Hidayah
adalah anugerah yang datang tanpa disangka-sangka. Hal ini dirasakan oleh Chika
Nakamura, seorang petinju wanita asal negeri sakura. Chika lahir dan dibesarkan
di Jepang, dengan masa kecil yang bahagia, diasuh oleh orang tuanya yang sangat
disiplin.
Ia belajar di sekolah yang bagus, mengikuti kegiatan ekskul, bermain
dengan teman-teman; bermain bola dan plastisin (playdough) setiap akhir pekan.
Ia adalah tipikal anak Jepang yang sangat dimanjakan secara material. “Namun
ada yang hilang saat itu, yakni komunikasi anak dengan orang tua di dalam
keluarga,” ungkapnya. Padahal, ia telah melewati masa kecil yang gembira karena
terpenuhi segala kebutuhannya. Pun saat menginjak masa remaja, Chika bersekolah
di sekolah favorit. Tapi ia tetap merasa ada yang hilang, yaitu passion-nya.
“Saya tidak tahu apa yang hilang ketika itu,” hatinya bertanya-tanya.
Saat usia
16 tahun, Chika meninggalkan rumah, pergi ke Inggris. Ia mencoba hidup mandiri,
mencari nafkah; untuk makan, membayar tagihan-tagihan dan biaya sekolah bahasa
Inggris. Perasaannya begitu tertantang. Semuanya baru; orang baru, lingkungan
baru, bahasa baru. Ia merasa bersemangat. Namun demikian, ia mengakui “hidup di
Inggris terlalu berat dan mahal, maka saya putuskan untuk kembali ke Jepang 2
tahun kemudian.
Saat berjumpa dengan Chika, orang tuanya terkejut. Caranya
berpakaian telah berubah. Ia sangat kebarat-baratan. Pakaiannya ketat dan
memakai rok mini. Karena merasa tidak cocok tinggal di pinggiran kota, ia lalu
pindah lagi ke Tokyo selama 2 tahun.
Tokyo adalah kota besar yang sangat
materialistis. Segalanya serba canggih. Di sana, Chika berjumpa dengan seorang
teman wanita yang mengajarinya mengendarai motor. Saat itulah, ia merasa
menjadi wanita bebas. Di atas motor, ia melihat sebuah billboard. Dibawah
lampu merah itu ada gambar wanita petinju. Sejak saat itu ia berpikir, “Aha,
inilah passion-ku!” Chika bertekad menjadi petinju.
Chika Nakamura |
Saat itu tahun 1999. Ia
berangkat ke Amerika, mengejar mimpi sebagai seorang petinju profesional. Di
tahun 2001 dan 2002 ia menjadi satu-satunya wanita petinju asal Jepang yang
memenangkan beragam kejuaraan tinju tingkat dunia. Sayangnya, ternyata Chika
tetap mengeluh, “Saya telah berkorban banyak; meninggalkan orang tua, keluarga,
kampung halaman, teman, dan banyak lagi. Sementara, hidup di Amerika juga berat
karena saya serba kekurangan. Saya merasakan penderitaan fisik dan mental.
Hidayah di balik musibah Suatu hari Chika menderita cedera. Menurut dokter, itu
adalah cedera yang serius. Katanya ia harus beralih profesi. Sebagai atlit,
cedera adalah hal yang menakutkan. Ia terancam kehilangan mimpinya sebagai
petinju wanita profesional. Chika merasakan ketakutan dan tersadar bahwa
usianya semakin pendek. Tapi ia bersikeras harus bertahan dan harus kembali.
Maka ia ikuti proses pemulihan dan kembali ke ring.
Secara emosional Chika
merasa gelisah. Saya bertanya-tanya apakah tujuan hidup ini. Saat itu kali
pertama hidup saya merasa terhenti sejenak. Saya tidak bisa berlari, tidak bisa
berjalan, tidak punya keluarga, dan tak punya tujuan hidup.” Dia mempertanyakan
kembali apa yang telah dialami. Mengapa harus meninggalkan Jepang? Mengapa mau
menjadi petinju wanita profesional? Chika bangkit kembali dan mengaku dibisiki
hawa nafsu bahwa, “Inilah tujuan hidupku. Passion-ku adalah tinju. Segalanya
telah ku korbankan demi bertinju. Aku bisa bertahan demi karier sebagai wanita
petinju. Aku bisa membantu orang lain dengan berbagi pengalaman tentang
perjalanan hidupku menuju profesi sebagai petinju.
Seolah benar, Chika
menemukan sebuah pola hidup manusia, bahwa hidup ini pasti mendapati masalah,
lalu berhasil melewatinya, lalu timbul lagi masalah, dan kita lewati lagi,
demikian seterusnya. Maka ia pikir pasti bisa selamat melewatinya. Ia pun tak
menuruti saran dokter. Mulanya Chika mendapatkan “keajaiban” bertubi-tubi. Ia
mendapatkan sponsor dan pindah ke Kalifornia untuk berlatih demi kejuaraan.
Disana ia mendapatkan pelatih yang hebat. Saat itu ia merasa begitu kuat, sehat
dan dimudahkan. Sayangnya, lagi-lagi ia masih belum mendapatkan jawaban atas
kekosongan jiwa itu. “Ini pasti bukan jalan yang benar,” ujarnya. Lalu Chika
mencari jawabannya dengan membaca buku biografi orang-orang yang sukses dalam
berbagai bidang; ekonomi, politik, bisnis dan agama. Ia tetap tidak mendapatkan
jawaban.
Sampai suatu ketika, Chika berjumpa dengan seorang mantan petinju
kelas dunia. Ia seorang muslim. Ia berdiskusi dengannya. Ia sangat sederhana,
rendah hati, ramah, dan baik sekali. Inilah yang telah Chika tinggalkan dan
hilang dari masyarakat London dan di Jepang. “Tidak perlu ilmu akademik yang
banyak dan keterampilan yang tinggi untuk memperoleh ketenangan. Saya juga bisa
mendapatkannya sambil fokus pada tinju,” pikirnya. Lantas, tiba-tiba takdirnya
berubah. Karirnya terhenti tanpa sponsor, setelah mencoba peruntungan di New
York selama 4 bulan.
Kekasihnya pergi dan ia tak punya siapa-siapa lagi. Ia
putus asa dan menghentikan semuanya. Qodarullah, Allah pertemukan Chika dengan
seorang teman wanita asal Perancis, dia seorang kristen. Dia bilang ada satu
potong puzzle yang hilang pada dirinya. Itulah sang pencipta. Dia bertanya
apakah Chika tahu tentang pencipta. “Tentu aku tak tahu apa-apa tentang
pencipta,” jawabnya. Maka Chika ikuti saran temannya untuk mempelajari
agama-agama. Ia mendatangi tempat ibadah hindu, gereja, budha, dan masjid.
Di
masjid, Chika mengenang detik-detik saat menjemput hidayah-Nya, “Saya bersujud,
menangis. Hati dan jiwa ini berbisik; butuh banyak waktu untuk saya menempuh
perjalan hidayah ini. Saya kembali kepada Allah. Segera saya ingin menjadi
muslim. Pada hari Jum’at, beberapa tahun yang lalu, saya tinggalkan tinju,
cinta dan rencana ingin menikah cepat. Saya mengucap syahadat.” “Tentu saya
sedih.
Memang sulit meninggalkan passion-mu. Tetapi, kini saya punya misi baru,
yakni membela Islam, berdakwah di negara saya dan dunia. Inilah jalan yang
benar,” pengakuan Chika. Alhamdulillah, kini Chika merasakan kedamaian jiwa
setelah berislam dan mengaku telah bahagia menjadi seorang muslimah. Ia
menyadari bahwa akan ada tantangan lebih dalam berdakwah, lebih letih daripada
bertinju. Namun hal itu tak menyurutkan tekad Chika guna mendedikasikan seluruh
hidupnya untuk Islam.
Saat ini ia serahkan seluruh potensinya untuk Islam,
dengan misi hidup yang baru, yakni jihad fiisabilillah.
Sumber Dari : http://www.arrahmah.com
0 comments:
Post a Comment