Diculik,
dipukuli, dijual, dan diperkosa. Itulah yang dialami para perempuan yang jadi
tawanan kelompok militan ISIS di Irak dan Suriah.
Kelompok
militan itu mengelola sebuah pasar internasional di Irak dengan sejumlah
perempuan Kristen dan Yazidi dijual sebagai budak seksual. Demikian kata
seorang remaja yang berhasil melarikan diri dari tempat itu kepada kantor
berita AFP, Selasa (1/9/2015).
Perempuan-perempuan Yazidi |
Remaja
bernama Jinan (18 tahun) itu seorang Yazidi. Ia ditangkap pada awal tahun 2014
dan ditawan militan ISIS selama tiga bulan sebelum kemudian berhasil melarikan
diri. Ia mengatakan hal itu dalam sebuah kunjungan ke Paris menjelang publikasi
bukunya pada Jumat mendatang. Buku itu berisi kisah penderitaan yang
dialaminya.
Ia
ditawan saat milisi ISIS menyerbu wilayah utara Irak yang dihuni kaum minoritas
Yazidi. Jinan dipindahkan beberapa kali ke sejumlah lokasi sebelum dibeli oleh
dua orang pria, seorang mantan polisi dan seorang imam.
Ia
menjelaskan kepada AFP bagaimana dirinya dan para tahanan Yazidi lainnya
dikurung di sebuah rumah. "Mereka menyiksa kami, mencoba untuk memaksa
kami pindah keyakinan. Jika kami menolak, kami dipukuli, dirantai di luar
ruangan di bawah sinar matahari, dipaksa minum air yang ada tikus mati di
dalamnya. Kadang-kadang mereka mengancam akan menyiksa kami dengan
listrik," katanya.
"Orang-orang
itu bukan manusia. Mereka hanya memikirkan kematian, pembunuhan. Mereka selalu
menggunakan obat-obatan. Mereka ingin balas dendam terhadap semua orang. Mereka
mengatakan bahwa suatu saat ISIS akan menguasai seluruh dunia."
Dalam
buku itu, Jinan menjelaskan bagaimana suatu ketika di Mosul, dia dibawa ke
"ruang resepsi besar dengan kolom-kolom (tiang-tiang) yang besar pula...
puluhan perempuan berkumpul di sana. Para milisi berkeliling di antara kami,
tertawa dengan suara parau, mencubit pantat kami," tulisnya dalam buku
berjudul Daesh's Slave, yang merupakan singkatan bahasa Arab untuk nama
kelompok militan tersebut.
Jinan (18 Tahun) |
Ia
mengatakan, seorang milisi mengeluh dengan mengatakan, "Yang itu punya
payudara yang besar. Namun, saya menginginkan seorang Yazidi bermata biru dan
kulit yang putih. Yang rupanya paling cantik. Saya berani membayar harganya."
Selama
di tempat yang semacam "pasar budak" itu dia tidak hanya melihat
orang Irak dan Suriah, tetapi juga sejumlah orang Barat yang kewarganegaraannya
tidak ia ketahui.
Gadis-gadis
yang paling cantik disediakan untuk para bos atau para klien kaya dari
negara-negara Teluk. Setelah dirinya dijual, hari-hari Jinan diselingi oleh
kunjungan sejumlah pria ke rumah di mana dia dipenjarakan bersama para
perempuan lain.
Pistol
ditukar dengan perempuan berambut coklat
Para
milisi datang untuk melakukan pembelian di tempat semacam alun-alun. Para
pedagang bertindak sebagai perantara antara para pemilik budak dan para emir
yang memeriksa "ternak", tulis Jinan dalam buku itu, yang ditulis
dengan bantuan wartawan Perancis Thierry Oberle.
"Saya
akan menukar pistol Beretta Anda dengan yang berambut coklat itu," kata
salah seorang pedagang. "Jika Anda
lebih memilih untuk membayar kontan, itu seharga 150 dollar AS (atau sekitar Rp
2,1 juta). Anda juga dapat membayar dalam mata uang dinar Irak."
Dua
majikan Jinan menyakini dia tidak bisa berbicara bahasa Arab. Maka dari itu,
mereka pun berbicara leluasa di depannya dan pada satu malam ia mendengar
percakapan yang mengungkapkan sejauh mana perdagangan budak itu dijalankan
seperti bisnis.
"Seorang
pria tidak boleh membeli lebih dari tiga perempuan, kecuali orang itu dari
Suriah, Turki, atau salah negara Teluk," kata salah seorang dari mereka
yang bernama Abou Omar.
"Itu
baik untuk bisnis," jawab yang lain, Abou Anas. "Seorang pembeli
Saudi menanggung biaya transportasi dan makanan sementara anggota ISIS tidak
(menanggung biaya itu). Dia punya kuota lebih tinggi agar pembeliannya
menguntungkan. Itu merupakan kesepakatan yang baik. ISIS menaikkan
keuntungannya demi mendukung para mujahidin dan para saudara asing kita pun
puas."
Setelah
berhasil melarikan diri dengan menggunakan satu set kunci curian, Jinan kembali
ke suaminya dan sekarang tinggal di sebuah kamp pengungsi Yazidi di Kurdistan
Irak.
"Jika
kami kembali ke rumah, akan ada genosida lagi terhadap kami. Satu-satunya
solusi adalah kami memiliki suatu wilayah buat diri kami sendiri, (yang berada)
di bawah perlindungan internasional," katanya kepada AFP.
Sumber Dari : http://internasional.kompas.com
0 comments:
Post a Comment