Menelusuri
sejarah kemerdekaan, ingatan otomatis akan menggiring kita pada deretan nama
pahlawan nasional seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Mohammad
Natsir, dan banyak lagi. Dedikasi mereka diulas melalui berbagai media, mulai
dari tulisan hingga film.
Meski
demikian, ada yang nyaris luput dari benak kita sebagai sebuah bangsa. Bahwa
dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia, sejumlah orang asing turut
menyumbangkan harta, pikiran, dan tenaga, bahkan menyabung nyawa.
Nama
orang-orang asing itu memang hampir tak tercatat dalam buku pelajaran sejarah,
namun sumbangsih mereka tak terbantah. Jauh dari gelar pahlawan, mereka justru
memainkan peran yang tak kalah signifikan dengan patriot lokal. Dan kali ini, saya mengangkat kisah Muriel Stuart Walker atau yang kelak
dikenal sebagai K'tut Tantri
Muriel Stuart Walker (K'tut Tantri) |
Dari
Negeri Paman Sam ke Bali
Seperti
dikutip dari Independent, K'tut Tantri lahir di Glasgow, Skotlandia pada 18
Februari 1899. Ia adalah anak satu-satunya dari pasangan James Hay Stuart
Walker dan Laura Helen Quayle. Setelah Perang Dunia I, bersama sang ibu, ia
pindah ke California, Amerika Serikat (AS). Kelak di Negeri Paman Sam, Tantri
bekerja sebagai penulis naskah dan antara 1930 hingga 1932 ia menikah dengan
Karl Jenning Pearson.
Tantri
memutuskan pindah ke Bali setelah ia menonton film berjudul, "Bali, The
Last Paradise". Hal itu ia ungkapkan gamblang dalam bukunya, "Revolt
in Paradise" yang terbit pada 1960.
"Pada
suatu sore saat hujan rintik-rintik, saya berjalan di Hollywood Boulevard, saya
berhenti di depan sebuah gedung bioskop kecil yang memutar film asing, mendadak
saya memutuskan untuk masuk. Film asing tersebut berjudul "Bali, The Last
Paradise". Saya menjadi terpesona," tulis Tantri.
"Sebuah
film yang menunjukkan contoh kehidupan penduduk yang cinta damai, penuh rasa
syukur, cinta, dan keindahan. Ya, saya merasa telah menemukan kembali hidup
saya. Saya merasa telah menemukan tempat di mana saya ingin tinggal," ujar
dia dalam bukunya.
Selang
beberapa bulan kemudian, Tantri tiba di Pulau Dewata. Kala itu ia bersumpah
mobil yang dikendarainya hanya akan berhenti jika sudah kehabisan bensin dan
kelak ia akan tinggal di tempat pemberhentian terakhirnya itu.
Ternyata
mobil Tantri kehabisan bensin di depan sebuah istana raja yang pada awalnya ia
yakini adalah pura. Dengan langkah hati-hati ia memasuki tempat itu dan tak
berapa lama kemudian perempuan itu diangkat sebagai anak keempat oleh Raja
Bangli Anak Agung Gede --sejumlah sumber menyebut ia menyamarkan nama asli sang
raja.
Tantri
menetap di Bali sejak 1934 dan ketika Jepang mendarat di Pulau Dewata, ia
berhasil melarikan diri ke Surabaya. Di kota inilah ia mulai membangun hubungan
dengan para pejuang kemerdekaan.
Peran
Tantri Dalam Mewujudkan Kemerdekaan Indonesia
Di
Surabaya, Tantri bergabung dengan radio yang dioperasikan para pejuang pimpinan
Sutomo atau akrab disapa Bung Tomo. Dan ketika pecah pertempuran hebat pada 10
November 1945, tanpa gentar, Tantri berpidato dalam bahasa Inggris sementara
hujan bom dan peluru mortir terjadi di sekeliling pemancar radio.
"Aku
akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan
Inggris barangkali aku dapat mengimbangi perbuatan sewenang-wenang yang
dilakukan kaum sebangsaku dengan berbagai jalan yang bisa kukerjakan,"
tulisnya dalam "Revolt in Paradise".
Pilihannya
untuk bergabung dalam perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan itu
membuat kalangan pers internasional menjulukinya "Surabaya Sue" atau
penggugat dari Surabaya. Ia diketahui mulai akrab dengan dunia politik setelah
menjalani diskusi intens dengan Anak Agung Nura -- putra tertua raja yang
mengangkatnya sebagai anak.
Menyadari
dirinya menjadi target Jepang, Tantri
memutuskan sembunyi di Solo. Namun nahas, keberadaanya diketahui Jepang
dan akhirnya ia pun ditahan Kempetai --satuan polisi militer Jepang.
Perempuan
itu dibawa ke sebuah penjara di daerah Kediri. Kondisi selnya sangat
memprihatinkan di mana tempat tidurnya hanya beralaskan tikar kotor, bantal
yang terbuat dari merang sudah menjadi sarang bagi kutu busuk, sementara
berfungsi sebagai jamban adalah lubang di tanah dengan seember air kotor di
sampingnya.
Tantri
hanya diberi makan dua hari sekali, itu pun hanya segenggam nasi dengan garam.
Hasilnya, berat badannya turun 5 kilogram dalam minggu pertama. Kelaparan dan
kejorokan memang menjadi senjata andalan Jepang ketika itu. Ini ditujukan untuk
mematahkan semangat para tahanan sehingga mereka mau memberi informasi yang
dibutuhkan.
Kendati
mengalami bertubi-tubi penyiksaan bahkan nyaris dieksekusi, Tantri memilih
tetap bungkam ketika disodori pertanyaan terkait dengan aktivitas bawah
tanahnya. Dan setelah ditahan kurang lebih selama tiga minggu, ia pun
dibebaskan.
Pasca-kebebasannya,
ia diberi dua pilihan. Kembali ke negerinya dengan jaminan pengamanan tentara
Indonesia atau bergabung dengan para pejuang. Tantri memilih opsi kedua.
Pada
satu waktu, ia diculik oleh sebuah faksi tentara Indonesia dan diminta untuk
siaran di "radio gelap" yang mereka kelola. Namun ia berhasil
dibebaskan oleh pasukan Bung Tomo.
Ketika
pemerintahan Indonesia pindah ke Yogyakarta, ia pun bergabung sebagai penyiar
di Voice of Free Indonesia era 1946-1947. Dan ia dilaporkan pernah menjadi
mata-mata yang berhasil menjebak sekelompok pengkhianat.
Mara
bahaya senantiasa mengincar Tantri. Sementara ketenaran dan kerelaannya untuk
berkorban membuatnya menjadi rebutan sejumlah faksi politik. Ia diutus oleh
pemerintah Indonesia ke sebuah konferensi pers yang dihadiri wartawan dan
koresponden kantor berita dan media massa asing untuk mengisahkan bagaimana
rakyat begitu bersemangat mendukung perjuangan kemerdekaan.
Berbeda
dengan propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa pemerintahan Sukarno - Hatta
tak mendapat dukungan.
Tantri
juga pernah dikirim ke Singapura dan Australia dalam rangka menggalang
solidaritas internasional. Tanpa visa ataupun paspor dan dengan hanya bermodal
kapal tua yang dinakhodai seorang pria berkebangsaan Inggris, ia berhasil lolos
dari blokade laut Belanda.
Dari
Singapura ia bergerak ke Belanda demi menggalang dana dan melakukan propaganda.
Ia berhasil, sebuah demonstrasi mahasiswa terjadi di perwakilan pemerintahan
Belanda di Negeri Kanguru itu.
Menulis
pidato untuk Bung Karno
Sang
Penggugat dari Surabaya itu tercatat sebagai orang yang menulis pidato bahasa
Inggris pertama Bung Karno. Ketika itu ia mengaku diperintahkan oleh Ali
Sastroamidjojo.
Merasa
tak berpengalaman dalam urusan tulis menulis pidato politik terlebih setingkat
kepala negara, awalnya Tantri menolak permintaan itu. Ia pun mengatakan,
Sukarno sebenarnya lancar berbahasa Inggris.
"Namun
itu pidato radionya yang pertama dalam bahasa Inggris," jelas Tantri.
Mungkin
Sukarno berpendapat akan jauh lebih baik apabila pidatonya ditulis oleh
seseorang yang memiliki bahasa Inggris sebagai bahasa ibu.
"Aku
pun memusatkan pikiran, berusaha mengingat-ingat tulisan dan ucapan tokoh-tokoh
demokrasi Amerika," ungkap perempuan yang berhasil merumuskan pemikiran
dari Thomas Paine, Jefferson, Abraham Lincoln, dan sejumlah negarawan AS
lainnya ini.
Diklaim
Tantri, pidato yang ditulisnya sukses besar. Gaya orasi Bung Karno ia
gambarkan, telah memberikan makna mendalam bagi siapa saja yang mendengarnya.
"Aku
sangat terharu ketika mendengar suara Bung Karno yang berat dan penuh perasaan
membaca naskahku," ujarnya.
K'tut
Tantri menetap di Indonesia selama 15 tahun, sejak 1932 hingga 1947. November
1998, pemerintah Indonesia mengganjarnya dengan Bintang Mahaputra Nararya atas
jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai di Kementerian Penerangan pada 1950.
Tantri
yang juga memiliki darah bangsa Viking --sehingga dikenal sebagai pemberani dan
gemar petualangan-- tutup usia pada Minggu 27 Juli 1997. Perempuan yang
perjalanan hidupnya akan segera difilmkan itu, meninggal dunia di sebuah panti
jompo di pinggiran Kota Sydney, Australia, di mana ia menjadi permanen resident
sejak 1985.
Perempuan
yang disebut sebagai salah satu perintis hubungan persahabatan Indonesia -
Australia itu memang tak pernah mengangkat senjata atau tutup usia sebagai
warga negara Indonesia. K'tut Tantri justru memanfaatkan identitasnya sebagai
orang asing berbahasa Inggris untuk mengambil peran dalam ranah diplomasi yang
mengedepankan komunikasi dan jelas apa yang dilakukannya itu penuh risiko.
Sumber dari : http://global.liputan6.com
0 comments:
Post a Comment