Di
negeri ini, pendidikan telah menjadi barang yang sangat mahal. Tak heran jika
hanya orang-orang yang bisa mendapatkan pendidikan secara memadai. Faktanya
tidak semua orang mampu. Bahkan tidak sedikit keluarga yang untuk makan saja
sulit. Ming-Ming Sari Nuryanti (18) adalah satu dari jutaan anak bangsa yang
dibesarkan keluarga kurang beruntung.
Ming Ming Sari Nuryanti |
Tapi
Ming-Ming bukanlah gadis yang rapuh. Dia pribadi yang tangguh. Dia sadar benar
menjadi pintar adalah haknya. Di tengah himpitan ekonomi keluarga, Ming-Ming
yang kini tercatat sebagai mahasiswi semester II Fakultas Ekonomi Jurusan
Akutansi Universitas Pamulang (Unpam), Tangerang, Banten, tetap bersekolah
(kuliah). "Saya ingin menjadi akuntan yang Islami." kata Ming-Ming.
Demi
cita-cita itu, Ming-Ming rela menjadi pemulung. Itulah yang sementara ini bisa
ia lakukan agar cita-citanya menjadi akuntan tidak putus di tengah jalan.
Menyadari kondisi ekonomi yang demikian, Ming-Ming nyaris tidak punya waktu
clubing, pesta-pesta, kongkow di mall dan sebagainya, seperti yang biasa
dilakukan sebagian mahasiswa tajir. Waktunya habis untuk bekerja, berdoa dan
berihtiar.
Keseharian
Ming-Ming dimulai pukul 03.00 WIB dini hari. Di saat orang lain masih terlelap
tidur, Ming-Ming sudah terjaga. Segera saja ia beranjak mengambil air wudhu
untuk melaksanakan sholat tahajud. Selesai sholat, Ming-Ming tidak lagi
melanjutkan tidurnya, karena pekerjaan sudah menunggu, mulai dari membersihkan
rumah hingga mencuci pakaian.
Pukul
08.00 WIB, Ming-Ming sudah siap untuk berangkat ke kampusnya yang berjarak
kurang lebih 40 km dari rumahnya di kampung Sukasirna, desa Rumpin, Bogor. Sesekali
ia berangkat agak siang, jika jadwal kuliahnya siang hari. Untuk bisa sampai ke
kampusnya Ming-Ming harus lebih dulu berjalan sejauh 2,5 km menuju jalan besar
Cicangkal. Untuk mencapai Cicangkal, dia harus melewati hutan karet yang lebat
dan selalu becek karena merupakan daerah penambangan pasir.
Dari Cicangkal, ia
mesti 3 kali naik angkutan umum. Tak jarang, karena keterbatasan biaya, ia
mesti nebeng truk atau mobil bak terbuka menuju ke kampusnya. "Untuk
transort, sebenarnya Rp 15.000,- pulang pergi, tapi ibu sering ngasih uangnya
cuma Rp 7.000,- atau bahkan nggak ngasih duit. Makanya saya nebeng, yang
penting nggak bolos kuliah." kata dia.
Pulang
kuliah, Ming-Ming naik angkutan umum sampai daerah Muncul, Tangerang. Dari
Muncul, ia berjalan kaki hingga daerah Suradita yang berjarak hampir 6 km.
Sepanjang perjalanan matanya selalu awas meliht kiri kanan jalan. Jika
kebetulan melihat botol atau gelas bekas air kemasan, dengan sigap Ming-ming
mengambil dan memasukannya ke dalam karung yang selalu dibawanya setiap kuliah.
Sampai daerah Suradita, ia kembali naik angkutan umum sejauh 3 km dan turun di
Peruamahan Suradita. Jika sedang ada uang lebih, sesekali ia mampir ke rental
komputer untuk belajar komputer di sana. Itupun ia tidak bisa lama-lama,
maksimal 1 jam, karena ia membatasi budget hanya Rp 1.500,- saja untuk biaya
sewa komputer.
Dari
Perumahan Suradita ia kembali berjalan kaki sejauh 5 km hingga Cicangkal sambil
tangannya terus memunguti botol dan gelas air mineral. Dari Cicangkal, karena
kelelahan Ming-Ming lebih sering menunggu truk pengangkut pasir untuk nebeng
hingga pertigaan Banjar yang tak jauh dari rumahnya. Dari sana, ia kembali
berjalan kaki sambil membawa karung menuju rumahnya yang sangat sederhana. Di
depan rumah, sudah menumpuk botol air mineral yang sengaja disimpan sebelum
akhirnya dijual oleh ayahnya, Syaepudin (45), ke pengepul yang datang setiap 3
bulan sekali.
Ming-Ming sebenarnya tidak hanya memungut botol atau gelas bekas
air kemasan. Tapi semua barang yang bisa ia jual, seperti karton, kertas,
plastik, barang-barang metal dan lain sebagainya. Terlahir
dari keluarga kurang mampu, membuat wanita berjilbab ini harus berjuang ekstra
keras untuk memperjuangkan hidupnya.
Ayah Ming-Ming hanya bekerja freelance di
arena bowling Ancol dengan penghasilan hanya mengharapkan tips, tentu saja
tidak cukup untuk menghidupi istri dan ketujuh anaknya. Penghasilannya hanya
rata-rata Rp 20.000,- sehari, sesekali pria asli Bogor ini mendapatkan uang
lebih. Maka
jangan heran jika sampai saat ini, ia hanya sanggup memberi makan keluarganya
sehari sekali.
Ming-ming dan keenam adiknya pun akhirnya sudah terbiasa
berangkat sekolah dengan perut kosong, karena jadwal makan mereka sudah
ditentukan setiap malam hari saja. Karena
untuk makan saja tidak cukup, Ming-Ming tidak pernah risau tidak bisa membeli
baju atau bedak. "Alhamdulillah, saya nggak pernah beli baju. Apa yang
saya pakai sekarang ini adalah hasil hibah dari teman-teman dan tetangga.
Bahkan tas dan seisinya ini, semuanya dikasih. Lebaran bagi anak-anak lain
merupakan saatnya beli baju baru, tapi buat adik-adik nggak harus seperti itu.
Kami sudah cukup senang bisa memakai baju bekas orang lain." tuturnya.
"Bahkan untuk masak opor pada lebaran saja harus dipaksakan."
tambahnya. Rumah ukuran 6x6 yang ditempati keluarganya sejak 1996 itu pun
sangat jauh dari layak, karena hanya terbuat dari bilik bambu yang sudah
berlubang di sana-sini. Untuk menutupinya , ayah Ming-Ming menambal dengan
kantong plastik hitam.
Tak
ada secuil kemewahan di dalamnya. ruang tamu yang dijadikan ruang tidur, hanya
beralaskan kertas kardus yang di atasnya digelar karung. Baginya, apa yang
dirasakannya saat ini merupakan bagian dari proses hidup yang mesti dijalani.
Ia merasa bahwa ia tidak ingin miskin iman cukup miskin harta. Ming-Ming
memutuskan untuk menjadi pemulung sejak ia kelas 3 SMP. Sepanjang jalan pulang,
ia rela jalan kaki sejauh 6 km sambil memunguti botol air mineral untuk dijual.
Dari hasil usahanya Ming-Ming mengaku mendapatkan hasil yang lumayan apalagi
jika sedang ada acara hiburan.
Karena kondisi yang tidak mendukung, tamat SMA
dia melanjutkan kuliah di Universitas Pamulang yang dianggap universitas murah. Meski
kuliah sambil menyambi sebagai pemulung, Ming-Ming tidak malu, gengsi atau
rendah diri. Sebaliknya dia tetap bisa bersikap supel, ramah, dan tidak menarik
diri dari pergaulan. Dalam himpitan ekonomi orang tua, semua adik Ming-Ming
barsekolah dari level dasar hingga sekolah menengah atas.
“Ilmu sangat penting. Dengan Ilmu saya bisa memimpin diri saya. Dengan ilmu saya bisa memimpin keluarga. Dengan ilmu saya bisa memimpin bangsa. Dan dengan ilmu saya bisa memimpin dunia.”
Ming-Ming
tak memungkiri, jika selama jadi pemulung ia sering menerima ejekan dan
pandanagan sebelah mata dari orang-ornag yang melihatnya. Bayangkan saja, masih
dengan baju kuliah dan tas dipunggung, ia penuh percaya diri memanggul karung
berisi barang-barang bekas. Diejek, dihina, dicurigai atau dibilang orang gila
sudah sering ia terima. Namun
Ming-Ming menyikapi dengan berpikir positif dan mendoakan agar orang yang
mengejek, menghina atau malah menganggap dirinya gila mendapat hidayah dari
Allah. Karena kemiskinan, ia dan adik-adiknya sudah terbiasa dengan persoalan
tunggakan uang sekolah. Saking biasanya, Pujiyati, ibunya pun sudah terbiasa
membuatkan surat permohonan surat dispensasi kelonggaran pembayaran uang
sekolah untuk masing-masing anaknya.
Kondisi
ini tidak jauh berbeda ketika Ming-ming sudah memasuki bangku kuliah. Bahkan ia
sempat terancam tidak bisa mengikuti ujian tengah semester dan ujian semester
karena ia belum bisa melunasi uang semester serta uang ujian yang seharusnya ia
bayar. Seperti saat UTS pertama, Ming-Ming tidak boleh mengikuti ujian karena
masih menunggak Rp 450 ribu karena belum membayar uang semester 3 bulan dan
uang UTS Rp 150 ribu.
"Saya sampai minta dispensasi ke Purek dan bagian akademik. Saya diberikan waktu
satu minggu untuk melunasi, baru diperbolehkan mengikuti ujian susulan.
Akhirnya saya dapat pinjaman dari teman-teman. Cuma untuk denda sebesar Rp 25
ribu per mata kuliah, saya tetap ga bisa bayar. Alhamdulillah pihak kampus mau
mengerti." ungkapnya.
Ming-Ming
berharap dirinya bisa mendapatkan beasiswa, sehingga bisa meringankan biaya. Kesempatan
itu terbuka lebar karena nilai Ming-Ming tidak megecewakan. Di balik kesempatan
rezeki, Ming-Ming tetap bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan untuk diri dan
keluarganya.
Sumber dari : http://www.beasiswajogja.org
0 comments:
Post a Comment