Ilustrasi |
Saat saya berusia 9
tahun, ibu menikah dengan seorang pria dan menyuruh kami memanggilnya ayah.
Pria tersebut adalah ayah tiri saya. Untuk selanjutnya dia yang menopang
keluarga kami. Dalam ingatan masa
kecil, ayah tiri saya seorang yang sangat rajin, dia juga sangat menyayangi
ibu. Pekerjaan apa saja dalam keluarga yang membutuhkan tenaganya akan dia
lakukan, selamanya tidak membiarkan ibu untuk campur tangan.
Sehari-hari ayah tiri
adalah orang yang pendiam. Usianya kira-kira 40an lebih, berperawakan
tinggi dan kurus, tetapi bersemangat. Dahinya hitam, memiliki sepasang tangan
besar yang kasar, di wajahnya yang kecoklatan terdapat sepasang mata kecil yang
cekung.
Ayah tiri saya
mempunyai suatu kebiasaan, tidak peduli pergi kemana pun, diatas pinggangnya
selalu terselip sebatang pipa rokok antik berwarna coklat kehitaman. Setiap ada
waktu senggang dia selalu menghisap rokok menggunakan pipa itu. Sejak dulu saya
tidak suka dengan perokok, oleh karenanya saya juluki dia dengan sebutan “setan
perokok”.
Dalam ingatan saya,
ayah tiri selalu tenang dalam menghadapi segala persoalan, tidak peduli besar
kecilnya permasalahan selalu dihadapinya dengan santai. Namun hanya karena
sebatang pipa rokok, ayah tiri telah memberikan saya sebuah tamparan yang
sangat keras.
Teringat waktu itu
ayah tiri baru saja menjadi anggota keluarga kurang lebih setengah tahun, suatu
hari saya mencuri pipa rokoknya untuk saya sembunyikan. Hasilnya, ayah tiri
selama beberapa hari merasa gelisah dan tak tenang, sepasang matanya merah
laksana berdarah. Akhirnya karena saya diinterogasi dengan keras oleh ibu,
dengan berat hati saya menyerahkan pipa rokok itu.
Ketika saya
menyerahkan pipa itu kehadapan ayah tiri, dia menerimanya dengan tangan
gemetaran dan tak lupa dia memberikan saya satu tamparan keras, kedua matanya
berlinangan air mata. Saya sangat ketakutan
dan menangis, ibu menghampiri dan memeluk kepala saya lalu berkata, “Lain kali
jangan pernah menyentuh pipa rokok itu, mengertikah kamu? Pipa itu adalah
nyawanya!”
Setelah kejadian itu,
pipa rokok itu menjadi penuh misteri bagiku. Saya berpikir, “Ada apa dengan
pipa itu sehingga membuat ayah tiri bisa meneteskan air mata? Pasti ada sebuah
kisah tentangnya.” Mungkin tamparan itu
telah menyebabkan dendam terhadap ayah tiri, tidak peduli bagaimanapun jerih
payah pengorbanannya, saya tidak pernah menjadi terharu. Sejak usia belia, saya
selalu berpendapat ayah tiri sama jahatnya seperti ibu tiri dalam dongeng
Puteri Salju. Sikap saya terhadap ayah tiri sangat dingin, acuh tidak acuh,
lebih-lebih jangan harap menyuruh saya memanggil dia “ayah”.
Tapi ada sebuah
peristiwa yang membuat saya mulai ada sedikit kesan baik terhadap ayah tiri.
Suatu hari ketika
saya baru pulang dari sekolah, begitu masuk rumah segera melihat kedua tangan
ibu memegangi perut sambil berteriak kesakitan. Ibu bergulung-gulung di
ranjang, butiran besar keringat dingin bercucuran di wajahnya yang pucat.
Celaka! Penyakit maag
ibu kambuh lagi! Saya dan adik menangis mencari ayah tiri yang bekerja disawah.
Mendengar penuturan kami, dia segera membuang cangkul ditangannya, sandal pun
tak sempat dia pakai. Sesampai dirumah tanpa berkata apapun segera mengendong
ibu kerumah sakit seperti orang sedang kesurupan. Ketika ibu dan ayah tiri
kembali kerumah, hari sudah larut malam, ibu kelelahan tertidur pulas diatas
pundak ayah tiri.
Melihat kami berdua,
ayah tiri dengan nafas tersengal-sengal, tertawa dan berkata kepada kami,
“Beres, sudah tidak ada masalah. Kalian pergilah tidur, besok masih harus
bersekolah!” Saya melihat butiran keringat sebesar kacang berjatuhan bagai
butiran mutiara yang terburai, jatuh pada sepasang kaki besarnya yang penuh
tanah. Kesengsaraan yang
saya alami dimasa kecil, membuat saya memahami penderitaan seorang petani. Saya
menumpahkan segala harapan saya pada ujian masuk ke Universitas. Tetapi pertama
kali mengikuti ujian, saya mengalami kegagalan.
“Bu, saya sangat
ingin mengulang satu tahun lagi,” pinta saya pada ibu.
“Nak, kamu tahu
sendiri keadaan ekonomi kita, adikmu juga masih sekolah di SMA, kesehatan ibu
juga tidak baik, pengeluaran dalam keluarga semua menggantungkan ayahmu.
Lihatlah sendiri ada berapa gelintir orang di desa ini yang mengenyam
pendidikan SMA? Ibu berpendapat kamu pulang kerumah untuk membantu ayahmu!”
Tetapi saya sudah
menetapkan niat, bersikap teguh tidak mau mengalah. Saat itu ayah tiri tidak
mengatakan apa-apa, dia duduk dihalaman luar menghisap rokok dengan pipa
kesayangannya. Saya tak tahu didalam benaknya sedang memikirkan apa. Keesokan harinya ibu
berkata kepada saya, “Ayah setuju kamu menuntut ilmu lagi selama satu tahun,
giatlah belajar!”
Ayah tiri menjadi
orang yang pertama kali menerima dan membaca surat penerimaan mahasiswa saya.
“Bu, anakmu diterima diperguruan tinggi!” teriaknya.
Saya dan ibu berlari
keluar dari dapur. Ibu melihat dan membolak-balik surat panggilan itu meski
satu huruf pun dia tidak mengenalinya. Tetapi kegembiraan itu tersirat dari
tingkah lakunya. Malam itu tak tahu mengapa ayah tiri sangat gembira hingga bicaranya
juga banyak.
Saya mengambil botol
arak dimeja makan dan dengan sikap sangat hormat menuangkan arak itu satu gelas
penuh untuk ayah tiri. Hitung-hitung sebagai rasa terima kasih atas jerih
payahnya selama satu tahun! Dengan takjub ayah tiri memandang kearah saya,
wajahnya penuh dengan kegembiraan. Sekali mengangkat gelas dan meneguk habis,
mulutnya tak henti-hentinya berkata, “Patut, sangat patut sekali!”
Tetapi untuk
selanjutnya biaya uang sekolah perguruan tinggi sejumlah 4.000 yuan itu membuat
keluarga cemas. Ibu mengeluarkan segenap uang tabungannya serta menjual dan
meminjam kesana kemari, tetap masih kurang 500 yuan. Bagaimana ini? Kuliah
akan dimulai satu hari lagi. Saat makan malam, hidangan diatas meja tidak ada
seorang pun yang menyentuhnya. Ibu menghela napas panjang sedangkan ayah tiri
berada disampingnya sambil merokok, sibuk memperbaiki alat tani ditangannya,
saya tidak tahu mengapa hatinya begitu tenang? Suara napas ibu membuat hati
saya hancur luluh lantak..
“Sudahlah saya tidak
mau kuliah! Apa kalian puas?” Saya berdiri dengan gusar, dan bergegas masuk
kamar, merebahkan diri di
ranjang lalu mulai menangis. Saat itu saya merasakan ada satu tangan besar
yang keras menepuk-nepuk pundak saya, “Sudah dewasa masih menangis, besok ayah
pergi berusaha, kamu pasti bisa kuliah.”
Malam itu ayah
membawa pipa rokoknya, menghisap seorang diri dihalaman rumah hingga larut
malam, percikan api rokok yang sekejap terang dan gelap menyinari wajahnya yang
banyak mengalami pahit getir kehidupan. Dia memincingkan sepasang mata, raut
wajahnya menyembunyikan perasaan dan sangat berat. Kepulan asap rokok dengan
ringan menyebar didepan matanya, mengaburkan pandangan, tiada seorang pun tahu
apa yang sedang dia pikirkan, tetapi yang pasti dalam hatinya tidak tenang.
Keesokan hari ibu
memberitahu saya bahwa ayah tiri pergi ke kabupaten. “Pergi untuk apa?”
Percikan bunga api dari harapan hati saya tersirat keluar.
“Dia bilang pergi
kekota mencari teman menanyakan apakah bisa pinjami uang.”
“Apa usaha temannya?”
Ibu menggelengkan kepala, mulutnya bergumam, “Tidak tahu.”
Hari itu saya
menunggu didepan desa, memandang kearah jalan kecil yang berkelok-kelok. Untuk
kali pertama perasaan hati saya ada semacam dorongan ingin bertemu ayah tiri,
dan untuk kali pertama saya merasakan berharganya sosok ayah tiri dalam jiwa
saya, masa depan saya tergantung pada dirinya.
Hingga malam saya
baru melihat ayah tiri pulang. Saat saya melihat wajahnya yang penuh senyuman,
hati saya yang selalu cemas, akhirnya bisa merasa lega. Ibu bergegas mengambil
seember air hangat untuk merendam kakinya. “Celupkanlah kakimu, berjalan pulang
pergi 40 kilometer perjalanan cukup membuat lelah.” Dengan lembut ibu berkata
kepada ayah tiri. Saya mengamati wajah
ayah tiri dengan saksama, dan menemukan bahwa dia bukan lagi seorang pria yang
masih kuat dan kekar seperti dulu. Wajahnya pucat pasi dan bibir membiru,
dahinya hitam penuh dengan kerutan, rambut pendek serta tangan kurus bagaikan
kayu bakar, penuh dengan tonjolan urat hijau.
Memang benar, ayah
tiri sudah tua. Dengan hati-hati ibu melepaskan sepasang sepatunya yang hampir
rusak. Dibawah sinar temaram lampu neon, terlihat sebuah benjolan darah besar
yang sudah membiru masuk dalam pandangan saya, tak tertahankan hati saya merasa
bersedih, air mata saya diam-diam menetes keluar…
Keesokan hari ketika
saya berangkat kuliah, ayah tiri mengatakan dia tidak enak badan, diluar dugaan
dia tidak bisa bangun dari tempat tidur. Dalam perjalanan mengantar saya kuliah
ibu berkata, “Nak, kamu sudah dewasa, diluar sana semuanya tergantung pada diri
sendiri. Sebenarnya ayah tirimu itu sangat menyayangimu, dia sangat
mengharapkanmu memanggilnya ayah! Tetapi kamu…”
Suara ibu
sesenggukan, saya menggigit bibir dengan suara lirih berkata, “Lain kali saja,
Bu!”
Setiap kali membayar
uang kuliah, ayah tiri pasti pergi ke kota untuk meminjam uang. Ketika liburan
musim dingin dan panas tiba, saya jarang berbicara dengan ayah tiri dirumah,
dia sendiri juga jarang menanyakan keadaan saya. Tetapi kegembiraan ayah tiri
bisa dirasakan setiap orang.
Setiap kali kembali
ketempat kuliah, ayah tiri pasti akan mengantar sampai ketempat yang cukup
jauh. Sepanjang perjalanan dia kebanyakan hanya menghisap pipa rokoknya. Semua
kata-kata yang ingin saya utarakan kepadanya tidak tahu harus dimulai dari
mana. Sebenarnya dalam hati
kecil sejak dulu sudah menerimanya seperti ayah kandung, cinta kasih kadang
kala sangat sulit untuk diutarakan! Dengan demikian saya selalu tidak bisa
merealisasikan janji saya terhadap ibu.
Pada liburan tahun
baru, rumah terkesan ramai sekali. Saat itu saya sudah kuliah di semester-6.
Adik meminta saya bercerita tentang hal-hal menarik di kota, ayah tiri duduk
dibelakang ibu, sibuk mengeluarkan abu tembakau setelah itu memasukkan tembakau
kedalam pipa, wajahnya penuh dengan senyum kebahagiaan. Saya bercerita tentang
keadaan kota, adik membelalakkan mata dengan penuh rasa ingin tahu. “Ah, teman sekelas
kakak kebanyakan sudah mempunyai ponsel dan laptop, sedangkan kakak sebuah
arloji pun tidak punya.......” Pada akhirnya saya mengeluh dengan nada
bergumam. Saat itu saya melihat wajah ayah tiri sedikit tegang, segera ada
perasaan menyesal telah mengucapkan perkataan itu.
Saat liburan usai
saya harus meninggalkan rumah kembali kuliah. Seperti biasa ayah tiri mengantar
kepergian saya. Sepanjang perjalanan beberapa kali ayah tiri memanggil saya,
tetapi ketika saya menanggapi, dia membatalkan berbicara, sepertinya mempunyai
beban pikiran yang sangat berat. Saya sangat berharap ayah tiri bisa memulai topik
pembicaraan, agar bisa berkomunikasi baik dengannya, namun saya selalu kecewa.
Ketika berpisah, ayah
tiri berkata dengan kaku, “Saya tidak mempunyai kepandaian apa-apa, tidak bisa
membuat hidup kalian bahagia, saya sangat menyesalinya. Jika engkau sukses
kelak, harus berbakti pada ibumu, biarkan dia bisa menikmati hari tua dengan
bahagia…” Saya menerima koper baju yang disodorkannya.
Tiba-tiba saya
melihat sepasang matanya berkaca-kaca. Hati saya menjadi trenyuh, mendadak
merasakan ada semacam dorongan hati yang ingin memanggilnya “Ayah”, tetapi kata
yang telah mengendap lama ini akan terlontar dari mulut, mendadak tertelan
kembali.
Ketika saya telah
berjalan jauh, saya lihat ayah tiri masih berdiri ditempat itu sama sekali tak
bergerak, bagaikan patung. Dalam hati saya berjanji: ketika pulang nanti, saya
pasti akan memanggilnya “Ayah”. Namun kesempatan itu tak pernah saya dapatkan
lagi. Saya tak mengira perpisahan kali ini untuk selamanya. Dua bulan setelah itu
saya mendapat kabar bahwa ayah tiri meninggal dunia. Bagaikan halilintar di
siang bolong, benak saya menjadi kosong, serasa dunia ini sudah tiada lagi.
Saya pulang dengan perasaan linglung, yang menyambut saya dirumah adalah pipa
rokok berwarna coklat kehitaman yang tergantung di tembok.
“Satu-satunya hal
yang paling disesali ayah adalah tidak seharusnya menamparmu, setiap kali
mengantarmu kembali ke kampus, dia sangat ingin meminta maaf, tetapi ucapan itu
selalu tak bisa keluar dari mulutnya. Sebenarnya masalah itu tidak bisa
menyalahkan dirinya, kamu tidak tahu betapa sengsara hatinya, pipa itu adalah
kesedihan seumur hidupnya!” Dengan hati pedih ibu bercerita.
Melihat benda
peninggalan itu teringat pemiliknya, dengan hati-hati saya ambil pipa yang
tergantung di tembok itu, pandangan mata saya kabur karena air mata, merasakan
kesedihan yang menusuk hati. Ibu juga tergerak hatinya, dia lalu bercerita
tentang misteri pipa rokok itu…Tiga puluh tahun
lalu, ayah tiri hidup saling bergantung dengan ayahnya. Ibu dengan ayah tiri
adalah teman sepermainan sejak kanak-kanak. Setelah mereka tumbuh dewasa,
mereka sudah tak terpisahkan lagi. Tetapi jalinan kasih mereka mendapatkan
tentangan keras kakek, sebab keluarga ayah tiri terlalu miskin.
Karena ibu dan ayah
tiri dengan tegas mempertahankan hubungan mereka, kakek terpaksa mengajukan
sejumlah besar mas kawin kepada keluarga ayah tiri baru mau merestui
pertunangan mereka. Demi anak
satu-satunya, ayah dari ayah tiri itu pergi bekerja di perusahaan penambangan
batu bara. Malang tak dapat ditolak, terjadi kecelakaan di tambang itu. Dinding
tambang runtuh dan menimbun sang ayah untuk selamanya. Barang peninggalan
satu-satunya hanyalah pipa rokok kesayangannya semasa hidup.
Ayah tiri sangat
sedih, seumur hidup orang yang paling dia hormati dan sayangi adalah ayahnya.
Kemudian ayah tiri menyalahkan dirinya dan merasakan penyesalan yang mendalam
hingga tak ingin hidup lagi. Keesokan harinya dia
diam-diam meninggalkan rumah dengan membawa pipa rokok itu, tak seorang pun
tahu kemana perginya…
Dua tahun kemudian
ayah tiri kembali lagi kekampung halamannya, tetapi ibu satu tahun sebelum ayah
tiri kembali dipaksa untuk menikah dengan ayah kandung saya. Untuk selanjutnya
ayah tiri tidak menikah, yang menemani hidupnya adalah sebatang pipa rokok yang
tidak pernah lepas darinya. Setelah ayah kandung
saya meninggal, ayah tiri memberanikan diri menanggung segala tanggung jawab
untuk menjaga ibu, saya dan adik. Sejak awal dia menolak mempunyai anak
sendiri, dia berkata kami ini adalah anak kandungnya.
Selesai mendengarkan
penuturan ibu, tak terasa wajah saya penuh dengan air mata. Sungguh tak menduga
jika pipa rokok itu bukan hanya memiliki kisah berliku perjalanan cinta mereka,
namun juga mengandung ingatan yang amat berat bagi seumur hidup ayah tiri!
“Ayah meninggal dunia
karena pendarahan otak, sebelumnya dia sudah tidak bisa berbicara, hanya
memandang Ibu dengan tangannya menunjuk ke arah kotak kayu. Ibu mengerti
maksudnya hendak memberikan kotak kayu tersebut kepadamu. Didalam kotak itu
terdapat beberapa lembar surat hutang, mungkin dia bermaksud menyuruhmu
membayarkan hutangnya. Seumur hidupnya, dia tak ingin berhutang pada orang
lain….”
Dengan sesenggukan
saya menerima kotak kayu itu dan membukanya dengan perlahan. Ada delapan lembar
kertas didalamnya. Saya membacanya dan terkejut bukan main, tubuh menjadi lemas
terkulai diatas ranjang. Ibu saya buta huruf,
kertas-kertas yang ada dalam kotak itu bukan surat hutang seperti yang
dikatakannya, melainkan tanda terima jual darah! Ayah tiri telah menjual darahnya!
Kepala saya terasa pusing dan tangan saya lemas. Kotak kayu itu terjatuh, dari
dalamnya menggelinding keluar sebuah alroji baru…
“Ayah! Ayah..”
Berlutut didepan kuburan ayah tiri dengan air mata bercucuran, saya hanya bisa
menepuk-nepuk onggokan tanah kuning yang ada dihadapan saya. Tetapi biar
bagaimanapun saya berteriak-teriak, tetap tak akan memanggil kembali
bayangannya.
Ketika saya pergi
meninggalkan rumah, saya membawa pipa rokok coklat kehitaman itu, saya akan
mendampingi pipa ini untuk seumur hidup saya, mengenang ayah tiri untuk
selamanya. "Jangan sampai
menyesali perbuatan anda selama ini, lakukan semua yang terbaik kepada orang2
yang telah berkorban banyak bagi masa depan anda. Sayangi dan hargailah
mereka!!!"
0 comments:
Post a Comment