Biasanya
di Barat, adalah anak dan bukan orang tuanya yang menjadi mualaf. Tidak
demikian dengan Aisha dan Phildel, anaknya. Aisha, keturunan Irlandia, suatu
hari memutuskan bahwa dia harus memeluk Islam apapun resikonya. Termasuk,
kemungkinan akan membuat Phildel, putri semata wayangnya, kecewa.
Di
sisi lain, Phildel merasakan hal yang sama. Pencariannya tentang Tuhan,
berujung pada Islam. Berikut kisah keduanya:
Aisha:
Aku dilahirkan dalam sebuah keluarga Katolik Roma di Dublin pada tahun 1960-an.
Sementara Dublin tampak seolah 'terjebak' di abad ke-19, tepat di seberang Laut
Irlandia budaya hippie tumbuh subur di London. Sebagai seorang anak, saya
bertanya banyak pertanyaan selama pendidikan di sekolah biara. Diskusi agama
selain Katolik Roma atau "kejahatan Protestantisme" benar-benar tidak
ada.
Pada
usia 16 tahun aku meninggalkan Dublin dan datang ke London. Aku larut dalam
kebiasaan anak muda yang 'normal' di
kota itu: melakukan kunjungan rutin ke pub dan klub. Tapi aku melihat
teman-temanku selalu depresi.
usia
20-an tahun, aku memutuskan menikah dan melahirkan putri pertamayang jelita,
Phildel. Aku sangat senang tetapi sering merasa seperti sebuah pasak persegi di
lubang bundar; seolah-olah aku masih belum menemukan tempat yang tepat bagiku.
Suatu
hari aku berbicara dengan seorang wanita mengenakan jilbab. Dia bilang dirinya
Muslim dan itu adalah pertama kalinya aku pernah mendengar kata itu. Pada
perkembangan berikutnya, di tempat kerja, saya mengenal beberapa Muslim dan
mereka mulai bercerita lebih banyak tentang Islam.
Suatu
malam aku menemukan diriku berjalan di jalanan dengan Phildel di bawah hujan
dan tak tahu harus kemana, setelah bertengkar hebat dengan suamiku dan kami
diusir. Aku ingat mengangkat mataku ke langit dan memohon pada Tuhan untuk
membantuku entah bagaimana atau memberiku suatu pertanda kalau Dia ada. Entah
bagaimana caranya, kami sampai di sebuah rumah yang ternyata milik perempuan berjilbab
yang pertama kali aku mengenal Islam darinya!
Setelah
menemukan rumah sendiri, aku mulai belajar Islam. Lama aku mempelajarinya,
sebelum akhirnya yakin, Islamlah agama yang pas buatku. Phildel membuatku
maju-mundur untuk bersyahadat, namun akhirnya aku kuatkan hati dan menjadi
Muslim. Aku kini sudah menikah lagi dengan pria Muslim dan memiliki seorang
anak dengannya, Amina namanya.
Phildel,
yang aku besarkan sebagai seorang Katolik Roma sampai perceraianku, tanpa aku
sadari sangat antusias tentang Islam dan mengatakan syahadat sendiri. Dia
kemudian memilih nama Zara. Phildel kini memilih tinggal dengan ayahnya.
Phildel:
ibuku dan aku sangat dekat, tidak ada seorang pun di dunia ini yang aku cintai
selain dia. Pada tahun-tahun menjelang perceraian orang tuaku, kami
menghabiskan lebih banyak waktu di sekitar keluarga Muslim.
Setelah
perceraian kehidupan kami menjadi semakin sulit; pernikahan orang tuaku
mencapai titik yang paling bergolak dan aku lebih dari lega ketika seluruh
cobaan berat itu berakhir. Aku menandai perubahan yang positif dalam diri ibu
dan ayah saya segera setelah mereka berpisah. Saya pikir sekitar waktu ini ibu
saya mengalami pengalaman yang membangkitkan semangat luar biasa di rumah
seorang teman dan kemudian menjadi seorang Muslim.
Aku?
Meskipun aku tidak pernah dipaksa untuk menjadi seorang Muslim, saya menyadari
langkahku menjadi Muslim adalah hasil pengaruh lingkungan. Aku tumbuh di
sekitar keluarga Muslim, maka secara tak langsung pikiranku terpegaruh. Itulah
sebabnya, setelah bersyahadat, aku sempat kembali ke agama lama; hanya untuk
meyakinkanku agama apa sebetulnya yang dipilih hatiku.
Kini
aku tinggal terpisah dari ibu - aku tinggal bersama ayah kandungku - dan
berpikir Islam adalah agama yang indah. Aku senang membantu di masjid dan
berbicara dengan saudara-saudara Muslimku. Kurasa aku hanya ingin mengalami
sesuatu yang membuatku tahu ini adalah arah yang perlu aku ambil, arah yang
benar, yaitu menjadi Muslim.
Sumber Dari : http://www.republika.co.id
0 comments:
Post a Comment