RSS
Container Icon

::. Badai Tsunami, Perenggut Nyawa Buah Hati Ku .::

“Tidurlah sayang buah hatiku, kutemani engkau dalam dekapku. Bangunlah esok dengan senyummu, permata hati pemghibur kalbu. Tidurlah sayang buah hatiku, doa ibu menemanimu. Semoga Rahmat Allah menyertaimu. Bahagia dunia dan akhiratmu.”

Betapa teduh kalimat itu. Ungkapan sayang yang mengalir sejuk dari bibir seorang wanita yang berpredikat sebagai ibu. Harapan dan doa senantiasa mengalir dari lubuk hati yang paling dalam bagi si buah hati yang telah dikandungnya selama sembilan bulan lebih. Kebahagiaan buah hatinya adalah kebahagiaannya. Pun dengan penderitaan sang buah hati adalah penderitaannya. Tapi bagaimana bila sebuah musibah merenggut nyawa sang buah hati secara tiba-tiba? Inilah lukisan ketabahan seorang ibu dalam menghadapi takdir-Nya.


Dan ini hanyalah salah satu dari puluhan ribu kisah para ibu lain yang pernah mengalami musibah serupa namun tak sama.


Teruntuk para ibu, semoga Allah membalas semua kesabaranmu.

Siang itu terasa nyaman, sebagaimana biasanya, Halimah melepas kepergian Harun, Suaminya untuk bekerja di sebuah toko kelontong yang letaknya tak begitu jauh dari rumah mereka, yang jikalau ditempuh dengan bersepeda motor hanya dalam hitungan menit saja.

Halimah, wanita shalihah yang berjilbab ini hidup dalam kedamaian. Tepatnya setahun lalu pasangan in dikaruniai buah hati laki-laki yang lucu dan sehat. Kehadiran buah hati ini dirasa menambah lengkapnya kebahagiaan mereka. Mereka memberi nama Fais kepada si kecil.

Beberapa saudara suaminya tinggal tak jauh dari rumah mereka, hingga mereka bisa saling berbagi kebahagiaan dan saling mengunjungi. Semua berjalan biasa tanpa liku perubahan yang berarti, hingga tiba hari yang tak terlupa sepanjang hidup itu.

Selang satu jam setelah kepergian sang suami, Halimah mendengar suara aneh dari arah laut. Suara itu lebih menyerupai sebuah tiupan keras yang kian lama makin terdengar jelas. Namun kira-kira sepuluh menit suara itu mereda dan hilang sama sekali. Sepuluh menit kemudian suasana kembali tenang. Hanya sepuluh menit saja, setelah itu terdengar lagi suara seperti tadi meski lebih pelan, namun diiringi dengan gempa yang sangat terasa hingga menggetarkan seisi rumah dan mengakibatkan kursi dan meja bergeser kesana kemari. Halimah sungguh ketakutan. Faiz yang berada dalam gendongan menangis menjerit-jerit. Sang bocah rupanya merasakan ada sesuatu yang tidak beres tengah terjadi.

Halimah tak berani keluar rumah. Dari jendela yang sedikit terkuak ia melihat pohon-pohon kecil bertumbangan diterpa angin yang sangat kuat.

Hatinya mulai sedikit lega, karena setengah jam berikutnya badai laut dan gempa mulai mereda. Suara yang terdengar bergemuruh sedikit demi sedikit menghilang. Saat itulah pintunya diketuk diiringi ucapan salam. Nampaknya suaminya pulang. Saat pintu dibuka terlihat sosok suaminya yang berdiri dengan roman muka penuh ketegangan. Halimah sendiri tidak kalah khawatir memandang wajah sang suami. Melihat istri dan anaknya sehat-sehat saja, ia terlihat sedikit tenang. Satu jam lebih Harun menemani istri dan anaknya. Sejenak mereka menenangkan diri. Hanya sesekali Halimah membereskan barang-barang rumah yang berantakan, sedangkan si kecil tetap dalam dekapannya.

Dua jam berlalu. Kelihatannya badai sudah benar-benar berhenti. Harun berpamitan kepada sang istri untuk kembali ke toko kelontong untuk membereskan barang-barang yang belum sempat ditata kembali. Halimah yang sudah mulai tenang tidak ragu sedikitpun, toh untuk perjalanan pulang pergi dari toko hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari lima belas menit. Setelah suaminya pergi, Halimah kembali beres-beres. Sang anak juga terlihat agak tenang meski matanya kemerahan karena banyak menangis. Lima menit berselang. Getaran gempa kembali terasa, namun gemuruh air laut terasa lebih kuat dari sebelumnya. Halimah kembali panic. Ia melongok keluar dan terlihat orang-orang di kampung itu berlarian ke luar rumah. Dari kejauhan terlihat gumpalan asap hitam diiringi gelombang laut yang amat mengerikan. 

Halimah segera mengenakan jilbabnya. Sedikit uang simpanannya dan buntalan pakaian disiapkan, ia berpikir tentunya sang suami sebentar lagi bakalan pulang. Benar saja, terdengar ketukan pintu dan suara suaminya memberi salam dengan nada panik, karena ia sudah menyaksikan keadaan luar rumah yang porak-poranda. Orang-orang terlihat sibuk untuk mengungsi. Gelombang laut pun makin besar dan meninggi hingga hampir mendekati area rumah mereka. Tak ada waktu lagi untuk ke luar rumah. Harun lantas menyeret tangan istrinya ke bagian dalam rumah mereka. Di belakang sana ada lubang empat persegi yang sudah disemen dan ditutup dengan besi.

Dengan cepat ia mengajak istrinya ke ruangan itu. Si kecil menjerit-jerit tidak karuan. Mereka sudah tak sempat lagi mencari penyebab tangisan sang buah hati.

Bruak!!! Suara keras terdengar dari balakang mereka dan disusul suara-suara benda lain. Harun mendahulukan anak dan istrinya turun ke bawah. Dinginnya semen tidak lagi mereka rasakan.

Badai itu tak hanya memporak-porandakan barang-barang rumah. Tiang-tiang dan sebagian tembok rumah mereka yang sebenarnya cukup kuat pun mulai ambruk, sehingga air laut tanpa bisa dibendung lagi menerobos ke dalam. Tak ada jalan lain, pintu besi yang memang sangat rapat itu segera ditutup. Sejenak kemudian hanya terdengar suara gelombang hebat dan reruntuhan bangunan yang amat menyeramkan. Jerit tangis anak mereka juga makin menjadi. Namun nafas mereka menjadi sesak karena tidak adanya ventilasi. Tapi anehnya suara anak mereka mulai berhenti sedikit demi sedikit. Hal ini justru membuat Halimah ketakutan. 

Ilustrasi Anak Kecil Meninggal
Dengan ragu ia meminta suaminya untuk membuka tutup besi tersebut. Harun sendiri bingung, bila pintu dibuka air bah akan masuk, bahkan retuntuhan rumah jua bisa menimpa mereka. Benar-benar pilihan yang sulit.

Lima belas menit kemudian badai mulai mereda. Tangisan si kecil juga sudah berhenti sama sekali. Mereka bertambah khawatir. Tanpa pikir panjang lagi pitu brankas mereka buka. Awalnya terasa sangat sulit, mungkin tertutup reruntuhan bangunan. Walau berhasil, mereka tetap saja bersusah payah untuk naik ke atas. Ditambah bongkahan batu dan guyuran air hebat menghantam punggung mereka. Terasa sakit memang. Namun hal ini tidak mereka rasakan.

Pemandangan di atas sungguh menggenaskan. Sejauh mata memandang yang tampak hanya puing-puing reruntuhan dan genangan air sampai sepaha. Hingga untuk berjalan saja mereka agak kesulitan. Keadaan kampong mereka benar-benar telah hancur.

Sesaat kemudian, mereka baru teringat dengan keadaan buah hati yang masih dalam gendongan. Wajah mungil itu tampak pucat pasi, yang membuat dada mereka menjadi sesak adalah setelah sekian lama mengalami kesulitan untuk bernafas, kini tak lagi terdengar detak jantung maupun desah nafasnya. Harun memeriksa dengan seksama dan ternyata buah hati mereka memang benar-benar telah pergi meninggalkan dunia ini.

Suasana menjadi hening, Tak ada isak tangis, meski cairan bening menetes membasahi pipi Halimah. Halimah sadar, musibah ini adalah atas kehendak Allah ta’ala. Kematian anak mereka merupakan garis takdir yang harus mereka jalani dan bukan karena keteledoran mereka.

Badai “Tsunami” nama itu baru mereka ketahui setelah selamat dan bergabung dengan ribuan orang di kamp-kamp penampungan. Saat para wartawan mewancarai mereka, terlihat ketenangan di roman muka mereka meski kesedihan tidak bisa disembunyikan.

Badai Tsunami memang telah merenggut nyawa anak mereka yang semata wayang itu. Namun, sama sekali tak merenggut keimanan di hati mereka.

Sungguh kesabaran Halimah sangat patut dijadikan tauladan dalam hal ini. Dan semoga Allah ta’ala membalasnya dengan berlimpah kebaikan dan rahmat. Amiin..


Sumber Dari : https://aslibumiayu.net

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments: