Beliau adalah anak sulung dari pemimpin yang paling mulia, ayahnya adalah al-Amin (orang yang terpercaya), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ibunya adalah ath-Thahirah (wanita yang suci) Khadijah radhiallahu’anhu. Di tengah keluarga yang mulia itulah Zainab kecil dibesarkan dan dididik.
Sebagai
anak terbesar ia terbiasa membantu meringankan tugas ibunya dalam urusan rumah
tangga, dari merawat rumah sampai mengasuh adik-adiknya (Ruqayyah, Ummu
Kultsum, dan Fathimah radhiallahu’anhunna jami’an. Dari sanalah ia belajar
hidup dalam kesabaran dan keteguhan, sampai-sampai Fathimah yang merupakan
putri bungsu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap kakaknya
Zainab seperti ibu kecilnya.
***
Pernikahan
dan Buah Hati
Sebagai
buah dari ketelatenan didikan seorang ibu, maka tak heran bila Zainab menjadi
wanita pilihan dan kembang bagi pemuda Quraisy pada masa itu. Ketika usia
Zainab menginjak sembilan tahun Abul Ash bin Rabi, putra saudara perempuan
Khadijah yang bernama Halah binti Khuwalid, menaruh hati pada Zainab dan
bersegera meminta Zainab pada bibinya Khadijah untuk dilamar menjadi istrinya.
Maka dengan gembira Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima pinangan
Abul ‘Ash.
Maka
selang beberapa lama kemudian terlaksanalah pernikahan mereka, dan pindahlah
Zainab ke rumah suaminya. Indahnya kehidupan mereka sehingga pertemuan terasa
begitu singkat dan perpisahan terasa sangat lama dan melelahkan.
Tak
terasa waktu berlalu dan terlahirlah putra pertama yang mereka beri nama Ali ibn Zainab dan kemudian menyusul Umamah Bint Zainab putri mungil mereka.
***
Ayahnya
Seorang Nabi
Pada
suatu ketika, di saat Zainab ditinggal pergi oleh Abul Ash bin Rabi untuk
berdagang, tersebarlah di Mekah sebuah kabar bahwa telah muncul seorang nabi
yang bernama Muhammad bin Abdullah, yaitu ayah Zainab. Tatkala mendengar kabar
itu Zainab segera pergi ke rumah orang tuanya untuk mencari tahu kebenaran
berita tersebut. Sesampainya di sana ia pun mendapatkan kabar yang benar dari
ibunya yang sangat ia cintai, juga dari pamannya Waroqoh bin Naufal bahwa
ayahnya akan menjadi nabi dan terusir dan diperangi oleh kaumnya.
Alangkah
senang dan gembiranya Zainab beserta saudaranya mendengar bahwa ayah mereka
adalah nabi utusan Allah. Maka segeralah mereka menyatakan keimanan mereka atas
kenabian ayah mereka.
Abul
Ash Bin Rabi Enggan Masuk Islam
Sepulangnya
Abul Ash dari perjalanan dagang, Zainab segera menyampaikan kabar gembira itu
kepada suaminya. Dengan penuh semangat ia menceritakan semua yang terjadi
dengan harapan akan membuat suaminya tertarik dan masuk Islam. Akan tetapi,
sayang tawaran untuk masuk Islam dari istrinya itu ia tolak karena takut
dikatakan oleh kaumnya bahwa ia masuk Islam hanya karena ingin mencari
keridhaan istrinya. Zainab pun bersedih, namun ia tetap berdoa agar Allah
Ta’ala akan membuka hati suaminya untuk beriman pada suatu saat nanti.
***
Ujian
dan Cobaan
Ketika
makin keras dan kuat tantangan kaum Quraisy kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam beserta pengikutnya, sebagian orang Quraisy menghasut Abul Ash dan
berkata, “Ceraikanlah istrimu wahai Abul Ash! Pulangkan ia rumah ayahnya dan
kami akan menikahkanmu dengan wanita mana saja yang engkau sukai dari
wanita-wanita Quraisy yang terbaik.” Karena begitu murni dan dalam cinta Abul
Ash kepada Zainab, maka ia pun menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan
menceraikan istriku, aku tidak ingin menggantinya dengan wanita mana saja di
dunia ini.”
Di
saat ayah dan keluarganya diembargo, Zainab hanya mampu berdoa untuk
keselamatan ayah, ibu, dan keluarga serta saudara-saudara seakidah. Waktu pun
berlalu, dan embargo pun selesai, namun ternyata datang musibah baru yang tak
kalah beratnya, yaitu wafatnya paman ayahnya, Abu Thalib, yang disusul dengan
wafatnya ibu yang sangat ia cintai. Zainab pun dirundung kedukaan, ditambah
lagi suami tercinta belum juga luluh hatinya untuk beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya.
Saat
itu negeri Mekah terasa sepi bagi Zainab. Ibundanya yang biasa ia jenguk
sekarang telah tiada, sementara ayahnya hijrah ke Yatsrib bersama sahabat karib
beliau, Abu Bakar, kemudian saudari-saudarinya pun menyusul ke sana.
***
Tebusan
Untuk Abul ‘Ash Bin Rabi’
Perang
besar antara kaum muslimin dan musyrikin pun berkecamuk di Badar, dan Abul Ash
berada di barisan kaum musyrikin. Zainab menanti kabar dengan gundah gulana.
Tak beberapa lama berita pun datang, kaum muslimin memenangi peperangan. Zainab
merasa sangat bergembira akan kemenangan ayahnya, tetapi bagaimana dengan
suaminya? Abul Ash seperti berita yang ia dengar telah menjadi tawanan kaum
muslimin di Yatsrib.
Kaum
muslimin meminta tebusan yang sangat mahal untuk para tawanan. Keluarga Abul
Ash yang kaya ingin menebusnya, tetapi Zainab ingin ia membayar tebusan untuk
suaminya. Maka diutuslah Amr bin Robi saudara laki-laki Abu Ash ke Yatsrib.
Sesampai di sana ia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil
memberikan seuntai kalung ia berkata, “Zainab mengutusku untuk mengirimkan ini
sebagai tebusan untuk suaminya.”
Melihat kalung yang sangat beliau kenal,
karena itu adalah pemberian istrinya sebagai hadiah di hari pernikahan Zainab,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa tersentuh hatinya, lalu beliau
berkata, “Maukah kalian membebaskan Abul Ash untuknya (yaitu Zainab) dan
mengembalikan tebusannya?” Para sahabat pun menyetujui. Kemudian
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam membebaskan Abul Ash dengan syarat ia
harus melepaskan Zainab dan mengembalikannya kepada beliau, dan Abul Ash pun
menyetujui permintaan itu.
***
Meninggalkan
Suami dan Hijrah ke Madinah
Setibanya
di Mekah, Abul Ash menyampaikan apa yang menjadi kesepakatan antara ia dan
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Zainab. Mendengar berita itu Zainab
merasa berat untuk berpisah dengan suaminya. Tetapi perintah Allah dan
Rasul-Nya lebih didahulukan dari segalanya walaupun ia harus mengorbankan cinta
dan perasaannya.
Tak
lama kemudian datanglah utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjemput Zainab. Akhirnya, dengan sedih Zainab memberikan ucapan selamat
tinggal kepada suaminya, namun ia tetap berharap semoga Allah mempertemukan
mereka kembali.
Berangkatlah
Zainab yang sedang mengandung belum sempurna empat bulan ke Madinah dengan
membawa suka dan dukacita sebab perpisahan dengan ayah janin yang sedang
dikandungnya.
Kedukaan
belumlah terobati, Allah mentakdirkan kandungan Zainab harus gugur sebab ia dan
rombongannya dihadang oleh kaum musyrikin sebelum sampai di Madinah.
Akhirnya
Zainab pun sampai di Madinah. Dan tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendengar cerita Zainab tentang penyebab keguguran janin yang ada di
kandungannya beliau pun mengutus gerilyawan dan berkata, “Jika kalian mendapati
si fulan dan si fulan, dua orang laki-laki dari kaum Quraisy, maka bunuhlah.”
***
Munculnya
Harapan Baru
Enam
tahun sudah perpisahan Zainab dan suaminya berlalu, hingga pada suatu saat Abul
Ash bersama kafilah dagang yang sedang dalam perjlanan pulang dari negeri Syam
menuju Mekah melewati Madinah dihadang oleh pasukan gerilya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhirnya, kafilah dagang yang berjumlah lebih
kurang 170 orang itu bersama dengan onta-onta mereka yang mencapai seratus ekor
ditawan dan digiring ke Madinah. Akan tetapi, Abul Ash dapat meloloskan diri.
Ke manakah ia melarikan diri?
Dalam
kegelapan malam, dengan sembunyi-sembunyi Abul Ash bin Rabi’ mendatangi rumah
Zainab. Zainab pun terkejut menerima kedatangannya dan ia pun menyambutnya
dengan baik serta memuliakannya. Ketika Abul Ash bin Rabi meminta kepada Zainab
agar mau memberikan perlindungan kepadanya, Zainab pun menyatakan kesediaannya.
Ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melaksanakan
shalat Shubuh terdengarlah suara Zainab berseru, “Wahai kaum muslimin, saya
Zainab binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya telah memberikan
perlindungan kepada Abul Ash, maka lindungilah ia!” Ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau bertanya kepada para
sahabat, “Apakah kalian mendengar apa yang aku dengar?” Para sahabat menjawab,
“Benar.” Beliau lalu berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu sedikit pun tentang
itu sampai aku mendengar apa yang kalian dengar, sesungguhnya semua kaum muslim
(sampai yang terendah tingkatannya pun) dapat memberikan perlindungan.”
Kemudian
beliau pun menemui Zainab untuk mengetahui kebenaran berita itu, Zainab
berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abul Ash adalah kerabat dan anak
pamanku, serta anak-anakku, dan aku telah memberikan perlindungan kepadanya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Benar wahai putriku,
muliakanlah tempatnya, dan jangan sampai ia berhubungan denganmu, sesungguhnya
engkau tidak halal baginya.”
Kemudian
para sahabat mengembalikan harta yang telah mereka rampas itu kepada Abul Ash.
Dan ketika Abul Ash hendak berangkat ke Mekah, ia berkata kepada Zainab,
“Mereka (yaitu para sahabat) telah menawarkan keapdaku untuk masuk Islam,
tetapi aku menolak sambil kukatakan, ‘Sungguh buruk diriku memulai agama baruku
dengan pengkhianatan.’”
Mendengar
ucapan terakhir Abul Ash tersebut terasa berdebar jantung Zainab, seakan-akan
ia melihat di balik apa yang ia ucapkan ada cahaya dan harapan yang semoga saja
dapat menerangi hatinya yang masih gelap dengan kekufuran.
***
Abul
Ash Masuk Islam
Sesampai
di Mekah Abul Ash memberikan harta-harta yang diamanahkan kepadanya kepada
pemiliknya, kemudian ia berseru, “Wahai kaum Quraisy, apakah ada di antara
kalian yang hartanya belum aku kembalikan?” Mereka menjawab, “Tidak ada, semoga
Allah membalasmu dengan kebaikan, kami telah mendapatimu sebagai orang yang
memegang amanah dan mulia.”
Lalu
Abul Ash berkata, “Jika aku telah mengembalikan hak-hak kalian maka sekarang
aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad
adalah utusan Allah! Demi Allah, tidak ada yang menghalangiku untuk masuk Islam
sewaktu bersama Muhammad di Madinah kecuali aku takut kalian mengira bahwa aku
ingin memakan harta kalian, tetapi setelah aku mengembalikan harta itu kepada
kalian, dan sekarang aku telah melepaskan tanggunganku, maka aku masuk Islam.”
Setelah
itu ia kembali lagi ke Madinah untuk berkumpul kembali dengan Zainab yang telah
lama menantinya dengan sabar. Di Madinah ia disambut oleh kaum muslimin dengan
gembira, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikan Zainab
kepadanya, dan mereka berkumpul dan bersatu kembali dalam kebahagiaan bahkan
lebih baik dari sebelumnya karena kali ini mereka dikumpulkan dalam agama
tauhid. Namun kebahagiaan ini ternyata tidak lama dinikmati berdua dibanding
masa sulit dan penuh kesabaran yang mereka harus jalani.
***
Perpisahan
Untuk Selamanya
Maqam Zainab Binti Rasulullah SAW |
Kepergian
Zainab meninggalkan Abul Ash seorang diri mengenang masa-masa indah yang telah
mereka lewati bersama dalam suka dan duka, hanya dua buah hati mereka Ali dan
Umamah yang kini menjadi pelipur lara.
Kedukaan
pun menimpa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kepergian Zainab membuat beliau
sangat berduka dan bersedih, membuat kesedihan yang lama terkenang kembali
yaitu ketika melepas kepergian istrinya, Khadijah dan putri keduanya, Ruqayyah.
Beliau pernah bersabda tentang Zainab, putri sulungnya ini, “Dia adalah putri
terbaikku, ia dirundung musibah disebabkan olehku.”
Begitulah
kehidupan seorang muslimah sejati, sebagai seorang anak, istri, dan ibu yang
senantiasa patut diteladani. Seorang wanita sederhana dan bersahaja, tak pernah
lena karena kedudukan ayahnya yang mulia. Wanita yang tak pernah menyerah dan
berputus asa, di dalam jiwanya terdapat kebesaran dan keagungan yang mengalir
dari ayahnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga
Allah meridhai dan merohmati Zainab. Amin
Sumber Dari : http://abubaid.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment