Zaman terus berkembang. Kesetiaan seakan menjadi barang mahal, baik dalam persahabatan, bisnis, maupun rumah tangga. Kesulitan-kesulitan kecil menjadi alasan perpecahan. Perceraian, yang pada dasarnya merupakan perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah SWT, justru mudah dan sering kali menjadi pilihan.
Islam
memberikan teladan tentang kesetiaan seorang istri kepada suaminya melalui
kisah Nailah binti al-Farafishah.
Proses
khitbah Utsman bin Affan RA terbilang unik. Ketika itu, Utsman telah berusia 81
tahun dan menjabat sebagai Amirul Mukminin ketiga. Nailah tampak terkejut
melihat uban telah begitu banyak di rambut pria yang terkenal pemalu ini.
Utsman
pun bertanya dengan penuh kelembutan kepada Nailah, "Apakah engkau
keberatan jika menikah denganku, laki-laki yang sudah sangat tua?"
Gadis
belia berusia 18 tahun itu tersenyum malu-malu. Ia membalas dengan sangat
hati-hati dan penuh rasa hormat. "Aku menyukai laki-laki yang lebih
tua."
Utsman
bin Affan RA berkata, "Tetapi usiaku telah melampaui ketuaanku."
Nailah
kembali tersenyum. Ia tertunduk, lalu membalas pernyataan itu, "Masa
mudamu telah engkau habiskan bersama Rasulullah SAW. Itu membuatku merasa
beruntung dan itu lebih dari segala-galanya."
Jawaban
ini sangat menyentuh hati Utsman bin Affan RA. Mereka pun menikah di Madinah.
Dari pernikahan tersebut, lahir seorang putri bernama Maryam binti Utsman.
Dengan
kecerdasannya dan didikan Utsman bin Affan RA, Nailah tumbuh menjadi istri yang
taat dan penyayang. Suatu hari, badai pemberontakan menghantam Madinah. Ribuan
orang yang memendam kedengkian kepada Utsman bin Affan RA datang menuntut sang
khalifah. Mereka datang dengan membawa pedang, menginginkan nyawa sahabat
Rasulullah SAW ini.
Pasukan
itu mengepung rumah Utsman bin Affan RA. Tak lari, Nailah menghadapi serangan
itu dan terus menemani Utsman. Ia membesarkan jiwa kekasihnya dan melingkupinya
dengan kasih sayang.
Tak
tahan sekadar mengepung dan menunggu, dua orang laki-laki akhirnya masuk ke
dalam rumah Utsman bin Affan RA. Dalam keadaan seperti itu, Nailah melihat
keluar dan melepaskan kerudungnya. Ia berharap para lelaki itu masih memiliki
keimanan dalam hatinya dan akan memalingkan wajah meninggalkan mereka.
Utsman
bin Affan RA melihat apa yang dilakukan istrinya dan segera menegurnya.
"Nailah, tutuplah rambutmu itu dengan kerudung. Demi Allah, lebih mudah
bagiku untuk membiarkannya masuk daripada engkau berbuat haram dengan
membiarkan rambutmu terurai," kata Utsman.
Kedua
laki-laki itu akhirnya berhasil masuk ke rumah dan sampai di hadapan Utsman dan
istrinya. Seorang di antara mereka mengayunkan pedangnya kepada Utsman bin
Affan RA. Dengan keberaniannya, Nailah menahan tebasan pedang tersebut hingga
beberapa jari-jarinya yang sangat indah terputus.
Bagi
Nailah, keselamatan suaminya menjadi prioritas utama. Ia tak peduli jika harus
berkorban nyawa. Walaupun begitu, Nailah adalah seorang perempuan yang sangat
lembut. Ia merasakan sakit yang luar biasa di ujung-ujung jarinya yang
terputus. Ia menjerit, memanggil pembantu laki-lakinya yang bernama Rabah.
Lelaki
satunya ikut mengayunkan pedangnya ke arah Utsman bin Affan RA. Lagi-lagi
Nailah menahan tebasan pedang dengan tangannya yang masih utuh. Beberapa
jarinya yang indah terputus.
Jeritan
Nailah tak mampu meluluhkan hati penyerang yang telah dibutakan oleh kebencian.
Tindakan Nailah justru membuat dia bersikap lebih kejam. Ia mencabut jenggot
Utsman bin Affan RA, memukul kepalanya, lalu menikamnya. Utsman bin Affan RA
diperlakukan begitu keji.
Para
pemberontak bagai kesetanan. Ketika pedang sudah disabetkan ke Utsman, Nailah
dengan kedua tangan yang tak sempurna memeluk suaminya. Ia bersama putri mereka
menutupi tubuh Utsman untuk memberikan perlindungan.
Para
pemberontak makin membabi buta. Nailah dan putrinya menjadi bulan-bulanan,
menjadi luapan amarah. Mereka dipukul dan diinjak. Nailah yang kesakitan pun
berkata, "Sungguh, kalian telah membunuhnya, padahal dia telah
menghidupkan malam dengan Al qur'an dalam rangkaian rakaat." Suara
Nailah tak lagi dianggap. Kebencian, nafsu, dan rayuan setan menyatu dalam diri
pemberontak. Seseorang menyabetkan pedangnya tanpa peduli Utsman sedang
memegang Alquran. Darah mengucur, menetes jatuh. Surah al-Baqarah ayat 137
berbunyi, "Maka Allah memelihara engkau dari mereka."
Nailah
memanjatkan do'a kepada Allah SWT, "Semoga Allah menjadikan tanganmu
kering, membutakan matamu, dan tidak ada ampunan atas dosa-dosamu."
Utsman
bin Affan RA pun wafat di tangan para pemberontak. Sepeninggal Utsman, Muawiyah
bin Abu Sufyan datang kepada Nailah dan melamarnya. Nailah menolak pinangan
tersebut. Muawiyah bertanya, apa gerangan yang membuat Nailah menolak dia.
"Aku
melihat kesedihan ini menyelimutiku seperti pakaian yang menyelimuti diri ini.
Aku takut kesedihanku atas Utsman bin Affan ini akan terulang kepada orang lain
seperti dia. Ini tidak akan terjadi lagi." kata Nailah.
"Tidak
mungkin ada seorang pun yang mampu menggantikan kedudukan Utsman di dalam
hatiku," kata Nailah lagi.
Nailah
wafat sebagai mujahidah, tameng, dan pembela sang Amirul Mukminin ketiga. Ia
menjadi istri setia, bahkan setelah suaminya meninggal dunia. Mencintai bagi
Nailah bukan sekadar romantisme penuh kebahagiaan.
Ia
tulus menerima kekurangan suaminya yang telah uzur dan rela mempertaruhkan
dirinya. Ia juga tak menafikan keindahan cinta dan ajaran yang pernah diberikan
Utsman bin Affan RA. Nailah menyadari, mencintai adalah pekerjaan yang sakral,
berat, penuh godaan dan rintangan. Namun, hanya sedikit orang yang menyadari hal
ini dan terus bertahan.
Sumber Dari : http://khazanah.republika.co.id
0 comments:
Post a Comment