Setelah
menempuh waktu dua bulan pencarian Tidak ada seorang pun yang tertinggal
kecuali pasti kami tanyakan tentang Ummu Asy-Syuhada namun jawaban yang kami
dapatkan simpang siur. Ada yang mengatakan ia telah menghilang atau meninggal.
Informasi lain menyebutkan ia telah pergi menuju sebuah perkampungan dipinggir
Falujjah untuk melihat anak perempuannya.
Ummu
Asy-Syuhada, umurnya 62 tahun, ibu dari tiga perwira Islam; Ahmed, Muheeb dan
Umar. Putra-putra itu semua telah syahid (Insha Allah) dalam perang kedua di
Falujjah.
Ia
tinggal seorang diri di sebuah rumah mungil di Falujjah menghabiskan umurnya
dengan bekerja bercucuran keringat – meskipun di usianya yang senja, membuat
beberapa sapu untuk kemudian dijual di daerah-daerah sekitar. Ia menolak semua
bantuan yang diberikan padanya baik dari pedagang dan orang kaya di Falujjah.
Ia juga dikenal sebagai seorang yang do'anya senantiasa terkabul.
Anda akan
menemukan orang-orang mengunjunginya untuk memintanya mendo'akan mereka setiap
harinya. Banyak dari mereka adalah wanita yang akan melahirkan atau mereka yang
akan pergi bersafar, sakit dan bahkan ada pula para mujahidin. Para mujahidin
itu datang padanya sebelum operasi dilakukan, memintanya untuk berdo'a pada
Allah SWT agar menepatkan tembakan dan melindungi mereka.
Kami
menuju rumahnya dan ia sedang memperbaiki beberapa sapu di kebun. Kebunnya
sempit namun asri dengan pohon palm nan hijau menghiasi serta lima ekor ayam
yang setia menemaninya.
“Assalamu’alaikum,
wahai amah (bibi)!”
“Walaikumussalam
warahmatullaahi wabarakatuh. Ahlan anakku, masuklah!.”
Kami
masuk kedalam rumah lalu duduk di permadani yang dibuat dari bulu domba.
Ummu Asy-Syuhada melihat kamera dan buku catatan yang kami bawa, segera ia
meletakkan apa yang ada ditangannya di sisi tubuhnya sembari berucap ramah:
“Selamat datang anakku, apakah ada yang bisa saya bantu.”
“Amah,
Kami dari ***** , kami ingin mendengar tentang kisah Falujjah selama peperangan
yang kedua dari anda jika tidak keberatan.”
Disini
Ummu Asy-Syuhada memandang keheranan dan mengatakan : ***** ?Dari mana kalian
berasal? Aku tidak pernah mendengar tentang nama itu di televisi”
“Oh
Ummi, itu adalah sebuah situs Islam di internet yang memperhatikan umat Muslim
di Iraq dan negari-negeri muslim lainnya.”
Ummu Asy-Syuhada
tertawa dan mengatakan “Wallahi anakku, aku tidak mengerti apa yang kau
katakan. Bagaimanapun, aku persilahkan untuk bertanya dan aku akan menjawabmu
Insha Allah”
“Kami
ingin anda bercerita tentang peperangan Falujjah yang kedua.”
Secara
reflek sang wartawan segera memfokuskan lensa kamera kearah Ummu Asy-Syuhada,
bagaimanapun ia tidak berniat untuk merekam Ummu Asy-Syuhada.
Sejurus
Ummu Asy-Syuhada mengatakan “Wallahi anakku, aku tidak suka kamera ini. haram
bagiku dan aku adalah ibumu, seorang wanita yang terjaga. Tidak peduli setua
apapun aku, aku tetap seorang wanita dan aku tidak mengizinkan apa yang telah
Allah larang untuk wanita.”
Hajjah
Zakia Ummu Asy-Syuhada memulai menceritakan kisahnya:
“Aku
adalah seorang wanita tua di Falujjah yang percaya bahwa Allah SWT adalah benar,
sehingga Allah memberi cobaan pada hambanya yang perempuan dan laki-laki…. dan
aku memohon dari-Nya semoga ia menerima agar aku dapat melewati cobaan
melelahkan ini, demi Allah.
Suamiku
telah wafat sepuluh tahun yang lalu, ia seorang suami yang sangat baik, semoga
Allah merahmatinya. Aku dikaruniai tiga anak laki-laki dan seorang anak
perempuan. Mereka adalah Ahmad, Muheeb, Umar dan Khulood. Ahmad yang tertua,
usianya tiga puluh lima tahun disusul Khulood, Muheeb dan si bungsu Umar.
Suamiku dan aku mengabdikan diri kami untuk membesarkan mereka, memperhatikan
mereka dan melihat pertumbuhan mereka.
Ayah
mereka - semoga Allah menempatkannya di Jannah- turun langsung mendidik sampai
mereka dewasa hingga lulus kuliah. Mereka tetap menjaga kedekatan pada masjid
sejak kecil hingga mereka meninggal. Mereka bergabung dengan kelompok mujahidin
di Falujjah setelah berhenti bekerja.
Kisah
ini adalah kisah keluarga yang mengawali kisah Falujjah sehingga menjadi sebuah
cerita yang panjang. Aku akan meringkas kisah ini karena aku sedang berpuasa
dan aku pun memiliki banyak pekerjaan di rumah, terlebih ada orang-orang yang
sudah membayarku untuk memperbaiki sapu-sapu mereka.
Sepekan
sebelum pertempuran kedua di Falujjah, aku bercengkrama dengan anak-anak
laki-lakiku Ahmad, Muheeb dan Umar, semoga Allah SWT merahmati mereka, di rumah tua
kami di daerah Al-Shuhda’a (Asy-Syuhada -ed). Ketika itu sore hari, kami minum
teh bersama-sama. Mereka sedang mencoba membujukku untuk pergi ke rumah saudari
perempuan mereka di sebuah kampung di luar Falujjah. Mereka mengkhawatirkan
keselamatanku karena pertempuran yang akan datang. Amerika, Syiah dan Kurdis,
mereka bergabung seperti serangga mengepung empat gerbang Falujjah.
Aku
menolak usulan ini dan mereka, semoga Allah SWT merahmati mereka, merengek
padaku agar mau pergi, terutama Umar, yang terkecil di antara anak laki-lakiku.
Ia mengatakan padaku:
“Wahai ummi, tinggalkanlah Falujjah dan tinggalkan kami untuk bertempur sementara itu hati kami tenang akan dirimu. Pergilah, atau aku akan memaksa membawamu dengan mobil pickup.”
Ia
membujukku, semoga Allah SWT merahmatinya. Umar memiliki sifat periang dan semua
teman-temannya mencintainya karena pancaran cahayanya. Bahkan ia memanggilku
hajji bukan hajjah sembari berkata: “Keberaniamu adalah untuk pria bukan untuk
wanita”
Semua
bujuk rayu mereka aku tolak mentah, aku katakan : “Aku akan tetap tinggal dan
memasak untuk mu, untuk kelompokmu dan merawat lukamu. Aku tidak akan meninggalkan
Falujjah selama kamu ada di dalamnya. Wallahi, aku tidak dapat meniggalkan
hatiku di Falujjah dan pergi begitu saja”
Melihat
ketetapanku, mereka meniggalkan ku seorang diri, semoga Allah SWT merahmati mereka,
dan keputusan terakhir kami adalah kami tetap tinggal di Falujjah sampai akhir
pertempuran, baik memperoleh kemenangan maupun kesyahidan. Alhamdulillah
putera-puteraku mendapatkan salah satu yang kita harapkan, mencapai kesyahidan.
Ahmad,
Muheeb dan Umar, masing-masing mereka berada dalam kelompok yang berbeda dan
mereka mendiskusikan diantara mereka sendiri tentang sebuah rencana untuk tetap
menjaga komunikasi selama pertempuran.
Aku
mendengar percakapan mereka dengan sedih sebagaimana aku mengenang mereka
ketika mereka masih kanak-kanak, bagaimana ayah mereka memegang mereka dan
bermain dengan mereka, bagaimana mereka tumbuh, bagaimana mereka melewati
bangku sekolah dan diakhiri bagaimana janggut dan kumis mereka tumbuh.
Sampai-sampai
aku mengenang masing-masing dari mereka bagaimana mereka merencanakan rencana
pertama hidup mereka. Aku juga mengenang kegembiraanku saat hari pertama mereka
melangkah, dan ketika gigi pertama mereka tumbuh dan aku mentahnikkan jari ku
pada mereka untuk di kunyah dan kemudian tertawa pada mereka. Juga hari pertama
mereka di sekolahdengan tas mungil mereka.
Aku
menangis dalam sepi, khawatir bercampur keraguan. Sebelumnya aku yakin bahwa
mereka akan syahid dalam pertempuran. “Beritahu padaku, apa yang anda pikirkan
jika semua anak-anakmu meninggal, maka apa yang akan kau lakukan?”
Dengan
kesedihan dan pilu ini, aku tetap berdoa pada Allah SWT bahwa ia akan mengambil
jiwa ku juga sehingga dukaku kan lenyap dan aku tidak merasakan lagi lara
anak-anakku. Ummu
Asy-Syuhada menitikkan air mata yang mengalir jatuh mengikuti keriput wajahnya,
tangisan tanpa suara dan sejujurnya, kami pun menangis bersama.
Tiba-tiba
ia berdiri dan berkata lirih: “Permisi, aku mau melihat sup, aku khawatir
gosong.”
Kami
mengetahui ia tidak pergi ke dapur, kami mendengar tangisnya di sebuah ruangan
dengan jendela yang menghadap kebun. Tangisan- yang berbeda dari tangisan
perempuan yang meraung- do'a datang dari wanita renta ini yang memanjatkan:
“Allahuma
yang Maha Merajai dan Mengurusi siapa saja orang yang datang padanya dan
janganlah menolak mereka ataupun tidak mengabulkan permintaan mereka bahkan
jika mereka dihukum untuk mati. Ya Allah dan Engkaulah Raja dari Segala Raja,
aku berdiri disini, di pintumu untuk memohon pada-Mu agar mengambil jiwaku
karena kerinduanku pada putera-puteraku dan suamiku. Tidak satupun yang akan
membuatku bertahan di kehidupan ini. Ya Allah, janganlah menolakku, seorang
janda miskin yang semua puteranya telah tiada. Ya Allah yang Maha Menyanggupi,
janganlah biarkankan aku ternggelam dalam kesedihan.”
Beberapa
menit kemudian Ummu Asy-Syuhada kembali, matanya memerah karena tangis. Ia
bersandar pada sebuah tongkat yang tidak ia gunakan ketika pertama kali tadi
kami melihatnya dan seakan tubuhnya ambruk karena tangisan dan kelemahan.
Dengan senang ia mengatakan: “Gas yang kami gunakan untuk kompor itu telah
habis dalam satu hari. Aku yakin mereka menipu kita dan menjualnya kepada kita
dengan harga yang tinggi. Semoga Allah memaafkan mereka.” Wanita tua itu tidak
mengetahui bahwa kami mendengar tangisan dan doanya.
Ia
melanjutkan kisahnya: “Pada tanggal 11 Juli 2004 terjadi pemboman sporadis dan
intensif sebagai upaya untuk menembus benteng Falujjah dari utara. Mereka
melemparkan bom-bom yang sangat menyala. Saat itu pukul sebelas malam, aku
sedang sendirian dirumah dan aku memulai membaca apa yang aku hafal dari
Al-Qur’an sampai aku menyelesaikan semua surat-surat pendek yang aku hafal.
Kemudian aku bangun untuk berdoa pada Allah, yang pertama untuk kemenangan dan
yang kedua agar ia melindungi putera-puteraku. Aku tidak tertidur malam itu,
hingga waktu fajr.
Aku
merasa Umar berdiri di dekat kepalaku saat aku berada di atas sajadah. ia
mengatakan padaku : “Oh ummi, aku melihatmu tidak tidur. Kami semua baik-baik
saja dan aku bersama Muheeb dan Ahmad, mereka semua baik-baik saja dan mereka
ingin engkau membuat cukup makanan dan teh untuk empat belas Mujahidin. Apa
yang engkau pikirkan, tidakkah engkau menginginkan pahala?”
Wallahi,
aku sangat bahagia dengan tamu-tamuku sehingga dengan cepat pergi kedapur dan
menyiapkan makanan yang cukup untuk empat belas pria. Teh dan roti panas aku
siapkan dengan cepat.
Aku
keluar dengannya dengan cepat ke pintu dan membantunya untuk membawakan makanan
ke dalam mobil. ia mengatakan: “Oh ummi, makan siang ini atas mu, saudaraku
Muheeb menjadi sukarelawan makan siang bagi Mujahidin Arab.”
Aku
sholat Fajar dan berdoa pada Allah SWT agar ia melindungi mereka semua. Sementara
itu Falujjah masih tetap menjadi target serangan pesawat dan rudal Amerika.
Setiap terjadi ledakan, atap diatas kepalaku seoalah-olah akan runtuh. Aku
kembalikan kepada Allah dengan Do'a dan Al-Qur’an. Aku akan menyiapkan makan
siang untuk mereka.
Muheeb
datang dan mencium tanganku sebagaimana yang biasa ia lakukan. ia meminta
padaku jika saudara-saudaranya datang, mereka harus bertemu dengannya, penting
pesannya. Aku bertanya padanya tentang masalah itu dan ia menjawab “Ummi, hanya
soal sederhana. Tak perlulah engkau risaukan.”
Segera
ia berlalu. Pandangan mataku mengikutinya hingga ia jauh. Muheeb dikaruniai
badan yang tinggi dan kekar. semoga Allah SWT merahmatinya.
Hari
berikutnya – dan aku telah memanggang lebih dari dua ratus roti sampai tanganku
kelelahan menguleni adonan dan aku pun menyiapkan dua panci besar nasi dan
rebusan – Anak-anakku semua datang dan tinggal denganku hingga jam satu malam.
Aku menciumi mereka seolah-olah mereka masih kecil dan aku terus memandang
mereka dengan erat seolah aku tahu bahwa aku tidak akan melihat mereka lagi setelah
hari itu.
Wallahi,
aku tidak akan melupakan ciumanku atas mereka selama aku hidup. Ayah mereka
wafat dan tidak ada satupun didunia ini yang menggantikannya kecuali anak-anak
ini. Wallahi, aku mengenal satu persatu wangi mereka. Setelah satu jam mereka
pergi bersama-sama sembari membawa makanan, mereka mencium kening dan tanganku
dan mengatakan padaku :
“Wahai
ummi, berdo'alah untuk kami karena Allah.”
Aku
katakan pada mereka: “Mengapa engkau bersumpah atas nama Allah, aku selalu
berdoa untukmu siang dan malam.”
Mereka
menjawab: “Bukan untuk kami, tetapi untuk seluruh Falujjah.”
Mereka
pergi dan aku tidak pernah melihat mereka kembali, selamanya...
Falujjah
melalui banyak malam dengan pertempuran sengit yang dapat membuat seseorang
gila. Aku tidak mendengarkan apa-apa melainkan tangisan “Allahu Akbar”, doa
dari masjid, serangan dari mujahidin dan tembakan dari penjajah. Setiap hari
aku duduk di ambang pintu rumah, jam demi jam melihat kearah jalan berharap
kedatangan putera-puteraku. Aku akan bertanya kepada siapapun yang datang di
jalan dan berlari kearah mereka: “Hei, Oh salah satu dari kalian, apakah anda
melihat Ahmad, apakah anda melihat Muheeb, dan apakah anda melihat anakku
Umar?”
UmmuA
sy-Syuhada kembali menangis.
“Beberapa
dari mereka mengatakan padaku bahwa mereka tidak mengenal anak-anakku dan yang
lain mengatakan bahwa mereka tidak melihat. Hanya ada satu orang yang
mengabarkan padaku “Ya ummi, Ahmad dan Umar mereka berada di daerah
Al-Jumhooriya dan Muheeb berada di daerah An-Nizaal dan mereka dalam keadaan
baik.”
Dia
segera bergegas berlalu, aku berlari mengikutinya hingga tersandung dan
terjatuh. Hidungku terantuk hingga berdarah. Aku memohon padanya untuk
menghentikan langkah agar berbicara lebih banyak padaku. Akhirnya ia berhenti
dan berkata: “Ibuku, aku telah mengatakan bahwa mereka baik-baik saja dan tidak
ada yang salah dengan mereka alhamdulillah, tetapi jangan membuatku terlambat.
Aku memiliki pekerjaan yang sangat penting untuk dilakukan. Jika aku melihat
mereka lagi aku akan menyampaikan salam anda”.
Ia
memberiku ghutrah dan menghiburku: “Hapuslah darahmu wahai Ibu”, kemudian ia
pergi.
Kondisi
seperti ini terus berlanjut hingga tanggal 12 Desember. Bagaimanapun aku telah
memutuskan setelah ini bahwa aku akan menguatkan hatiku, percaya pada Allah SWT dan
melakukan sesuatu untuk Mujahidin. Aku mulai menyibukkan diri untuk memasak
makanan dan membagi-bagikan minuman diantara para mujahidin Arab. Aku juga
membuat perban dari tirai rumah, potongan bahan dari sekitar rumah dan
mengambil kapas bantal. Kemudian aku merawat mujahidin yang terluka di
peperangan. Dan Alhamdulillah semua yang telah aku rawat kembali ke
pertempuran. Jumlah mereka lebih dari dua puluh orang.
Sebelum
datang tanggal 12 Desember, yakni pada tanggal 9 Desember- saya yakin,
sebagaimana aku menghitung hari-hari semenjak aku dipisahkan dari anak-anakku-
hari ini yahudi menyebar bahan kimia yang sangat kuat di sekitar Falujjah,
khususnya dipusat kota. Banyak orang syahid sampai senjata kimia itu pun
membakar pepohonan dan hewan-hewan. Hal ini menambah kesibukan di pusat kota,
dalam beberapa jam puluhan mujahidin mati syahid. Kemudian sebuah isu menyebar
diantara Mujahidin dari sumber yang mana sampai sekarang masih belum diketahui.
Tapi aku meyakini bahwa hal itu berasal dari seorang agen intel penjajah.
Isu
itu mengabarkan bahwa Umar Hadid dan Abdullah Al-Janaabi syahid dalam serangan
senjata kimia. Kepanikan diantara kelompok-kelompok menyebar di Falujjah, hanya
Allah SWT yang maha mengetahui. Aku mendengar hal ini dari seorang yang sedang ku
rawat.
Namun
Umar Hadid dan Abdullah Al-Janaabi menampik rumor itu ketika mereka tiba-tiba
muncul ditengah-tengah mujahidin di hari itu. Peristiwa ini meningkatkan
semangat mujahidin dan memberikan kerugian yang besar atas pekerjaan penjajah,
hanya Allah yang Maha Tahu.
Pertempuran
dahsyat terus berlangsung antara mujahidin dan rakyatnya melawan aliansi
penjajah.Aku mendengar berita ada puluhan syuhada diantara mujahidin. Aku
memohon pada Allah untuk menyenangkan mata saya suatu hari nanti dengan melihat
tiga putra saya.
Kemudian,
saat pukul 11 malam tanggal 12 Desember 2004 hari ahad, disana terjadi
pertempuran sengit antara mujahidin dan Amerika yang mencoba untuk merebut
daerah Al-Shuhda’a. Pertempuran terjadi sangat dekat dengan rumahku dan aku
dapat melihat langit menyala memenuhi api, sebuah pemandangan yang tidak akan
aku lupakan di sisa hidupku.
Betapa
banyak syuhada yang gugur selama pertempuran ini dan aku mendengar rintihan
mereka dekat dengan rumahku. Situasi seperti itu berlangsung kira-kira selama 4
jam, semenjak pukul 11 sampai pukul 3 dini hari, atau kurang sedikit. Selama ini
serangan Amerika atas daerah ini gagal. Aku keluar menuju pintu rumah dan aku
mendengar raungan datang dari seorang mujahidin yang terluka. ia mengingat
Allah SWT dan ia tidak berhenti menyebut laa illaha illaa allah muhammad
rasululullah.
Aku
bergegas mendekatinya, ternyata dia masih hidup sehingga aku menyeretnya dengan
segala kekuatan kedalam rumah. Dia terluka di dada dan wajahnya. Aku bergegas
membawakan air dan membersihkan wajahnya dan membalut luka-lukanya sampai
pendarahan berhenti. Ia menangis dan aku pikir ia menangis karena rasa
sakitnya. Setiap kali ia menatapku dia akan menangis, sehingga aku katakan
padanya:
“Percayalah
pada Allah, lukamu tidak parah Insha Allah, dapat disembuhkan. Menyadari bahwa
anda baik-baik saja adalah hal yang penting. Subuh semakin dekat, kelompok anda
akan segera datang kemari, mereka akan membawa mu dan merawatmu. Bagaimanapun
biarkan aku pergi dan melihat jika kelompokmu masih ada yang hidup atau tidak.”
Kali
ini ia mulai menangis lebih keras, seolah-olah ia tidak ingin ditinggalkan
seorang diri, sehingga aku berfikir mungkin ia merasa bahwa kematiannya sudah
dekat dan ia tidak ingin mati sendirian. Aku mengatakan bahwa teman-teman yang
lain mungkin membutuhkan bantuan, aku akan pergi dan kembali secepat mungkin.
Aku
pergi kejalan raya- setelah menyentakkan abayaku dan mengikatnya di pinggang-.
Aku memutuskan bahwa aku akan menolong yang terluka terlebih dahulu. Benar aku
kemudian menemukan seorang korban berikutnya, orang arab. Aku menyeretnya kedalam
rumah dan memulai untuk melakukan apa yang harus dilakukan dengannya. Aku heran
ketika ia menyebutku dengan sebutan “Wahai Amah, Ummu Muheeb”. Seolah-olah ia
mengenal ku padahal biasanya orang-orang memanggil ku dengan Ummu Ahmad.
Aku
menduga ia teman putraku dan mengetahui rumah kami. Dia terluka dari bawah
pusarnya, semoga Allah SWT merahmatinya dan ususnya keluar menjulur. Dia mengatakan
kepadaku bahwa semua yang ia inginkan hanya beberapa lumpur dari kebun, garam
dan perban. Aku memberinya apa yang ia inginkan dan kemudian aku kembali keluar
kejalan.
Disana
aku menemukan dua mayat, terpisah dua rumah dariku. Aku menyeret yang pertama
dengan sekuat tenaga ke rumah dan meletakkannya di kebun. Lalu aku mengambil
sekop berniat untuk menggali kuburan untuknya. Dan sungguh aku menggali dengan
rentang kedalaman seadanya sepanjang dua meter kemudian aku menimbunnya. Aku
hanya ingin ia terkubur secara darurat sampai keluarganya atau temannya datang
untuk memindahkan tubuhnya agar dapat menguburkannya lebih tepat sesuai dengan
syariah.
Setelah
aku menguburkan yang pertama aku sangat kelelahan karena aku terlalu tua untuk
menyeret orang yang terluka dan satu jenazah puluhan meter. Namun aku
bertawakal kepada Allah SWT dan mengatakan pada diriku sendiri. Semoga Allah SWT akan
melindungi anak-anakku dari kematian, sebagai imbalan atas apa yang telah saya
lakukan.
Aku
keluar menuju jalan lagi dan menemukan satu lagi syuhada yang berbadan besar
dan tinggi. Aku mulai perlahan-lahan menariknya dari kakinya. Setelah beberapa
menit sampailah aku di kebun rumahku. Disini aku mulai curiga jika aku mengenali
syuhada ini – dan kemejanya robek dibagian belakang – juga baunya sangat aku
kenali. Saat itu malam hari dan sangat gelap, bahkan aku tidak dapat melihat
telapak tanganku. Aku berlari menuju rumah dan menyalakan sebuah lentera,
walaupun sesuatu yang membahayakan untuk memancarkan cahaya dari rumah. Hal ini
karena pesawat penjajah dapat membom setiap menit.
Ketika
aku mendekatkan lentera semakin dekat ke wajah sang syahid yang berlumuran
darah dan pasir, aku membeku di tempatku seperti tersambar petir. Aku tak mampu
mengucapkan sepatah katapun. Syuhada yang aku seret kali ini tidak lain adalah
Muheeb anakku yang kedua!”
Ummu
Asy-Syuhada diam dan tangisnya meledak. Ia berucap: “Wallahi Oh Muheeb kau
mematahkan kekuatanku, kau dan saudara-saudaramu meniggalkanku dan pergi begitu
saja”. Kemudian ia tersadar; “inna lillahi wa innaa ilayhi raaji’oon” aku telah
merencanakan untuk tidak menangis atas mereka dan kali ini adalah ketiga kalinya
saya menangisi mereka hari ini”.
Kemudian
wanita yang terhentak itu melanjutkan kisahnya: “Aku mengangkat kepalanya dan memeluknya, aku menangisinya dan berbicara dengannya selama sekitar
setengah jam seakan-akan ia masih hidup. Aku mengingatnya atas tutur katanya
yang baik denganku, kenangan ketika ia masih kecil dan ia tertidur di
pangkuanku. Aku membelai lembut rambutnya yang indah sebagai mana yang selalu
kulakukan. Aku mengatakan padanya:
“Wahai Muheeb, aku adalah ibumu….tidurlah oh cahaya mataku, tidur dan beristirahatlah dari dunia ini. Engkau telah menang!”
Wallahi!
Aku tidak ingin melepaskannya dari pangkuanku. Aku menguburkannya dibawah pohon
zaitun yang ia cintai dan tempatnya belajar ketika ia masih kecil. Aku membuat
lubang yang dalam, aku memutuskan bahwa rumahnya akan menjadi makamnya.
Di
pagi hari sekelompok Mujahidin tiba dan aku masih berada di makam Muheeb.
Menjaga anakku yang syahid seakan-akan ada orang yang hendak menculiknya. Aku
menangisinya dari malam sampai pagi hingga aku menyadari kedatangan mereka
setelah mendengar suara mereka di jalan. Aku pergi menemui mereka dan
mengenalku. Aku mengetahui bahwa mereka adalah teman-teman Ahmad dan Umar.
Aku
bertanya kepada mereka: “Katakan padaku, dimana anak-anakku Ahmad dan Umar?”
Mereka
membungkukkan kepala kebawah dan mengatakan: “Oh bibi, ingatlah mereka dengan
Allah. Tadi malam Ahmad dan Umar wafat di daerah Nizaal dan kami menguburkan
mereka di halaman rumah Hajji Khaleel Al-Fiyaad.”
Aku
tidak tahu mengapa aku tidak menangis pada saat berita itu sampai. Mungkin
karena aku telah sangat letih menangisi Muheeb atau karena saat itu aku
tersentak. Aku bertanya pada mereka: “Apakah mereka wafat dalam keadaan maju
atau mundur di medan peperangan?”
Salah
satu dari mereka menjawab:”Wallahi, mereka wafat saat maju dan mereka menerima
pembalasan dendam atas mereka sebelum mereka wafat”.
Aku
memuji pada Allah SWT dan kemudian aku mengatakan kepada mereka untuk memasuki
rumah agar mengambil dua orang yang terluka dengan mereka. Ketika mereka memasukinya
mereka menemukan satu dari mereka, yaitu yang arab sudah tidak bernyawa.
Sedangkan yang lainnya masih hidup dan mereka membawanya. Mereka menguburkan
yang wafat di kebun rumahku.
Mereka
terkesan bahwa aku mampu menggali dua buah kuburan dalam satu jam. Aku
mengatakan bahwa kuburan dibawah pohon zaitun itu milik anakku Muheeb dan yang
lain, adalah seorang syuhada yang tidak aku kenali dan ia tidak di kuburkan
dengan selayaknya. Sehingga aku meminta salah satu dari mereka untuk
menguburkannya kembali dan membuatkan kuburan yang lebih layak.
Setelah
selesai, mereka memohon kepadaku untuk ikut dengan mereka mencoba keluar
meninggalkan Fallujah. Aku menolak. Salah satu dari mereka, tampaknya bukan
orang Iraq berkata: “Oh Ibu engkau telah kehilangan tiga putera dan kami semua
adalah anak-anakmu. Insha Allah Ahmad, Umar dan Muheeb berada di dalam Jannah”
Kemudian
mereka pergi tergesa-gesa dan aku kembali kedalam rumah untuk sholat Dhuha.
Tiga pertempuran kembali pecah dalam tiga malam berikutnya. Selama waktu itu
aku mampu menarik empat syuhada lainnya dan menguburkan mereka di kebun
rumahku. Hingga kini kebun rumah itu terdapat tujuh kuburan parasyuhada.
Seluruh kebun dan rumah dipenuhi dengan aroma misk yang belum pernah aku cium
sebelumnya. Aroma ini membuat aku merasa senang dan memberikanku kesabaran.
Aku
tidur selama empat malam disamping makam Muheeb dan aku mendapatkan aroma itu
di kuburannya. Aku tidur dengannya seperti ibu yang menimang anaknya ketika ia
sedang tertidur. Aku tetap tertahan dirumah dengan para syuhada selama tujuh
hari hingga tanggal 13 Januari 2005, ketika bulan sabit merah masuk dari arah
utara atas izin dari penjajah.
Mereka
memaksaku untuk pergi dengan mereka ke sebuah kamp pengungsian di
As-Saqlaawiya. Disana aku mengetahui bahwa setelah peperangan para pekerja
sukarela dari Fallujah menggali kuburan Muheeb dan teman-temannya dan mengambil
mereka untuk dikuburkan kembali dengan saudara-saudaranya di pekuburan khusus
para syuhada.
Ini
adalah kisahku dan aku berusaha menceritakannya meskipun sakit dan pedih. Pula,
aku berharap bahwa aku memiliki tiga putra yang akan mati demi Allah meskipun
betapa berat kesedihanku atas mereka. Sebagai ibumu adalah kebanggaan karena ia
adalah ibu dari para syuhada.
Umm
Asy-Syuhada mengakhiri ceritanya dengan beberapa bait syair badui yang mampu
kami tulis. Dia berkata: “Syair untuk para ulama yang selalu memakai surban di
kepala mereka. Untuk mereka aku mendedikasikan dua syair ini. Aku bertanya
kepada mereka. Apa yang akan Anda katakan pada hari Anda berdiri di antara
penuntut balas dan Maha Kuat?
Kami
berharap dengan anda dan berpikir anda akan menyelamatkan kami
Kami
tidak berharap, anda berlalu mencampakkan kami setelah melihat penderitaan ini
Kami
berharap dengan anda (….)
Oh
ketidakadilan, harapan telah sirna dan pendusta telah muncul
Demi
Allah, Anda telah mematahkan hati kami dan membuat kami berurai air mata. Wahai
ibu para syuhada. Semoga Allah SWT menerima anak-anakmu sebagai syuhada dan mengumpulkan
kamu dengan mereka di surga tertinggi, Al-Firdaus. Amin.
Semoga
Allah merahmati anak-anakmu wahai ibu
Ummu
Asy-Syuhada dan kenangannya tentang Falujjah.
Garis
rapuh tergores dikeningnya
Hanya
waktu berpihak
Jemari
mulai kaku menuntut untuk hidup
Apa
daya hanya sisa raja dinanti
Garis
rapuh terlukis di dahinya
Sang
tua berjalan tanpa tandu
Tiada
naung peristirahatannya
Berlaku
sehari setetes semadu
Garis
tua itu Nampak hanyut
Kusut
bertabur peluh
Setengah
perjalanan penguasa pencari buntut
Acuh
setengah hati
Garis
tua itu berontak
Garis
tua itu saksi tirani
Garis
tua itu berteriak
Mencari
upa terselip di ketiak-ketiak sumbi
Dawlah
kini harapan
Penjajah
asa bermuram kelam
Secercah
suria kemenangan
Sumber Dari : http://www.arrahmah.com
0 comments:
Post a Comment