Tentunya kita pernah mendengar istilah Sintren, sebuah seni tradisional di
daerah pantura. Pada zaman dahulu, Kalisabak dipimpin oleh seorang penguasa wilayah yang
bernama Raden Bahureksa. Ia tinggal bersama istrinya yang bernama Roro
Rantamsari dan putra semata wayangnya, Raden Sulandono. Raden Sulandono tumbuh menjadi seorang pangeran yang tampan dan
baik budi pekertinya. Perilakunya yang sopan dan tidak membeda-bedakan teman
pergaulan, menjadikannya memiliki banyak teman. Ia suka bergaul dengan rakyat
biasa, dan berkunjung sampai ke desa-desa.
Sementara itu, di sebuah dusun yang menjadi
wilayah Kalisabak, tersebutlah gadis bernama Sulasih. Sulasih, gadis cantik
berbudi itu menjadi kembang desa kebanggan para pemuda.
Suatu hari saat berkunjung ke desa itu,
bertemulah Raden Sulandono dengan Sulasih. Raden Sulandono langsung jatuh cinta
pada Sulasih. Cinta mereka pun bertaut, tanpa mempermasalahkan status mereka
yang berbeda. Namun rupaya Raden Bahureksa menghalangi cinta putranya. Ia
beranggapan Sulasih tidak cocok untuk putranya. Walaupun terus dihalang-halangi
ayahnya, hubungan cinta Raden Sulandono dan Sulasih terus berlanjut. Tak lama
berselang, Raden Bahureksa meninggal dunia, disusul Rara Rantamsari.
Sebenarnya, banyak pemuda yang terpikat pada
kecantikan Sulasih. Suatu waktu, Sulasih disembunyikan oleh para pemuda itu
agar tidak dapat bertemu lagi dengan Raden Sulandono. Mengetahui kekasihnya
disembunyikan, maka terjadi pertarungan antara Raden Sulandono dengan para
pemuda desa tersebut. Dan karena dikeroyok, Raden Sulandono kalah. Namun sebelum
celaka, Raden Sulandono diselamatkan oleh roh Roro Rantamsari yang kemudian
memerintahkan Raden Sulandono untuk bertapa dan memberinya sehelai saputangan.
Dia disarankan untuk menjadi penari pada upacara bersih desa yang akan datang.
Pada malan bulan purnama pada saat upacara bersih desa dimulai, melalui
perantara Roro Rantamsari, roh bidadari didatangkan agar menyatu ke dalam tubuh
Sulasih sehingga ia mampu menari di acara bersih desa. Roh Rantamsari kemudian
mendatangi Raden Sulandono yang sedang bertapa agar segera bangun dan
cepat-cepat mendatangi upacara bersih desa tersebut. Dalam kesempatan itu Raden
Sulandono melemparkan saputangan pemberian ibundanya, maka pingsanlah Sulasih
yang sedang menari. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan oleh Raden Sulandono
yang segera membawa lari Sulasih.
Sejak saat itu, bila suatu desa menyelenggarakan
upacara bersih desa, maka akan disajikan tarian yang pernah ditarikan Sulasih,
yaitu tarian para bidadari. Saat menari, seringkali penari seperti tak sadarkan
diri karena dimasuki roh.
Tari ini untuk selanjutnya disebut Sintren, yang
berasal dari kata si-putri-an atau si-putren, kemudian menjadi sintren, yaitu
putri yang menari menirukan tarian para bidadari.
Sekarang ini, umumnya Sintren tidak lagi sebagai
tari yang disajikan dalam upacara bersih desa, tetapi telah menjadi tontonan
yang bersifat hiburan.
Sumber Dari : http://kelirnews.com
0 comments:
Post a Comment