Kisah ini terjadi di tanah Bali.
![]() |
Makam Jayaprana - layonsari |
Pada
jaman dahulu, ada sebuah kerajaan kecil di daerah utara pulau Bali.
Kerajaan itu bernama Kerajaan Wanekeling Kalianget. Di kerajaan itu, hiduplah
satu keluarga sederhana, terdiri dari suami istri serta tiga anaknya, dua orang
laki-laki dan seorang wanita. Kerajaan itu terkena sebuah wabah yang
menyebabkan banyak warganya meninggal, baik dari kalangan kerajaan maupun
rakyat biasa. Keluarga sederhana itu pun ikut terkena wabah, empat anggota
keluarganya meninggal dan menyisakan si bungsu, I Nyoman Jayaprana.
Raja
Kalianget saat itu, juga merasakan duka yang mendalam atas banyaknya warga yang
meninggal, sehingga Raja memutuskan untuk mengunjungi rakyatnya. Pada saat
kunjungan, Raja merasa tertarik dengan Jayaprana yang pada saat itu tengah
menangisi kematian kedua orang tua dan kedua saudaranya. Raja merasa iba dan
teringat dengan mendiang anaknya hingga membuatnya ingin menjadikan Jayaprana
sebagai anak angkat.
Setelah
diangkat anak oleh Raja, Jayaprana pun tumbuh di lingkungan kerajaan. Dia
mendapatkan pelajaran selayaknya anak kandung Raja. Jayaprana tumbuh menjadi
seorang pemuda tampan yang lihai bertarung. banyak gadis yang diam-diam
memendam pada Jayaprana. Melihat itu, lantas Raja memerintahkan Jayaprana
memilih dayang-dayang istana atau gadis di luar istana untuk dijadikan
pendamping. Jayaprana sempat menolak, karena merasa dia masih kekanak-kanakan
dan belum cukup pantas untuk menjalin asmara.
Namun
karena Raja terus mendesak, maka Jayaprana pun menurutinya. Pada suatu hari
Jayaprana berjalan-jalan ke pasar di dekat Istana. Dia melihat para gadis
berlalu-lalang di sana. Matanya terpukau pada seorang gadis jelita penjual
bunga anak Jero Bendesa dari Banjar Sekar. Nama gadis jelita itu, Ni Komang
Layonsari. Pandangan Jayaprana tidak mau lepas dari Layonsari, Layonsari yang
merasa dirinya diamati pun berusaha menghilang diantara kerumunan pasar.
Setelah
Layonsari menghilang dari pandangannya, Jayaprana buru-buru kembali ke istana
untuk melapor pada Raja bahwa dia telah menemukan gadis pujaannya. Raja pun
membuat sebuah surat dan memerintahkan Jayaprana membawa surat itu ke rumah
Jero Bendesa. Setibanya di rumah Jero Bendesa, Jayaprana langsung menyerahkan
surat tersebut. Jero Bendesa membaca isi surat Raja yang ternyata adalah surat
pinangan terhadap anak gadisnya, layonsari. Dia pun tidak merasa keberatan
apabila anaknya Layonsari dikawinkan dengan Jayaprana. Betapa bahagia hati
Jayaprana mendengarnya dan dia pun bergegas kembali ke Istana.
Di
istana, Raja sedang mengadakan rapat di pendopo, Jayaprana menyela rapat
tersebut untuk memberitahukan Raja bahwa lamarannya diterima Jero Bendesa. Pada
saat itu juga, Raja mengumumkan pada segenap hadirin bahwa pada hari Selasa
Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya Jayaprana dengan Layonsari.
Raja memerintahkan kepada segenap perbekel, supaya mulai mendirikan
bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk Jayaprana. Menjelang
hari perkawinannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan
secara gotong royong, semuanya serba indah.
Tibalah
hari hari upacara perkawinan Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi
ke rumahnya Jero Bendesa, hendak meminang Layonsari dengan alat upacara
selengkapnya. Di Istana, Raja sedang duduk di atas singgasana, dihadapnya ada
para pegawai raja dan juga para perbekel. Kemudian datanglah rombongan
Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai itu lantas turun dari atas kereta
kuda, langsung menyembah kehadapan Raja dengan hormatnya. Raja terpesona dengan
kecantikan Layonsari hingga tak mampu berkata-kata.
Raja
telah sekian lama menduda, diam-diam tumbuh benih cinta di hati Raja pada
Layonsari. Rasa cintanya pada Layonsari membutakan akal sehat Raja yang
sebelumnya dikenal sangat bijaksana. Raja pun memikirkan strategi untuk membunuh
Jayaprana agar dapat memperistri Layonsari. Strategi itu disampaikan Raja
kepada patih kerajaan bernama Sawung Galing. Hati Sawung Galing sebenarnya
menolak untuk melaksanakan tugas tersebut, tapi Raja berkata bahwa bila dia
tidak dapat memperistri Layonsari maka dia akan mati karena sedih.
Sebagai abdi
setia, patih Sawung Galing pun menuruti kehendak Raja. Skenario untuk membunuh
Jayaprana adalah Raja menitahkan agar Jayaprana bersama rombongan pergi ke
Teluktrima, untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo yang
menembak binatang di kawasan Pengulon.
Pada
hari ketujuh bulan madunya, datanglah seorang utusan kerajaan ke rumah
Jayaprana yang menyampaikan titah Raja agar Jayaprana menghadap Raja
secepatnya. Jayaprana pun bergegas menuju istana. Raja menceritakan bahwa di
perbatasan istana ada pemberontakan, kemudian sesuai skenario, Jayaprana
diperintahkan memimpin rombongan bersama patih Sawung Galing ke perbatasan
istana di Teluktrima untuk menyelidiki kekacauan di sana.
Sepulangnya
dari istana, Jayaprana menceritakan titah Raja. Malam harinya Layonsari
bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia kemudian terbangun dari
mimpinya dan menceritakan mimpi seramnya kepada sang suami. Dia meminta agar
keberangkatannya besok dibatalkan karena merasa mimpi itu adalah firasat buruk,
tetapi Jayaprana tidak berani menolak perintah Raja. Untuk memenangkan
istrinya, Jayaprana berkata bahwa hidup dan mati ada di tangan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa.
Pagi
harinya Jayaprana pun berangkat ke Teluktrima, meninggalkan istrinya yang
sedang sedih. Sepanjang perjalanan Jayaprana merasa ada yang tidak beres,
perasaannya mengatakan bahwa dia akan dibinasakan tapi dia mengacuhkannya.
Sesampainya di hutan Teluktrima dengan galaunya patih Sawung Galing menyerang
Jayaprana, namun ilmu Jayaprana lebih sakti dari patih Sawung Galing hingga
tidak mampu mengalahkan Jayaprana. Ditengah kebingungannya, Jayaprana bertanya
pada patih Sawung Galing, mengapa patih ingin membunuhnya. Patih Sawung Galing
menyerahkan sepucuk surat dari Raja kepada Jayaprana yang isinya:
Hai engkau Jayaprana.. Manusia tiada bergunaBerjalan jalanlah engkau. Akulah menyuruh membunuh mu.Dosamu sangat besar. Kau melampaui tingkah rajaIstrimu sungguh milik orang besar. Kuambil kujadikan istri Raja.Serahkanlah jiwamu sekarang.., Jangan engkau melawanLayonsari jangan kau kenang. Kuperistri hingga akhir jaman.
Jayaprana
menangis sesegukan membaca surat tersebut, lalu dia berkata "Lakukanlah
patih, bila ini memang titah Raja, hamba siap dicabut nyawanya demi kepentingan
Raja, dahulu Beliaulah yang merawat dan membesarkan hamba, kini Beliau pula
yang ingin mencabut nyawa hamba". Dalam dukanya Jayaprana menyerahkan
keris sakti miliknya sebagai satu-satunya senjata yang dapat digunakan untuk
membunuh Jayaprana. Ia berpesan agar keris dan berita kematiannya disampaikan
pada istrinya sebagai bukti kesetiaannya pada titah Raja.
Setelah
menerima keris itu, dengan mudah patih Sawung Galing membunuh Jayaprana dengan
berat hati. Darah menyembur namun tidak tercium bau amis, malahan wangi
semerbak. Kematian Jayaprana juga
ditangisi oleh alam, tiba-tiba terjadi gempa bumi, angin topan, hujan bunga dan
binatang hutan menangis. Setelah mayat Jayaprana itu dikubur, maka seluruh rombongan
kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka mendapat
bahaya, diantaranya banyak yang mati. Seekor macan putih juga tiba-tiba
menyerang patih Sawung Galing dan menewaskan sang patih.
![]() |
Jalan Menuju Makam Jayaprana - Layonsari |
Kabar
tewasnya Jayaprana pun sampai ke telinga Raja. Dengan terpongoh-pongoh Raja
segera menghampiri Layonsari di rumahnya. Raja tua itu menyampaikan berita duka
dan sekaligus lamaran-nya kepada istri Jayaprana. Layonsari tidak percaya pada
kabar meninggalnya sang suami, Raja lalu memperlihatkan keris Jayaprana yang
berlumuran darah. Dalam tangisnya Layonsari memaki Raja dan merebut keris milik
Jayaprana kemudian menusukkan ke jantungnya sendiri. Layonsari tewas seketika
dan dari jasadnya tersebut mengeluarkan aroma wewangian yang menyerbak
keseluruh wilayah kerajaan bahkan tercium hingga lokasi jasad Jayaprana berada.
Rakyat
sekitar membawa jasad yang mewangi tersebut untuk ditempatkan disebelah jasad
Jayaprana agar selamanya kedua kekasih ini dapat selalu bersama. Sedangkan
patih Sawung Galing yang dengan setianya menjalankan titah raja turut serta
ditempatkan dilokasi tersebut sebagai simbol kesetian seorang abdi.
Lantas
bagaimana nasib sang Raja? Melihat tragedi saat Layonsari menikam dirinya
dengan sebilah keris dan dilandasi hati yang hancur luluh, Raja gelap mata
serta mengamuk membunuh semua pengiringnya, tanpa dapat mengendalikan dirinya.
Setelah mati pengiringnya, lalu Raja ke Istana dan membantai seisi rumah,
setelah itu Raja menikamkan kerisnya ke dada hingga wafat.
Pengikut
setia Raja, tidak percaya Raja bunuh diri, tetapi di bunuh oleh rakyat. Mereka
lalu mengamuk membunuh rakyat, tak peduli anak, wanita, orang tua. Rakyat tak
terima dan serentak melawan kebiadaban pengikut setia Raja. Tak terelakkan lagi
perang saudara yang maha dahsyat dan penuh kebencian pun terjadi. Akhirnya
seluruh rakyat Kalianget tewas dalam perang itu. Begitulah dalam sehari
Kerajaan Kalianget di Buleleng Utara itu musnah dengan bergelimpangan mayat
manusia. Konon lama kelamaan kerajaan itu berubah menjadi hutan belantara
hingga akhirnya dibuka kembali oleh warga lain yang akhirnya menetap di Desa
Kalianget hingga kini.
Cerita
ini melekat di sanubari masyarakat Bali, mereka menceritakan kisah ini dari
generasi ke generasi. Pada tanggal 12 agustus 1949 dilaksanakan upacara Ngaben
di Desa Kalianget yang dihadiri banyak orang dari berbagai penjuru dunia.
Sumber Dari : http://www.leniwijayanti.com
0 comments:
Post a Comment