![]() |
Monica Oemardi |
Bulan
suci Ramadhan merupakan bulan yang penuh hikmah buat saya. Saat itu, saya
memulai hidup baru sebagai seorang muslimah. Ini adalah hidayah Allah pada saya
dan saya sangat mensyukurinya. Sekarang, saya semakin mantap dengan pilihan
hati nurani saya itu. Saya siap lahir batin. Termasuk menjalankan perintah dan
menjauhi larangan-Nya. Saya ingin segera bisa menunaikan ibadah umrah. Insya
Allah.
Nama
saya Monica Oemardi, lahir di Jakarta, 24 tahun lalu. Papa saya berasal dari
Blitar dan beragama Islam. Sedangkan mama berasal dari Cekoslowakia dan
beragama Kristen Protestan. Mungkin, sebagian pembaca tak asing lagi dengan
debut saya selama ini di dunia sinetron. Di antara sinetron yang telah saya
bintangi adalah Delima, Takhta, Intrik, Warteg, Misteri Gunung Merapi, Angling
Darma, dan lain sebagainya.
Saya
berasal dari keluarga Kristen Protestan yang cukup taat. Meskipun demikian,
keluarga kami sangat demokratis dalam masalah agama. Setelah menikah, saya
pindah agama ke Kristen Katolik, mengikuti suami saya yang pertama. Sebenarnya,
agama Islam tak asing lagi bagi saya. Sebab, kebanyakan keluarga papa beragama
Islam. Pada waktu kecil, pernah saya ikut-ikutan shalat Id pada Hari Raya Idul
Fitri di Bandung. Walaupun hanya sekadar gerakan shalat saja, tapi kegiatan
ritual itu sangat berkesan di dalam hati saya.
***
Mulai
Tertarik
Memang,
saya sudah lama ingin masuk Islam, tepatnya sekitar bulan Februari-Maret 1998
lalu. Ketika itu, sahabat saya sesama artis, Vinny Alvionita dan Dian Nitami,
mengunjungi saya di rumah kos. Ketika kami sedang asyik ngobrol, tiba-tiba
terdengar suara adzan magrib dari masjid sekitar rumah kos.
Sahabat
saya, Dian Nitami yang muslimah itu, langsung ingin shalat. Tapi, terlebih dulu
ia meminta izin kepada saya. Saya dan Vinny beringsut dari tempat duduk untuk
menggelar sajadah, karena tempat kos memang sempit. Di dalam kamar kos yang
kecil itu, saya perhatikan Dian ketika usai mengambil air wudhu, ia
mengeluarkan mukenah putih, kemudian memakainya. Hal itu membuat saya terkesima
dan berpikir, Islam itu amat suci, mau menghadap Allah harus menyucikan diri
terlebih dulu. Saya amati terus saat Dian melakukan shalat. Hingga tiba-tiba dari
mulut Saya terlontar permintaan kepada sahabat saya, Vinny, untuk mengajarkan
saya tata cara shalat.
Tentu
saja Vinny terkejut mendengar permintaan saya itu. Saya pun tak mengerti apa
yang mendorong saya hingga melontarkan ucapan demikian. Dengan wajah tak
percaya, Vinny memandangi saya. Saya disuruhnya mengulangi lagi permintaan saya
tadi itu.
Mungkin
Vinny tak percaya, karena selama ini saya tak pernah minta diajari shalat
kepada teman-teman yang sering datang ke tempat kos saya. Tetapi, tiba giliran
Dian yang shalat, saya malah minta diajari. ini mungkin hidayah bagi saya
melalui kedua sahabat saya itu.
Sejak
itu, Vinny memberi saya beberapa buku bacaan. Salah satunya berjudul, “Lentera
Hati” yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Quraish Shihab, MA. Setelah membaca buku
tersebut, saya semakin terpukau dan mengagumi Islam. Saya pun semakin mendalami
Islam lewat buku-buku yang diberikan Vinny, di samping bertanya kepada mamanya
Dian Nitami dan keluarga Vinny.
Walaupun
saya terus mempelajari Islam melalui buku-buku yang diberikan oleh Vinny, saya
masih sering ke gereja. Bahkan, yang mengantarkannya adalah Vinny sendiri.
Memang, dalam bersahabat kami saling menghargai, terutama soal agama. la pernah
berpesan kepada saya bahwa tak ada paksaan dalam Islam. Kalau ingin masuk
Islam, harus dengan pikiran dan hati yang bersih dan sesuai dengan hati nurani.
Hari
demi hari, saya terus mempelajari Islam secara mendalam, hingga setelah tak ada
keraguan sedikit pun di hati, pada bulan puasa, Januari 1998, hati saya semakin
bergetar. Saya menunggu-nunggu kapan waktu yang tepat untuk memeluk Islam.
Gelora
hati untuk memeluk Islam mengalahkan segala kesibukan dan persiapan untuk
menyambut Hari Natal. Dulu, saya paling suka mempersiapkannya. Bahkan, sebulan
sebelumnya saya sudah sibuk merapikan rumah, mencari kado buat mama dan
keluarga, dan selalu siap membantu mama mempersiapkan kue-kue Natal. Tetapi,
pada saat itu, saya tak melakukan semua itu. Walaupun saya belum memeluk Islam,
tapi saya sudah menjalani ibadah puasa.
***
Masuk
Islam
Pada
malam menjelang Tahun Baru, 31 Desember 1998 lalu, saya mengucapkan ikrar dua
kalimat syahadat dibimbing oleh Prof.Dr. H. Quraish Shihab di kediaman seorang
pengusaha elektronik, Rachmat Gobel, di kawasan Jalan Saharjo, Jakarta Selatan,
dalam acara buka puasa bersama.
Setelah
membaca rukun Islam yang pertama itu, saya tak dapat menahan rasa haru,
sehingga saya tak mampu lagi membendung air mata. Rasanya dada ini plong
sekali, seperti bayi yang baru lahir. Jadi, tahun 1999 itu, buat saya, merupakan
tahun untuk memulai “hidup baru” sebagai seorang muslimah.
Walaupun
sudah resmi masuk Islam, tapi Pak Quraish Shihab dalam kesempatan itu, juga
berpesan agar saya segera meresmikan status keislaman saya itu. Katanya,
mengucapkan dua kalimat syahadat berkali-kali, tak apa-apa. Maka, pada hati
Jumat tanggal 8 Desember 1999, dengan dilengkapi prosedur administratif, saya
mengucapkan ikrar dua kaliniat syahadat di hadapan para saksi di Masjid Sunda
Kelapa, Jakarta Pusat.
Mengetahui
saya masuk Islam, mama sempat marah. Bukan apa-apa, tapi karena beliau ingin
supaya saya dalam hidup ini mempunyai prinsip. Setelah saya jelaskan, beliau
pun akhimya menerima keputusan saya itu. Beliau berpesan supaya saya
benar-benar menjaga keislaman saya. Tidak simpang siur dan tidak boleh
main-main.
Setelah
masuk Islam, kehidupan saya terasa lebih tenang. Apalagi setelah perceraian
dengan suami pertama yang membawa kabur anak saya, Antonius Joshua (6 tahun).
Selama bulan suci Ramadhan tersebut, saya terus menjalankan ibadah puasa. Dan
ternyata, puasa dengan dilandasi niat, berbeda sekali dengan puasa tanpa niat.
Saya rasakan puasa tanpa niat itu terasa sangat berat. Jangankan menjalaninya,
untuk bangun sahur saja berat sekali. Tapi, setelah masuk Islam, saya selalu
membaca niat puasa setiap sahur, puasa pun menjadi terasa ringan.
Selama
ini saya sahur sendiri. Anehnya, saya bisa dengan mudah terbangun, tanpa ada
perasaan yang berat. Dan setelah sahur, saya tidak langsung tidur. Saya
hidupkan TV dan mengikuti kuliah subuh. Dari siaran tersebut, saya banyak
memperoleh masukan-masukan yang bermanfaat. Saya bertekad untuk menjadi
muslimah yang baik, tentunya dengan diiringi doa para pembaca. Insya Allah.
Sumber Dari : http://www.beritaterkini.id
0 comments:
Post a Comment