RSS
Container Icon

::. Karomah Mbah Wali Biru ( Sayyidina Robbibinur ), Cucu Ke-26 dari Rasulullah Muhammad SAW .::


Tak banyak orang yang mengenal nama Sayyidina Robbibinur namun bagi sebagian warga Sukerejo, Kendal namanya sudah tak asing lagi. Sayyidina Robbibinur diyakini memiliki banyak karomah sehingga dikenal sebagai Wali Biru. Salah satu karomahnya yaitu bisa menandingi kesaktian Syekh Siti Jenar.

Sayyidina Robbibinur merupakan seorang ulama yang berasal dari Yaman tepatnya dari Hadra Maut. Sayyidina Robbibinur adalah cucu ke 26 dari Rosulullah Muhammad SAW.

Sekitar tahun 1417 M, Sayyidina Robbibinur bersama saudara – saudaranya sesama Habaib, seperti: Sayyidina Shonhaji (Mbah Bolong - Ampel), Sayyidina Ahmad Faqih (Mbah Kaliagung – Tirem – Gresik), Sayyidina Silbani (Wales – Blado), Sayyidina Laduni (Kebagusan – Jeporo) berangkat dari Yaman ke tanah Jawa.

Keberangkatan mereka  atas petunjuk Sayyidina Abdul Majid yang mendapat petunjuk dari Allah SWT, agar berguru kepada Sayyidina Ali Rohmatullah atau Sunan Ampel di Ampel Delta Surabaya.

Sesampainya di Ampel, rombongan yang dipimpin Sayyidina Robbibinur diterima Sunan Ampel dengan senang hati. Bahkan semua fasilitas sudah disiapkan. Mereka sangat terkejut ketika Sunan Ampel memberitahukan kepada rombongan bahwa dia sering kontak dengan Sayyidina Abdul Majid.

Kemudian Sayyidina Robbibinur beserta saudaranya belajar dengan rajin, tekun dan penuh kesabaran. Sesama santri dia tidak mau dibedakan atau membeda bedakan, tidak melihat keturunan, golongan, bangsa, yang penting seiman. Karena kemampuanya yang sangat tinggi dan semangat belajar yang besar serta dilandasi sikap sopan santun itulah yang membuat Sayyidina Robbibinur sangat menonjol diantara sesama santri.

Selain menguasai ilmu agama lahir batin juga menguasai ilmu kanuragan, tata negara dan tataperang, perdagangan juga pertanian.

Karena itulah Syekh Nurhadi (Sunan Bungkul – Surabaya) ingin menjadikanya menantu. Dengan seizin Sunan Ampel akhirnya menjadi menantu Sunan Bungkul dan dikaruniai putra yang bernama Sayyidina Soleh atau Mbah Soleh. Mbah Soleh oleh ayahnya disuruh mengabdi kepada Sunan Ampel sampai wafat.

Mbah Soleh diyakini pernah hidup mati sampai sembilan kali dan dimakamkan didepan Masjid Ampel – Surabaya. Lalu Sayyidina Robbibinur mendapat tugas dari Sunan Ampel untuk berdakwah keliling Jawa Timur. Dengan penuh semangat, tekun dan sopan santun membuat dakwahnya berhasil dimana – mana, sehingga hal ini didengar oleh para wali dan ulama, bahkan Sultan Demak Raden Fattah juga mendengarnya.

Ketika itu Kasultanan Demak sedang terusik oleh kegiatan penyebaran faham Syeh Siti Jenar dan Kiageng Kebo Kenongo yang dirasa menyimpang dari Syariat Islam. Setelah para wali mendapat petunjuk dari Allah SWT, kemudian mengadakan musyawarah yang dipimpin oleh Sunan Giri.

Hasil musyawarah, yang bisa mengatasi kegiatan Syeh Siti Jenar adalah Sayyidina Robbibinur. Kemudian Sayyidina Robbibinur dipanggil dan datang ke Kasultanan Demak untuk mendapat tugas membendung ajaran Syeh Siti Jenar.

Sayyidina Robbibinur berangkat ke daerah Rawa Pening/Banyu Biru dan membikin pesantren sebagai sarana untuk memperlancar tugas dan sarana dakwah. Namun Syekh Siti Jenar juga mendirikan Padepokan di sebelah timur Banyu Biru. Dengan kemampuan lahir batin yang mumpuni dari Sayyidina Robbibinur, membuat Syeh Siti Jenar kesulitan mengembangkan ajarannya bahkan muridnya semakin berkurang.

Karena bertempat di Banyu Biru itulah maka Sayyidina Robbibinur dijuluki Wali Biru atau Kiai Biru atau Wali Biru. Ketika itu Mbah Wali Biru juga mempunyai dua orang murid istimewa yaitu Sunan Bonang dan Patih Wonosalam (Patih Kasultanan Demak).

Setelah Syeh Siti Jenar diadili para wali, Mbah Wali Biru diminta Raden Fattah dan persetujuan Wali Sembilan untuk menjadi penasihat Kasultanan Demak.

Kemudian Mbah Wali Biru ditunjuk untuk berdakwah di Kadipaten Kaliwungu. Setelah pindah di Kaliwungu Mbah Wali Biru mendirikan Pesantren di daerah Geseng – Kendal.

Karena kemampuan yang tinggi dari Mbah Wali Biru akhirnya Kaliwungu menjadi pusat terbesar pendidikan Agama Islam se Negara Kesultanan Demak Bintoro. Santrinya tidak hanya dari wilayah Kasultanan Demak bahkan ada yang dari luar negeri.

Mbah Wali Biru berdakwah di Kaliwungu selama 9 tahun dan menghasilkan ulama’ – ulama’ besar yang menyebar di wilayah Kasultanan Demak.

Pada zaman Kesultanan Demak nama Selokaton adalah Selotlangu yang merupakan wilayah Kepatihan atau Kawedanan. Setelah zaman Kasultanan Surakarta nama Selotlangu dirubah menjadi Selokaton. Mbah Wali Biru sudah merasa sangat tua dan berkeinginan untuk hidup didaerah yang sepi.

Kebetulan waktu itu Patih Selotlangu mohon bantuan ulama kepada Adipati Kaliwungu agar berdakwah di wilayahnya. Sebab masyarakat Selotlangu kurang mengenal Agama Islam, bahkan sebagian besar rakyatnya masih berkepercayaan Animisme dan Dinamisme.

Akhirnya Mbah Wali Biru bersama beberapa santrinya yang dibawa dari Banyu Biru dan Kaliwungu berangkat ke Selotlangu setelah mendapat izin dari Adipati Kaliwungu.

Patih Selotlangu memberi daerah perdikan untuk didirikan padepokan kepada Mbah Wali Biru yang berupa hutan.

Para santri kemudian membabat alas yang dipimpin oleh Mbah Wali Biru, yang kemudian diberi nama Padukuan Biron. Setelah Padepokan berdiri Mbah Wali Biru mulai menyusun strategi berdakwah dengan cara mengajarkan ilmu kesaktian. Karena dengan cara itu menarik minat masyarakat Selotlangu.

Awalnya Mbah Wali Biru memperagakan ilmu silat yang ditonton oleh rakyat Selotlangu di padepokan, akhirnya mereka berminat dan banyak yang mendaftarkan diri untuk belajar silat.

Bila ikut silat saratnya hanya dengan berwudhu, dan bila mereka sudah menguasai ilmu dasar silat maka dikukuhkan dengan membaca syahadat.

Kalau ingin bertambah sakti para murid disuruh membaca mantra dan bergerak menirukan gerakannya Sebenarnya yang dikerjakan oleh Mbah Wali Biru adalah memberikan contoh tatacara mengerjakan Salat.

Setelah mereka bisa baru dijelaskan bahwa yang mereka kerjakan itu adalah salat yang wajib dikerjakan bagi setiap orang Islam. Dalam waktu singkat padepokan berkembang dengan pesat dan santrinya dari mana – mana.


Atas seizin Sultan Demak, Para Wali, Mbah Wali Biru menetap di Selokaton sampai wafat. Adapun istri dan anaknya jauh sebelumnya sudah wafat dan dimakamkan di Surabaya. Karena Mbah Wali Biru wafat dalam usia 155 tahun dan dimakamkan di sekitar Padepokan  Pesantren Biron – Selokaton.

Salah satu ulama di tanah Jawa KH Siroj – Payaman – Magelang pada 1954 mengatakan ketika sedang ngaji dia kedatangan sosok Mbah Wali Biru. Kemudian KH Siroj menceritakan jika Mbah Wali Biru berpesan kepadanya, "Apabila suatu saat nanti Tanah Biru keluar asapnya, Banyu Biru keluar candinya, maka saat itulah makam dia (Wali Biru) dirawat oleh anak cucu,”. Lalu pada 1987 apa yang dipesankan oleh Wali Biru itu terjadi dan nyata, yaitu Tanah Biru (Dieng – Wonosobo) berhari hari keluar asapnya, Banyu Biru (Rawa Pening – Ambarawa) keluar candinya, dan di tahun itu juga ditemukan makam Wali Biru di Biron, Selokaton, Sukorejo, Kendal.



Sejak itulah makam dibangun dan dirawat bersama – sama oleh Jamaah Alkaromah dan warga masyarakat Selokaton sampai sekarang.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments: