Saat menjelang
pelaksanaan Idul Qurban, kebetulan saya ditunjuk menjadi salah satu panitia
Qurban dikantorku. Kebetulan pada tahun 2006 lalu, terjadi dua kali berqurban,
tepatnya qurban pertama di awal bulan Januari 2006. Saat pulang kerja, saya
bersama rekan pergi untuk membeli hewan Qurban di salah satu penjual hewan
Qurban untuk membelanjakan hewan qurban dari dana yang dititipkan panitia
kepada saya.
Tiba di tempat
penjual hewan Qurban, terlihat penjual hewan Qurban sangat sibuk melayani para
pembeli yang datang. Begitu pula dengan para pembeli yang sibuk memilih dan
menawar harga hewan Qurban yang terbaik untuk memenuhi seruan ber-Qurban di
hari raya nanti.
Saya pun
terpaksa harus menunggu lama sambil melihat-lihat hewan Qurban yang ada di
lokasi. Namun, diantara para pembeli yang sedang antri, mata saya tertuju pada
seorang ibu tua yang sedang memikul bakul jualan berisi sapu lidi, kemoceng dan
barang lainnya.
Terlihat dengan
sabar, si ibu tua itu berdiri melihat-lihat para pembeli yang sibuk memilih
hewan Qurban dan menawar harga memilih hewan Qurban dan harga yang cocok, lalu
si penjual hewan Qurban itu mengambil kwitansi pembelian untuk saya.
Selagi menunggu
si penjual Qurban membuatkan kwitansi, lalu saya pun menghampiri si Ibu tua
tadi dan menanyakan apa keperluannya hingga rela berlama-lama menunggu di sana.
Dalam hati saya, mungkin si Ibu tua itu mau meminta sedekah dari penjual hewan
Qurban itu.
Namun, alangkah
terkejutnya saya, ketika mendengar jawaban dari si ibutua itu kalau dirinya
juga ingin membeli hewan Qurban buat dikurbankan kepada si penjual. Setelah itu
tiba giliran penjual Qurban melayani saya dan kawan panitia lainnya.
Setelah atas
nama dirinya sendiri. “Alhamdulillah kasep (panggilan kasih sayang di daerah
jawa barat), Ibu ini sudah beberapa tahun terakhir rutin membeli kambing
Qurban,” ujarnya. “Bagaimana caranya Ibu dapat membeli kambing Qurban, kan
pekerjaan Ibu hanya penjual kecil-kecilan,” tanyaku hati-hati kepada si Ibu tua.
Lalu, nggak berapa lama si Ibu tua itupun menjelaskan bahwa setiap hari dirinya
menyisihkan seribu hingga dua ribu perak dari keuntungannya
berjualan.
”Alhamdulillah, kalau lagi laku banyak, Ibu suka menyisihkan tiga ribu sampe lima ribu perak kasep, tapi itu jarang sekali kasep,” lanjut si Ibu tua. “Kalau sehari seribu, dua ribu, atau tiga ribu perak. Maka dalam setahun Ibu bisa ngumpulin uang sekitar 700 ribu lebih. Nah, jadi cukup buat beli kambing Qurban yang terbaik menurut ibu,” kata Ibu tua menjelaskan.
Duhhh…Nyess
banget rasanya hati ini…saya pun hanya bisa terdiam mendengar cerita si Ibu tua
itu. Jika si ibu tua itu saja dengan telatennya menyisihkan keuntungannya dalam
berjualan setiap harinya demi keinginan besar untuk bisa berQurban setiap
tahunnya. Seharusnya, berarti tidak ada alasan bagi saya dan bahkan mereka yang
kaya untuk tidak melaksanakan ibadah Qurban setiap tahunnya pula.
Saya tidak
perlu mengumpulkan uang bila ingin membeli kambing Qurban, seperti yang dialami
si Ibu tua itu. Apalagi penghasilan saya bisa dikatakan diatas rata-rata yang
lainnya, bahkan tidak saja bisa membeli Kambing qurban, tapi saya pun
seharusnya bisa membeli Sapi Qurban. Mungkin saya hanya perlu menahan keinginan
untuk makan makanan mewah seperti fast food, nginap di hotel berbintang lima,
nonton di bioskop 21 ataupun membeli accessories kendaraan lainnya.
Hal itulah yang
jadi perenungan saya dalam setahun terakhir ini. Bila saja si ibu tua itu harus
menyisihkan seribu, dua ribu bahkan lima ribu perak dari hasil keringatnya
memikul barang jualan setiap harinya, yang paling-paling hanya dapat untung 10
ribu sampe 20 ribu rupiah. Maka, apakah saya sudah cukup berani dan lapang hati
serta ikhlas untuk menyisihkan 10 persen dari penghasilanku setiap bulan untuk
meraih cinta Allah dalam berqurban.
Sungguh aku
belum bisa seperti si Ibu tua itu, yang dengan ikhlas menqurbankan hewan terbaiknya
sesuai kemampuannya. Seharusnya pun saya bisa mengurbankan hewan qurban yang
terbaik juga sesuai kemampuan saya. Jujur saja, saya belum segagah si ibu tua
itu, yang kuketahui namanya Ummi Kultsum, 71 tahun dengan 7 orang anak dan 18
cucu ini. Beliau juga sering menjual makanan kering, donat, risol, nasi uduk di
rumahnya yang sederhana.
Sumber Dari : http://artikelmuslimah.com
0 comments:
Post a Comment