Masih ingatkah kalian dengan kisah si Kojai? Pria yang
meninggal karena mengidap penyakit mematikan HIV/AIDS. Kisah sedih ini tak
berhenti sampai disini. Satu persatu kesedihan menyusul sejak kepergian
Kojai.
Ternyata Kojai tak sendiri. Kojai memang tak sendiri. Seperti yang telah
dikisahkan sebelumnya. Kojai terkena virus HIV/AIDS karena pemakaian putauw
dengan jarum suntik bergantian dengan teman-teman satu kompleknya kala dia
masih duduk di bangku SMA.
Kudengar kabar, beberapa tahun sebelum tiba-tiba
kondisi Kojai menurun terus karena kekebalan tubuhnya yang telah habis,
ternyata aku ketahui dari kakak Kojai, bahwa ada tiga orang teman Kojai yang
mendahului Kojai menutup usia. Dan dahsyatnya penyakit yang mereka alami sama
persis dengan yang Kojai alami.
Kala itu terjadi, Kojai masih menyelesaikan
kuliah di kota Yogyakarta. Kota yang sama dengan kuliahku. Kala itu pula Kojai
hanya mendengar kabar itu sepintas lalu dari keluarganya, karena Kojai berada
di kota yang berbeda dengan keluarganya. Karena pengetahuan yang masih sangat
minim tentang gejala penyakit HIV/AIDS, Kojai tak menyadari apa penyebab dari
kematian ketiga temannya itu. Setelah Kojai pergi menyusul ketiga temannya itu,
barulah keluarga Kojai menyadari betapa kejamnya virus HIV/AIDS itu.
Kabar mengejutkan kudengar dari keluarga Kojai,
setelah tiga bulan Kojai meninggal, salah seorang sahabat Kojai, Kubil, teman
sepermainan Kojai di Komplek kala Kojai masih SMA, meninggal dengan proses
sakit yang sama. Hanya saja kubil tak harus mengalami waktu yang lama seperti
Kojai alami. Hanya kurang lebih satu bulan Kubil mengalami sakit dan akhirnya
dia meninggal.
Bagaikan persahabatan yang sejati dan abadi,
empat sekawan itu pun meninggal dunia dengan penyakit yang sama, penyakit yang
mereka tak sadari dari mana asalnya dan bagaimana akibatnya. Hampir dua tahun Kojai meninggalkan kami, di
pertengahan bulan Juni 2008, tak disangka kepergian Kojai pun disusul lagi oleh
kematian sahabat sejatinya satu komplek, Tris. Memang sebelum Kojai menutup
usia, dia pernah bercerita pada kami, dengan siapa saja kala SMA dia
menggunakan serbuk putih terlarang itu. Salah satu nama yang disebutkan sangat
familiar sekali di telingaku. Tris memang sahabat dari kecil Kojai. Bisa
dikatakan dimana ada Tris, dapat dipastikan disitu pula ada Kojai.
Usia Tris setahun lebih tua dari Kojai. Kojai
pun menganggap Tris sebagai sahabat sekaligus kakak. Namun sangat disayangkan,
kakak yang dijadikan panutan malah menjerumuskan Kojai ke dalam jalan menuju
kematian.
Aku ingat ketika Kojai terbaring tak berdaya di
RS. Bayukarta Karawang, beberapa teman komplek Kojai datang menjenguknya. Salah
satu dari teman itu adalah Tris. Namun entah apa yang dibisikkan Kojai ke
telinga Tris, hingga sepertinya perlahan-lahan Tris bergerak mundur dan sedikit
menjauhi Kojai. Belakangan ku ketahui dari salah seorang teman Kojai, bisikan
itu berbunyi, “Tris, badanku rasanya lemas banget, sepertinya organ dalamku
telah hancur semua”. Tak disangka karena bisikan itulah, Tris mulai menghindari
Kojai.
Setelah Kojai meninggal dunia, terdengar kabar
bahwa Tris mulai sakit-sakitan. Meskipun terkesan keluarga Tris menutup rapat
tentang apa sebenarnya penyakit Tris, namun karena keluarga Kojai telah lebih
berpengalaman menghadapi gejala-gejala penyakit HIV/AIDS, rasanya sudah bisa
ditebak apa sebenarnya penyakit Tris. Karena dilihat dari gejalanya, sakit yang
dialami Tris sangat mirip dengan yang pernah dialami Kojai.
Mungkin kejadian yang dialami Kojai adalah
pelajaran yang sangat berharga bagi keluarga Tris. Hikmah baik yang dapat
diambil bagi keluarga Tris adalah keluarga Tris menjadi lebih sigap dan cepat
dalam mengobati Tris. Dalam kurun waktu hampir dua tahun, secara intensif
keluarga Tris membawa dia untuk selalu chek up ke RS. Dharmais, Jakarta. Dan
dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun itulah kondisi kesehatan Tris bagaikan
sebuah yoyo.
Kurang lebih satu bulan Tris dirawat di RS.
Dharmais Jakarta, Tris pun kembali ke Karawang. Terlihat kondisi Tris sudah
mulai membaik. Badannya menjadi agak gemuk dan dia pun mulai berjalan-jalan
keluar rumahnya. Suatu ketika pernah dia terlihat begitu lahapnya menyantap
siomay didepan rumahnya ditemani oleh istri tercintanya.
Kala itu kulihat betapa bahagianya mereka.
Kebahagiaan yang tak dapat kurasakan dengan Kojai. Sejujurnya dalam hati
kecilku sedikit kecewa. Bukan kecewa karena melihat kebahagiaan mereka. Tetapi
aku kecewa akan keadilan Tuhan. Mengapa Tris bisa sembuh sedangkan Kojai tidak?
Padahal mereka sama-sama pernah mengalami kondisi yang sama. Tapi ternyata aku
salah besar. Bagaikan sebuah yoyo tadi, kondisi baik Tris pun tak berlangsung
lama. Berangsur-angsur kondisi Tris mengalami penurunan hingga akhirnya Tris
pun meninggal dunia.
Ternyata Tuhan maha adil. Istri Tris pun harus
mengalami rasa sakit yang sangat perih dan kesedihan yang amat sangat dalam
seperti yang pernah kurasakan. Karena akhirnya Tris pun menyusul Kojai dalam
kurun waktu kurang lebih dua tahun setelah Kojai pergi mendahuluinya.
Sudah dapat dipastikan bagaimana sedihnya istri
Tris karena ditinggal oleh suami yang sangat dia cintai. Hal yang sama yang
pernah aku rasakan sebelumnya. Dan bagaikan persahabatan yang sejati, Kojai dan
teman-temannya pun kini telah berkumpul kembali di alam mereka yang baru. Alam
yang lebih abadi. Apakah ini akhir dari sebuah persahabatan yang sejati?
Entahlah. Yang jelas mungkin ini adalah jalan yang terbaik bagi mereka.
Setidaknya mereka tak perlu lagi merasakan sakit. Mungkin dengan adanya
kejadian ini, banyak hikmah yang dapat kita ambil. Setidaknya bagi kita yang
ditinggalkan untuk menyelamatkan generasi penerus kita.
***
Cerita diatas merupakan kisah nyata yang
dikirimkan penulisnya : Meranasepi (nama samaran) ke redaksi KarIn. Nama
dan biodata penulis ada pada redaksi. Ia berharap agar kisahnya ini dapat
dijadikan ‘pelajaran’ bagi semua orang : tentang cinta, pergaulan dan narkoba.
Ini merupakan cerita lanjutan (akhir), sebelumnya : "Andai Waktu Dapat Diputar
Kembali."
Sumber Dari : http://bagindaery.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment