Rachel Corrie,
nama ini akan selalu dikenang Rakyat Palestina. Mahasiswi cantik, aktivis
kemanusiaan asal Olympia, Washington, Amerika Serikat, ini datang ke Jalur Gaza
bersama para aktivis anti Zionis lainnya yang tergabung dalam International
Solidarity Movement (ISM). Corrie adalah bagian dari kisah kekejaman pasukan
Zionis Israel di Palestina.
Corrie masih
berusia 23 tahun ketika tentara Zionis Israel melindasnya dengan buldoser
buatan perusahaan Caterpillar hingga ia menemui ajal. Peristiwa itu terjadi
pada 16 Maret 2003 - Beberapa hari sebelum serangan AS ke Irak-di Rafah, ketika
Corrie berusaha menghalang-halangi pasukan Zionis yang ingin menghancurkan
sebuah rumah milik warga Palestina.
Saksi mata
mengatakan, sopir buldoser Israel sengaja melindas Corrie karena saat itu
posisi Corrie terlihat jelas dan mengenakan jaket warna oranye menyala. Namun
laporan militer Israel yang dirilis pada bulan Juni 2003 menyebutkan apa yang
terjadi pada Corrie adalah “Kecelakaan”.
Organisasi-organisasi hak manusia mengkritik laporan tersebut dan
menyebutnya sebagai “laporan yang menipu”. Setahun kemudian, kepala staff Menlu
AS ( waktu itu dijabat Collin Powell) Kolonel Lawrence Wilkerson mengatakan
pada orangtua Corrie bahwa hasil investigasi militer Israel “tidak kredibel,
tidak menyeluruh dan tidak transparan.”
Orang tua
Corrie lalu mengajukan gugatan hukum terhadap penjajah Zionis-Israel, Militer
Israel dan perusahaan Caterpillar-perusahaan yang mengekspor
kendaraan-kendaraan berat ke Israel-pada tahun 2005 atas kematian puterinya.
Namun pengadilan Federal menolak gugatan itu pada tahun 2007, terutama gugatan
terhadap perusahaan Caterpillar dengan alasan mereka tidak bisa menuntut
perusahaan yang berbasis di Illinois itu atau menuntut Israel karena hal itu
mengharuskan mereka untuk mengeluarkan putusan hukum terkait kebijakan luar
negeri AS yang sudah ditetapkan Gedung Putih.
Dalam
putusannya, tiga hakim dalam pengadilan tersebut mengatakan bahwa gugatan
orangtua Corrie tidak bisa diproses lebih lanjut secara hukum. Karena jika
dilanjutkan, sama artinya pengadilan harus mempertanyakan secara implisit,
bahkan mengecam kebijakan luar negeri AS terhadap Israel.
Naima Shayer,
warga Palestina yang bersahabat dengan Corrie mengungkapkan kenangannya tentang
Corrie. Waktu itu, Corrie sudah tinggal bersama keluarga Naima selama 23 hari.
Naima tahu berita kematian Corrie dari keponakan perempuannya. Ia masih tak
percaya karena beberapa jam sebelumnya, Corrie masih segar bugar dan mencium
Naima berkali-kali sambil mengucapkan selamat tinggal. Naima tidak berfirasat
buruk karena Corrie memang sering bersikap seperti itu.
Tapi ketika ia
menyaksikan berita kematian Corrie di televisi karena dilindas buldoser Israel.
Barulah ia percaya. Naima dan keluarga hanya bisa menangis. “Dia sangat baik
pada kami. Dia sudah kami anggap sebagai keluarga kami sendiri,” kata Naima
mengenang Corrie.
Hari ini, para aktivis ISM di kota Rafah memperingati enam tahun kematian
Corrie dengan menerbangkan layang-layang. Satu layang-layang diterbangkan untuk
memperingati kematian Corrie dan 14 layang-layang diterbangkan untuk
menghormati sekitar 1.400 warga Gaza yang menjadi korban agresi brutal Israel
bulan Januari kemarin.
Rachel Corrie
Jika Anda
bertanya, ”Siapa dia?” Jawabnya: Dia gadis cantik, muda, energik dan mempesona.
Lahir dan besar di tengah keluarga Kristen, di Olympia, Washington, Amerika
Serikat. Beberapa hari sebelum kematiannya, sebuah Koran harian di Inggris
memajang fotonya yang berjilbab di kolom Head line; ketika pertengahan Februari
2003, dia dan pegiat kemanusiaan anti-penjajahan berdemonstrasi di Tepi Barat,
lalu di jalur Gaza Palestina, menentang
pemugaran paksa rumah-rumah penduduk Palestina oleh militer Israel.
Aktivis-aktivis
gereja berbangga karena Rachel lahir sebagai Kristiani yang konsisten berjuang
sejak Olympia, Rusia, hingga Palestina. Orang-orang Yahudi menjadikannya
sebagai penyambung lidah mereka, bahwa mereka tak setuju dengan pendirian rezim
Zionis, Israel. Kaum Muslim, terutama warga Tepi Barat, Palestina, menegaskan
bahwa Rachel Corrie belajar bahasa Arab, belajar membaca al-Quran sebelum
dilindas Buldozer Israel dan mempersembahkan jiwanya untuk tegaknya keadilan.
Lazimnya,
seorang anak, apalagi perempuan, mendapat warna orang tua dalam memilih
”dunianya.” Berbeda dengan Rachel Corrie, justru pengaruhnya teramat besar bagi
kedua orang tua, saudara, serta kawan-kawannya. Rachel Corrie telah mencipta
”atmosfer keluarga” dengan nafas cinta kemanusiaan. Semula, keluarga, terutama
mama Rachel menghendakinya urungkan niat berangkat ke Palestina. Tapi, Rachel
menjawab singkat, ”Ma, telah kukemasi barang-barang yang kubutuhkan di sana
(Palestina).” Sekarang seluruh keluarga Rachel menjadi penggiat
lingkungan-hijau yang anti-fasis, anti-penjajahan, dan anti-rasisme.
Tak berhenti
sampai di situ. Setelah kematiannya, pengaruh Rachel semakin kuat. Sekuat
cita-citanya, rachel menggurat pena. Tulisannya menjadi inti api yang memantik
lentera-lentera di berbagai penjuru dunia untuk memberi tahu; ada cinta Tuhan
di setiap jiwa manusia. ”Inilah titik temu setiap insan. Maka dengan cinta-Nya,
gelarlah permadani cinta untuk menari seirama gendang cinta,” ujar Rachel.
Naskah catatan harian Rachel Corrie dipentaskan di berbagai Negara; Inggris,
Jerman, Italia, Amerika Serikat dan lainnya. Ini bukti bahwa Buldozer
Caterpilar D-9 Israel yang mengupas kulit kepala dan meremukkan tulang punggung
Rachel tak mampu membungkam suara keadilan yang diujar gadis Olympia itu.
Rachel tetap hidup, terutama di sanubari para pecinta keadilan, kedamaian dan
kebenaran.
Rachel
menegaskan jati diri sebagai penulis dan pelukis. Ada ”warna cerah” dalam
tulisannya. Ada haru yang ”gagah” di bait-bait essaynya. Ada canda di
gambar-gambarnya. Di puisinya, ada kata yang menari, lalu mencambuk, seperti
petir melecut mengakhiri mimpi panjang para pengantuk. Kemudian, ada mata menitikkan
bulir-bulir bening saat membaca catatan-catatannya.
Bila kata
terujar mulutku tak berarti, biarkan ia mengambang sesaat di udara. Kan
kujadikan itu kata-kata canda menghibur hingga kelak kucipta kalimat bermakna
mengitarinya. Kumau terbang melayang untuk berkibar…. Beri aku jedah waktu,
jangan komentari… Biarkanku menari, mengitari kelopak bunga lily. Kemudian
melesat bagai air mancur, terbang menyertai kata-kataku yang tak berarti itu.
Kalimat-kalimat ini adalah petikan salah satu catatannya. Kuat dan inspiratif.
Seperti penegasannya, ”Beri aku jedah waktu, jangan komentari…” betapa dia
sangat menghargai proses menjadi manusia. Dia yakin, tak ada yang sia-sia dari
setiap imajinasi yang terujar merdeka.
Imajinasi
Merdeka. Ia adalah racikan rasio dan rasa. Hasilnya adalah kekuatan tak
tertakar. Ia sublim bersama pemiliknya sebagai energi hidup dan kehidupan. Saat
menjelma sebagai tulisan, ia mencabar setiap pembaca waras. Ketika mewujud
dalam perilaku, imajinasi merdeka adalah “pijar matahari” membakar setiap sudut
gelap penghambat kemanusiaan.
Rachel Corrie,
mengabadikan cita-cita cinta dan kemanusiaannya melalui catatan-catatan
hariannya. Semua tulisan dan gambarnya ”berbicara” lugas dan berenergi. Dia
beritahu dunia, bagaimana cara menjadi manusia. Dengan akal sehat, lalu kata
yang waras, tulisan yang hidup, tindakan yang benar, semua telah dilakukan
Rachel, di Palestina.
Sejak Olympia Movement for Justice and Peace (OMJP),
Olympians for Peace in the Middle East (OPME), Students Educating Students
about the Middle East (SESAME), Olympia Fellowship of Reconciliation (FOR)
hingga International Solidarity Movement (ISM) disuplai energi kemanusiaan
olehnya untuk meneriakkan kata “Merdeka!” Karena penjajahan yang diprakarsai
negaranya (AS), Inggris dan Negara-negara Eropa masih berlangsung di hampir
setiap sudut bumi ini.
Dengan pilihan
merdeka, Rachel Corrie pergi ke Palestina. Rachel mempelajari isu tak masuk
akal Palestina yang berhembus ke telinga dunia dengan kata “konflik”
Palestina-Israel. Akhirnya dia dapati kenyataan bahwa Israel menjajah Palestina
sejak lebih setengah abad lampau.
“Rachel, untuk
pergi ke Palestina, kewajibankah? Tak seorangpun menyalahkanmu untuk
mengurungkan niat itu,” ujar Mama Rachel. Rachel menjawab pasti, “Barang-barang
sudah kukemas. Rasa takut itu manusiawi. Tapi kupikir, melakukannya tak
mustahil. Harus kucoba, Mam.” Seatraktif apapun bujukan keluarganya, niat
Rachel tak tergoyahkan. Tekad telah bulat, “Goodbye Olympia…”
Januari 2003.
Rachel berangkat ke Israel untuk transit ke Tepi Barat. Setibanya di tanah para
pengungsi itu, dia langsung bergabung bersama insan internasionalis (dari
Inggris, Jerman, Itali dll) di International Solidarity Movement (ISM); wadah
para pegiat kemanusiaan anti penjajahan. Pergerakan ini hanya memiliki dua
syarat partisipasi: Pertama, pegiatnya yakin bahwa bangsa Palestina berhak
merdeka berdasarkan hukum internasional dan resolusi PBB. Kedua, pegiatnya
hanya menggunakan cara tanpa kekerasan untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa
Palestina.
Ketika tiba di
Rafah, Rachel saksikan tank, bulldozer, menara-menara sniper dan pos-pos
penggeledahan Israel bertengger di antara puing-puing bekas pemukiman penduduk
Gaza. Tembok baja raksasa dibangun di reruntuhan dekat perbatasan Mesir.
Matanya menyapu sekeliling; tampak orang-orang Palestina bertahan, meski
penindasan terus berlangsung. Wajah-wajah lusuh itu menjalani hidup serba
kekurangan, menderita dan menunggu giliran direnggut maut. Itulah kisah jejakan
pertama Rachel di bumi Palestina, seperti yang dikisahkan Craig Corrie, Mama
Rachel Corrie.
Rachel
abstraksikan bahaya di daratan gersang itu. Debam-debam ledakan nyaris tak
berjedah diselingi suara peluru-peluru yang dimuntahkan. Sesekali jerit
ketakutan penduduk samar terdengar. “Bisakah kau dengar itu…? Bisakah kau dengar
itu…?” ujar Rachel terbata-bata saat pertama kali menelepon mamanya dari rumah
seorang Palestina tempat dia tinggal.
Di Rafah,
Rachel dan penggiat kemanusiaan lainnya menjadi benteng hidup, berdiri
mengelilingi pekerja air kota Palestina yang menggali sumur. Dia hadang moncong
laras panjang sniper-sniper militer Israel yang berada di menara benteng. Desir
angin panas membahanakan deru misil-misil, tak hanya di Palestina, tapi ke
seantero jagad.
Rachel dan
rekan-rekan terus berdiri mengelilingi sumur-sumur yang sedang digali para
pekerja hingga lewat tengah malam. Demi setetes air agar basahi tenggorokan
pengungsi Palestina yang terkurung sejak lama di bui Gaza. Hanya itu
satu-satunya cara, setelah kebun zaitun penduduk Palestina dilindas
buldoser-buldoser tentara IDF (tentara pertahanan Israel), setelah
tentara-tentara Israel menimbun sumur-sumur dengan puing-puing rumah penduduk.
Rachel mengasuh
bocah yatim massal Palestina dalam naungan Children’s Parliament. Merekalah
yang memantapkan kedewasaan Rachel. Melalui mereka, Rachel bisa berbahasa Arab.
Melalui Rachel mereka berkenalan dengan bahasa Inggris.
Meski berada
dalam situasi gawat di Rafah, Rachel dan kawan-kawan sempat berdemonstrasi
menentang militer AS yang meluluhlantak Irak pada 15 Februari 2003. “Ini salah
satu tragedi terbesar dalam sejarah,” tutur Rachel.
Kampung
halaman: Olympia atau Gaza? Di mata Rachel sama pentingnya. Rachel menjadi
tambang yang menyimpul komitmen persaudaraan Gaza-Olympia. Wanita, anak-anak
bergabung dalam pekan raya persaudaraan prakarsa Rachel itu.
Rachel
menghadang tentara IDF yang hobi meluluhlantak pemukiman penduduk Palestina
terutama Gaza. Rachel sengaja menghuni rumah penduduk yang menjadi incaran
buldoser-buldoser Zionis-Israel. Rachel sadar, hak hidup merdeka milik semua
bangsa, termasuk bangsa Palestina. Ya, Rachel tahu, hukum internasional
harusnya melindungi ribuan orang di Rafah, Jalur Gaza. Tak ada hak siapapun
untuk memusnahkan bangsa lain, apapun dalihnya, termasuk dalih pendirian negara
ilegal Israel dan perluasan wilayahnya oleh IDF dengan membasmi penduduk di
daratan berbatasan Mesir itu.
16 Maret 2003.
Bersama tujuh pejuang internasional kemanusiaan dari Amerika dan Inggris,
Rachel rela menjadi benteng hidup agar sisa rumah-rumah warga Palestina selamat
dari serudukan buldoser Caterpillar D-9R milik tentara Israel. Rachel dan
aktivis ISM lainnya yakin, bangsa Palestina berhak hidup aman di rumah mereka,
di sekolah bahkan di dalam bis. Rachel berprinsip; penjajahan Israel atas
bangsa Palestina harus berakhir secepatnya. Pembantaian tak pernah dilakukan
orang-orang beradab, apalagi dengan dalih perluasan wilayah. “Mungkin aksi
damai efektif sebagai solusi hingga terhenti pembantaian orang-orang Palestina.
Sebagaimana penduduk Amerika dan seluruh dunia bisa hidup merdeka, demikian
Palestina,” tutur Rachel.
16 Maret 2003.
Dua bulldoser dan tank-tank Israel melaju kencang di jalanan Hi Salam, Rafah,
Jalur Gaza, perbatasan Mesir menuju rumah-rumah penduduk Palestina. Satu
buldoser dikendarai operator, dipandu seorang tentara yang berhenti tepat di
depan rumah Nasrallah, salah satu keluarga di Rafah. Sudah beberapa hari Rachel
tinggal di dalamnya. Bukan sekedar menumpang tidur, tapi Rachel sengaja
menghendaki tentara IDF mengurungkan niat membongkar rumah itu karena
keberadaannya. Juga, Rachel menegaskan tekadnya untuk bersama warga Palestina
memperjuangkan kemerdekaan. Kesan seram ini dipotret Rachel melalui e-mail yang
dikirim kepada Mamanya: Dua kamar depan rumah mereka tak dapat digunakan.
Dinding-dindingnya hancur ditembus peluru Israel. Seluruh anggota keluarga;
tiga anak dan dua pasang suami istri tidur di ruang tengah. Aku tidur di lantai
bersama anak perempuannya, Iman dalam satu selimut.
Sekitar jam 5
sore, buldoser meraung-raung meminta tumbal. Saat melintas, rantai roda baja
itu menyemburkan onggokan tanah kering hingga menimpuk aktivis-aktivis yang
menjadi benteng hidup rumah warga Gaza itu. Seorang aktivis Amerika terlempar
berguling-guling sebelum akhirnya tersangkut di kawat berduri dan seorang
aktivis Inggris terjepit dinding. Buldoser D9R Israel siap melindas rumah itu,
Rachel bergegas lari menghampiri. Dia tahu, keluarga Nasrallah berada di
dalamnya. Dia hadang buldoser itu selayak Polantas menghentikan mobil di jalan
raya. Aksi ini biasa dilakukan aktivis ISM sebelumnya.
Buldoser Israel
tak berhenti. Aktivis-aktivis ISM lain menjerit histeris melambai-melambaikan
tangan. Mereka ketakutan. Raungan buldoser menindih semua suara. Melihat D-9R
semakin bergairah menyeruduk, Rachel berupaya memanjat gundukan tanah yang
dikeruk pisau buldoser agar tak tertelan. Posisi Rachel di atas gundukan itu
cukup tinggi, pasti tentara IDF yang mengoperasikan kendaraan baja itu
melihatnya. Tapi serdadu itu tetap tancap gas. Rachel terbanting kemudian
terseret pisau Bulldozer. D9R terus melaju. Rantai-rantai baja bergemeretak
melindas Rachel, kemudian mundur. Tersisa tubuh hancur Sang gadis Olympia.
Teman-teman
Rachel bergegas menghampiri. Rachel masih hidup kala itu. Dia sempat berkata,
“Sepertinya punggungku remuk.’’ Tak lama ambulan Palestina datang. Saat itu
dipastikan tiada harapan hidup bagi Rachel. Gadis berambut pirang itu
dinyatakan meninggal beberapa saat setelah tiba di rumah sakit lokal.
Sayang, Rachel
Corrie berada di pihak yang “salah.” Dia mati dilindas buldoser Zionis-Israel.
Karena alasan itulah pemerintahnya (Amerika Serikat) mendiamkan dan
menghentikan kasusnya.
Rachel Corrie,
abadilah namamu sebagai pejuang kemanusiaan. Engkaulah energi hidup yang
menghidupkan.
Sumber Dari : https://www.eramuslim.com
0 comments:
Post a Comment