serba canggih. Di sana, Chika berjumpa dengan seorang teman wanita yang mengajarinya mengendarai motor. Saat itulah, ia merasa menjadi wanita bebas. Di atas motor, ia melihat sebuah billboard. Dibawah lampu merah itu ada gambar wanita petinju. Sejak saat itu ia berpikir, “Aha, inilah passion-ku!” Chika bertekad menjadi petinju.

Chika Nakamura
Saat itu tahun 1999. Ia berangkat ke Amerika, mengejar mimpi sebagai seorang petinju profesional. Di tahun 2001 dan 2002 ia menjadi satu-satunya wanita petinju asal Jepang yang memenangkan beragam kejuaraan tinju tingkat dunia. Sayangnya, ternyata Chika tetap mengeluh, “Saya telah berkorban banyak; meninggalkan orang tua, keluarga, kampung halaman, teman, dan banyak lagi. Sementara, hidup di Amerika juga berat karena saya serba kekurangan. Saya merasakan penderitaan fisik dan mental.

Hidayah di balik musibah Suatu hari Chika menderita cedera. Menurut dokter, itu adalah cedera yang serius. Katanya ia harus beralih profesi. Sebagai atlit, cedera adalah hal yang menakutkan. Ia terancam kehilangan mimpinya sebagai petinju wanita profesional. Chika merasakan ketakutan dan tersadar bahwa usianya semakin pendek. Tapi ia bersikeras harus bertahan dan harus kembali. Maka ia ikuti proses pemulihan dan kembali ke ring. 

Secara emosional Chika merasa gelisah. Saya bertanya-tanya apakah tujuan hidup ini. Saat itu kali pertama hidup saya merasa terhenti sejenak. Saya tidak bisa berlari, tidak bisa berjalan, tidak punya keluarga, dan tak punya tujuan hidup.” Dia mempertanyakan kembali apa yang telah dialami. Mengapa harus meninggalkan Jepang? Mengapa mau menjadi petinju wanita profesional? Chika bangkit kembali dan mengaku dibisiki hawa nafsu bahwa, “Inilah tujuan hidupku. Passion-ku adalah tinju. Segalanya telah ku korbankan demi bertinju. Aku bisa bertahan demi karier sebagai wanita petinju. Aku bisa membantu orang lain dengan berbagi pengalaman tentang perjalanan hidupku menuju profesi sebagai petinju.

Seolah benar, Chika menemukan sebuah pola hidup manusia, bahwa hidup ini pasti mendapati masalah, lalu berhasil melewatinya, lalu timbul lagi masalah, dan kita lewati lagi, demikian seterusnya. Maka ia pikir pasti bisa selamat melewatinya. Ia pun tak menuruti saran dokter. Mulanya Chika mendapatkan “keajaiban” bertubi-tubi. Ia mendapatkan sponsor dan pindah ke Kalifornia untuk berlatih demi kejuaraan.

Disana ia mendapatkan pelatih yang hebat. Saat itu ia merasa begitu kuat, sehat dan dimudahkan. Sayangnya, lagi-lagi ia masih belum mendapatkan jawaban atas kekosongan jiwa itu. “Ini pasti bukan jalan yang benar,” ujarnya. Lalu Chika mencari jawabannya dengan membaca buku biografi orang-orang yang sukses dalam berbagai bidang; ekonomi, politik, bisnis dan agama. Ia tetap tidak mendapatkan jawaban.

Sampai suatu ketika, Chika berjumpa dengan seorang mantan petinju kelas dunia. Ia seorang muslim. Ia berdiskusi dengannya. Ia sangat sederhana, rendah hati, ramah, dan baik sekali. Inilah yang telah Chika tinggalkan dan hilang dari masyarakat London dan di Jepang. “Tidak perlu ilmu akademik yang banyak dan keterampilan yang tinggi untuk memperoleh ketenangan. Saya juga bisa mendapatkannya sambil fokus pada tinju,” pikirnya. Lantas, tiba-tiba takdirnya berubah. Karirnya terhenti tanpa sponsor, setelah mencoba peruntungan di New York selama 4 bulan.

Kekasihnya pergi dan ia tak punya siapa-siapa lagi. Ia putus asa dan menghentikan semuanya. Qodarullah, Allah pertemukan Chika dengan seorang teman wanita asal Perancis, dia seorang kristen. Dia bilang ada satu potong puzzle yang hilang pada dirinya. Itulah sang pencipta. Dia bertanya apakah Chika tahu tentang pencipta. “Tentu aku tak tahu apa-apa tentang pencipta,” jawabnya. Maka Chika ikuti saran temannya untuk mempelajari agama-agama. Ia mendatangi tempat ibadah hindu, gereja, budha, dan masjid.

Di masjid, Chika mengenang detik-detik saat menjemput hidayah-Nya, “Saya bersujud, menangis. Hati dan jiwa ini berbisik; butuh banyak waktu untuk saya menempuh perjalan hidayah ini. Saya kembali kepada Allah. Segera saya ingin menjadi muslim. Pada hari Jum’at, beberapa tahun yang lalu, saya tinggalkan tinju, cinta dan rencana ingin menikah cepat. Saya mengucap syahadat.” “Tentu saya sedih.

Memang sulit meninggalkan passion-mu. Tetapi, kini saya punya misi baru, yakni membela Islam, berdakwah di negara saya dan dunia. Inilah jalan yang benar,” pengakuan Chika. Alhamdulillah, kini Chika merasakan kedamaian jiwa setelah berislam dan mengaku telah bahagia menjadi seorang muslimah. Ia menyadari bahwa akan ada tantangan lebih dalam berdakwah, lebih letih daripada bertinju. Namun hal itu tak menyurutkan tekad Chika guna mendedikasikan seluruh hidupnya untuk Islam.

Saat ini ia serahkan seluruh potensinya untuk Islam, dengan misi hidup yang baru, yakni jihad fiisabilillah.


Sumber Dari : http://www.arrahmah.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

::. Kisah Ratu Victoria Dan Cinta Terlarangnya, Abdul Karim Dari India .::

Abdul Karim & Ratu Victoria

Bukan seperti kisah di novel-novel romansa. Ratu Inggris, Victoria, yang berkuasa dari 1837-1901 ternyata menjalin hubungan asmara dengan pelayannya asal India bernama Abdul Karim, yang beragama Islam!

Kisah unik ini ditemukan secara tidak sengaja oleh pengarang kelahiran India, Shrabani Basu. Menurut Banu, kisah ini sengaja ditutup-tutupi oleh Kerajaan Inggris. Ketika Victoria meninggal dunia pada 1901, anaknya Raja Edward VII memerintahkan seluruh surat dan fotografi yang menghubungkan Victoria-Karim dihancurkan.

Untungnya, Karim memiliki buku harian yang sempat ia selundupkan ketika ia dipecat dari Kerajaan Inggris. Buku ini jatuh ke tangan Basu, tahun lalu. Diberikan oleh salah satu kerabat Karim, Begum Qamar Jehan. Bersama dengan buku itu, terdapat pula sejumlah foto yang menunjukkan Victoria-Karim.

Berikut kisah uniknya, seperti dikutip dari the National:

Karim adalah pemuda asal Agra, India. Ia dibawa ke Inggris pada 1887. Ia disebut sebagai 'Hadiah dari India untuk Inggris'. Sebelumnya Victoria memang ingin ada pelayan khusus India untuk melayani seorang ratu India yang berkunjung ke Inggris.

Setahun di Inggris, karir Karim melesat. Dia menajdi salah satu pelayan dan orang penting di dalam rumah tangga Istana. Ia menjadi anak kesayangan Victoria. Banyak orang dari pemerintahan dan anggota keluarga kerajaan yang iri dengan karirnya.

Di satu kesempatan, Perdana Menteri Inggris Lord Salisbury bahkan harus mengintervensi keputusan Victoria. Ratu ingin menganugerahkan Karim gelar ksatria Inggris, namun ditolak Salisbury. Akhirnya Karim mendapat gelar 'Companion of the Order of the Indian Empire' dan gelar 'Commander of the Royal Victorian Order'.

Karim datang ketika Victoria sedang berduka atas kematian John Brown. Brown adalah salah satu pelayan favorit Ratu, yang juga kemungkinan salah satu kekasihnya. Suami Victoria, Pangeran Albert, meninggal pada 1861.

"Victoria mengirim surat ke Karim yang menunjukkan kasih sayang. Ia menulis dalam surat itu 'dari Ibumu yang sangat menyintaimu' atau 'dari sahabatmu' atau malah di beberapa kesempatan ada surat yang dikirim dengan tanda kecupan sang Ratu. Ini sangat jarang pada saat itu," kata Basu.

Halaman Dari Diary Ratu Victoria Yang Di Terjemahkan Dalam Bahasa Urdu oleh Abdul Karim

"Hubungan mereka sangat bergairah, tidak diragukan lagi. Hubungan mereka bisa dikatakan dalam berbagai lapisan, ada hubungan ibu-anak, ada hubungan pria India-perempuan Inggris, macam-macam," sambung Basu.

Apakah hubungan keduanya cinta? Basu masih ragu mengatakannya. Sebab saat itu Karim sudah menikah dan Victoria tampak ingin sendiri. Namun gosip di Kerajaan waktu itu sempat memuncak ketika Karim dan Victoria bermalam bersama di salah satu rumah peristirahatan di dataran tinggi Skotlandia.

Selain sebagai pelayan, Karim juga mengajari Victoria bahasa Urdu, Hindi, dan masalah-masalah India. Karim selalu ikut dalam rombongan kerajaan. Dia diberikan rumah mewah di Inggris dan di India. Bahkan ia memiliki menu khusus, kare, setiap hari di Istana.

Ratu Victoria Bersama Abdul Karim
Tahun 1885
Karim pun naik jabatan. Dari pelayan menjadi sekretaris Ratu. Kenaikan jabatan itu membuat pihak rumah tangga Istana makin gusar. "Aku sangat mengagumi Karim," kata Victoria suatu waktu kepada menantunya, Louisse, Duchess of Cornwall di 1888. "Karim itu pria yang lembut, baik, dan pengertian. Dia membuatku merasa nyaman," kata Victoria.

"Yang terjadi saat itu adalah Karim sangat berpengaruh terhadap Victoria. Bahkan Karim bisa mempengaruhi kebijakan politik Inggris terkait India. Ini sangat menakjubkan. Ketika Inggris di masa jaya-jayanya, ada pemuda Muslim yang menduduki posisi penting di Kerajaan Inggris yang bisa mengubah kebijakan," kata Basu.


Menurut Basu, hubungan Victoria-Karim menjadi sangat heboh. Bahkan lebih heboh dari hubungan Victoria-Brown. Ini membuat putra Victoria, Raja Edward VII sangat tidak senang. Ketika Victoria wafat, Edward memecat Karim dan memulangkannya ke India.

Makam Abdul Karim di Agra, India

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

::. Ukasyah Bin Mihshan : Ahli Syurga Tanpa Hisab Yang Ingin Memeluk Rasulullah SAW .::



Kisah ini terjadi pada diri Rasulullah SAW sebelum meninggal. Rasulullah SAW telah jatuh sakit agak lama, sehingga kondisi beliau sangat lemah.

Pada suatu hari Rasulullah SAW meminta Bilal memanggil semua sahabat datang ke Masjid. Tidak lama kemudian, penuhlah Masjid dengan para sahabat. Semuanya merasa rindu setelah agak lama tidak mendapat taushiyah dari Rasulullah SAW. Beliau duduk dengan lemah di atas mimbar. Wajahnya terlihat pucat, menahan sakit yang tengah dideritanya.

Kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Wahai sahabat2 ku semua. Aku ingin bertanya, apakah telah aku sampaikan semua kepadamu, bahwa sesungguhnya Allah SWT itu adalah satu2nya Tuhan yang layak di sembah?" Semua sahabat menjawab dengan suara bersemangat, "Benar wahai Rasulullah, Engkau telah sampaikan kepada kami bahwa sesungguhnya Allah SWT adalah satu2nya Tuhan yang layak disembah."



Kemudian Rasulullah SAW bersabda:
"Persaksikanlah ya Allah. Sesungguhnya aku telah menyampaikan amanah ini kepada mereka."

Kemudian Rasulullah bersabda lagi, dan setiap apa yang Rasulullah sabdakan selalu dibenarkan oleh para sahabat. Akhirnya sampailah kepada satu pertanyaan yang menjadikan para sahabat sedih dan terharu.

Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya, aku akan pergi menemui Allah. Dan sebelum aku pergi, aku ingin menyelesaikan segala urusan dengan manusia. Maka aku ingin bertanya kepada kalian semua. Adakah aku berhutang kepada kalian? Aku ingin menyelesaikan hutang tersebut. Karena aku tidak mau bertemu dengan Allah dalam keadaan berhutang dengan manusia."

Ketika itu semua sahabat diam, dan dalam hati masing2 berkata "Mana ada Rasullullah SAW berhutang dengan kita? Kamilah yang banyak berhutang kepada Rasulullah". Rasulullah SAW mengulangi pertanyaan itu sebanyak 3 kali. Tiba2 bangun seorang lelaki yang bernama UKASYAH, seorang sahabat mantan preman sebelum masuk Islam, dia berkata: "Ya Rasulullah! Aku ingin sampaikan masalah ini. Seandainya ini dianggap hutang, maka aku minta engkau selesaikan. Seandainya bukan hutang, maka tidak perlulah engkau berbuat apa-apa".

Rasulullah SAW berkata: "Sampaikanlah wahai Ukasyah".

Maka Ukasyah pun mulai bercerita: "Aku masih ingat ketika perang Uhud dulu, satu ketika engkau menunggang kuda, lalu engkau pukulkan cambuk ke belakang kuda. Tetapi cambuk tersebut tidak kena pada belakang kuda, tapi justru terkena pada dadaku, karena ketika itu aku berdiri di belakang kuda yang engkau tunggangi wahai Rasulullah".

Mendengar itu, Rasulullah SAW berkata: "Sesungguhnya itu adalah hutang wahai Ukasyah. Kalau dulu aku pukul engkau, maka hari ini aku akan terima hal yang sama."

Dengan suara yang agak tinggi, Ukasyah berkata: "Kalau begitu aku ingin segera melakukannya wahai Rasulullah."

Ukasyah seakan-akan tidak merasa bersalah mengatakan demikian. Sedangkan ketika itu sebagian sahabat berteriak marah pada Ukasyah. "Sungguh engkau tidak berperasaan Ukasyah, bukankah Baginda sedang sakit..!?" Ukasyah tidak menghiraukan semua itu. Rasulullah SAW meminta Bilal mengambil cambuk di rumah anaknya Fatimah.

Bilal meminta cambuk itu dari Fatimah, kemudian Fatimah bertanya: "Untuk apa Rasulullah meminta cambuk ini wahai Bilal?" Bilal menjawab dengan nada sedih: "Cambuk ini akan digunakan Ukasyah untuk memukul Rasulullah" Terperanjat dan menangis Fatimah seraya berkata: "Kenapa Ukasyah hendak pukul ayahku Rasulullah? Ayahku sedang sakit, kalau mau mukul, pukullah aku anaknya".

Bilal menjawab: "Sesungguhnya ini adalah urusan antara mereka berdua".

Bilal membawa cambuk tersebut ke Masjid lalu diberikan kepada Ukasyah. Setelah mengambil cambuk, Ukasyah menuju ke hadapan Rasulullah. Tiba-tiba Abu bakar berdiri menghalangi Ukasyah sambil berkata: "Ukasyah..! kalau kamu hendak memukul, pukullah aku. Aku orang yang pertama beriman dengan apa yang Rasulullah SAW sampaikan. Akulah sahabatnya di kala suka dan duka. Kalau engkau hendak memukul, maka pukullah aku".

Rasulullah SAW: "Duduklah wahai Abu Bakar. Ini urusan antara aku dengan Ukasyah".

Ukasyah menuju kehadapan Rasulullah. Kemudian Umar berdiri menghalangi Ukasyah sambil berkata: "Ukasyah..! kalau engkau mau mukul, pukullah aku. Dulu memang aku tidak suka mendengar nama Muhammad, bahkan aku pernah berniat untuk menyakitinya, itu dulu. Sekarang tidak boleh ada seorangpun yang boleh menyakiti Rasulullah Muhammad. Kalau engkau berani menyakiti Rasulullah, maka langkahi dulu mayatku..!."

Lalu dijawab oleh Rasulullah SAW: "Duduklah wahai Umar. Ini urusan antara aku dengan Ukasyah".

Ukasyah menuju ke hadapan Rasulullah, tiba2 berdiri Ali bin Abu Talib sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW. Dia menghalangi Ukasyah sambil berkata: "Ukasyah, pukullah aku saja. Darah yang sama mengalir pada tubuhku ini wahai Ukasyah".

Lalu dijawab oleh Rasulullah SAW: "Duduklah wahai Ali, ini urusan antara aku dengan Ukasyah" .

Ukasyah semakin dekat dengan Rasulullah. Tiba2 tanpa disangka, bangkitlah kedua cucu kesayangan Rasulullah SAW yaitu Hasan dan Husen. Mereka berdua memegangi tangan Ukasyah sambil memohon. "Wahai Paman, pukullah kami Paman. Kakek kami sedang sakit, pukullah kami saja wahai Paman. Sesungguhnya kami ini cucu kesayangan Rasulullah, dengan memukul kami sesungguhnya itu sama dengan menyakiti kakek kami, wahai Paman."

Lalu Rasulullah SAW berkata: "Wahai cucu2 kesayanganku duduklah kalian. Ini urusan Kakek dengan Paman Ukasyah".

Begitu sampai di tangga mimbar, dengan lantang Ukasyah berkata: "Bagaimana aku mau memukul engkau ya Rasulullah. Engkau duduk di atas dan aku di bawah. Kalau engkau mau aku pukul, maka turunlah ke bawah sini."

Rasulullah SAW memang manusia terbaik. Kekasih Allah itu meminta beberapa sahabat memapahnya ke bawah. Rasulullah didudukkan pada sebuah kursi, lalu dengan suara tegas Ukasyah berkata lagi: "Dulu waktu engkau memukul aku, aku tidak memakai baju, Ya Rasulullah"

Para sahabat sangat geram mendengar perkataan Ukasyah. Tanpa berlama-lama dalam keadaan lemah, Rasulullah membuka bajunya. Kemudian terlihatlah tubuh Rasulullah yang sangat indah, sedang beberapa batu terikat di perut Rasulullah pertanda Rasulullah sedang menahan lapar.

Kemudian Rasulullah SAW berkata: "Wahai Ukasyah, segeralah dan janganlah kamu berlebih2an. Nanti Allah akan murka padamu."

Ukasyah langsung menghambur menuju Rasulullah SAW, cambuk di tangannya ia buang jauh2, kemudian ia peluk tubuh Rasulullah SAW seerat-eratnya. Sambil menangis sejadi2nya, Ukasyah berkata: "Ya Rasulullah, ampuni aku, maafkan aku, mana ada manusia yang sanggup menyakiti engkau ya Rasulullah. Sengaja aku melakukannya agar aku dapat merapatkan tubuhku dengan tubuhmu.

Seumur hidupku aku bercita2 dapat memelukmu. Karena sesungguhnya aku tahu bahwa tubuhmu tidak akan dimakan oleh api neraka. Dan sungguh aku takut dengan api neraka. Maafkan aku ya Rasulullah..."

Rasulullah SAW dengan senyum berkata: "Wahai sahabat2ku semua, kalau kalian ingin melihat ahli Surga, maka lihatlah Ukasyah..!"


Semua sahabat meneteskan air mata. Kemudian para sahabat bergantian memeluk Rasulullah SAW.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS