Sudah
menjadi ‘tradisi’ majalah TIME setiap tahunnya merilis daftar The World’s Most
Influential People yang berisi daftar ‘100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia’.
Sejak mulai menjadi pembaca setia TIME, rasanya saya belum pernah ketinggalan
membaca edisi khusus ‘setahun sekali’ ini.
Chen Shu Chu |
Namun
tahun ini ada yang ‘luar biasa’ dan sangat menarik perhatian saya. Diantara
sederetan ‘public figures’ –yang biasanya adalah para pemimpin dunia, pemikir
revolusioner, tokoh politik, filantropis dan artis terkenal– yang menjadi
langganan daftar bergengsi ini setiap tahunnya, saya menemukan seorang
‘pedagang sayur’ yang tahun ini didaulat oleh TIME sebagai satu dari ‘100 Orang
Paling Berpengaruh di Dunia’. Ya, pedagang sayur biasa.
Sebagian
dari Anda mungkin mengira saya sedang bercanda atau tulisan ini adalah ‘hoax’
belaka. Tidak, saya tidak sedang bercanda. Jika masih ragu, silahkan klik link
website majalah TIME berikut ini atau coba cari majalahnya di toko buku
terdekat.
Lalu,
apa sih yang begitu istimewa dari sosok pedagang sayur ini hingga dia kemudian
diposisikan sejajar dengan Obama, Bill Clinton, Lee Kuan Yew, Steve Jobs,
Oprah, dan Jet Li oleh TIME, salah satu majalah paling berpengaruh di dunia
saat ini.
Berikut
ini adalah kisah nyata Chen Shu Chu, perempuan berusia 59 tahun yang setiap
harinya berjualan sayur mayur di kiosnya di pasar besar Taitung County, kawasan
tenggara Taiwan. Sejak majalah Time merilis daftar “100 Orang Paling
Berpengaruh di Dunia”, Kamis lalu (29/4), pedagang sayur biasa itu mendadak
(kian) tenar.
“Apa
itu majalah Time? Saya tidak pernah tahu atau bahkan mendengarnya,” ujar Chen,
saat diwawancarai para wartawan di kiosnya beberapa hari yang lalu.
Dia
bahkan mengaku malu saat diberi tahu bahwa majalah bergengsi asal Amerika
Serikat itu memasukkannya dalam daftar “100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia” sejajar
dengan tokoh-tokoh terkenal ‘penginspirasi dunia’.
“Ini
membuat saya malu. Tapi, terima kasih atas perhatian anda semua,” lanjutnya.
Ang
Lee, sutradara terkenal di Hollywood asal Taiwan ini bahkan menuliskan sebuah
artikel pendek tentang Chen khusus untuk TIME edisi Kamis lalu. Lee menyatakan
kekagumannya pada kesederhanaan perempuan pedagang sayur berambut sebahu
tersebut.
“Ini
bukan tentang sesuatu yang luar biasa. Tapi, justru tentang kesederhanaan dan
kemurahan hatinya,” ungkap sutradara berdarah Amerika-Taiwan tersebut.
Sebab,
meski tidak bergelimang harta dan kemewahan, Chen ternyata memiliki hati yang
sangat kaya, dia selalu menyempatkan beramal di setiap kesempatan.
“Uang
menjadi berguna hanya jika berada di tangan orang yang membutuhkannya,” ujar
Chen.
Karena
itu, tidak heran jika selama 17 tahun terakhir dia menyumbangkan tidak kurang
dari USD 320.000 (sekitar Rp 2,8 miliar) ke yayasan-yayasan sosial. Termasuk
donasi untuk yayasan anak-anak dan panti asuhan yang besarnya masing-masing USD
32.000 (sekitar Rp 288,3 juta). Juga sumbangan senilai USD 144.000 (sekitar Rp
1,29 miliar) untuk perpustakaan sekolahnya dulu.
Namun,
Chen menolak disebut sebagai dermawan. “Saya tidak pernah memberikan donasi
yang nilai nominalnya sangat besar,” kilahnya.
Pekerja
keras yang memiliki tiga anak angkat itu juga enggan bercerita banyak soal
sumbangan-sumbangannya ke yayasan sosial. Sebab menurutnya, amal yang dia
berikan bukan untuk dipublikasikan. “Tidak banyak yang bisa saya ceritakan
tentang hal ini, karena saya tidak sedang mengikuti sebuah kompetisi,” imbuh
Chen.
Perempuan
yang tidak tamat sekolah dasar karena kesulitan biaya itu, menekuni bisnis
sayur-mayur di pasar Taitung sejak berusia 13 tahun. Awalnya, dia hanya
membantu orangtuanya yang memang pedagang sayur di sana. Kini, dialah yang
mengelola kios sayur tersebut. Selama hampir lima dekade, Chen menjadi pedagang
sayur dengan jam terbang paling tinggi. Sebab, tiap hari, kiosnya-lah yang buka
paling pagi dan tutup paling sore.
“Mengagumkan.
Tapi, di atas semua (donasi) yang sudah dia berikan itu, keteladanan-lah yang
menjadi sumbangan terbesarnya,” terang Time dalam pernyataan resminya tentang
Chen.
Sosok
rendah hati itu sendiri, mengaku berambisi memberikan pendidikan serta makanan
dan layanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin. Karena itu, wajar jika
Time mencatatkan nama Chen dalam kategori pahlawan di daftarnya. Sementara
Maret lalu, Chen juga dinobatkan sebagai satu dari “48 Pahlawan Amal Asia” oleh
majalah Forbes.
Dunia
membutuhkan lebih banyak lagi Chen Shu Chu lainnya sebagai ‘guru’ yang
menginspirasi umat manusia lebih dengan ‘keteladanan yang nyata’ alih-alih
dengan kotbah berapi-api dan keindahan janji surga seperti yang senantiasa
didengung-dengungkan para pemuka agama.
Mudah-mudahan
tulisan ini (setidaknya) bisa menginspirasi kita untuk lebih bermurah hati,
mengikis keserakahan duniawi dan belajar untuk berbagi kepada sesama.
Sumber Dari : https://cahyaditan.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment