Bagaimanakah
rasanya menjadi seorang putri di lingkungan kerajaan yang hartanya
melimpah ?, bagaimanakah rasanya menjadi salah seorang anak perempuan keluarga kerajaan
yang salah satu kotanya menjadi tujuan untuk beribadah? senang, bangga,
bahagia atau...merana..? ikutilah ceritanya karena Sultana sang putri
menceritakan kisah hidupnya kepada Jean sahabatnya, penulis buku ini.
Orangtua
Sultana adalah anggota kerabat kerajaan Saudi Arabia, sebuah negeri
yang dikendalikan oleh kaum laki-laki karena di negeri ini perempuan tidak
mempunyai suara sama sekali. Putri Sultana (ini adalah nama
samaran karena takut membahayakan diri dan keluarganya) adalah anak
paling kecil dari 10 bersaudara dari istri pertama ayahnya, ibunya adalah
istri pertama dari empat orang istri ayahnya. Saking kayanya sang suami membuatkan 4 istrinya masing-masing 4 istana, yang berada di : Riyadh,
Jeddah, Thaif dan Spanyol, semua istana itu persis sama bentuk, warna
maupun isinya, semua sesuai selera sang suami.
Walaupun
dilimpahi harta, seumur hidupnya Sultana mendambakan kasih sayang sang
ayah yang tak kunjung didapatkan hanya karena dia seorang perempuan. Sejak
kecil Sultana merasakan perbedaan perlakuan ayahnya kepada diri dan
sesama saudara perempuan dengan Faruq kakak laki-laki yang
diperlakukan sangat berlebihan oleh seluruh keluarga terutama oleh
ayahnya. Sultana tumbuh menjadi anak berjiwa pemberontak dan selalu ingin
memperdaya Faruq yang sering bertindak sewenang-wenang.
Perlakuan
kepada anak-laki-laki sangat istimewa apalagi mereka adalah
keluarga kaya raya, apapun yang diinginkan pasti akan diperoleh hal ini
mengakibatkan si anak besar kepala , selalu merasa benar
dan sejak dini sudah merasa lebih tinggi derajatnya dibanding
perempuan.
Ketika Faruq berusia 14 tahun dia sudah dibelikan 4 (empat)
mobil porche oleh ayahnya. Segalanya dapat diperolah dengan mudah. Banyak
diantara pemuda-pemuda negri ini berpenampilan alim tapi ternyata mereka adalah kolektor buku-buku ‘dewasa’,
dan ketika bepergian ke luar negri ( hampir setiap saat dengan mudah
mereka bisa pergi ke luar negri ) mereka akan berpesta alkohol dan sex, yang lebih ‘ajaib’ tempat / nama perempuan yang bisa ‘dipakai’ itu
direkomendasikan oleh AYAHNYA ! Dan walaupun para lelaki ini sudah sering
'bermain' dengan perempuan-perempuan yang sering mereka maki dan cemooh sebagai
pelacur tapi untuk istri haruslah seorang perawan tulen.
Sebaliknya
perlakuan terhadap anak-anak perempuan sangat berbeda, mereka harus
selalu mengalah kepada saudara laki-laki bahkan yang menyakitkan sang ayah pun
hampir tak pernah menyapa mereka. Ketika masih anak-anak mereka
masih leluasa bermain walaupun jika ada mainan atau barang yang diminati oleh
saudata lelaki mereka harus mengalah, namun ketika mulai masa haid
pertama mulailah diterapkan berbagai aturan yang ketat, cara
berpakainpun berubah yakni harus mengenakan abaya (baju longgar hitam yang
menutupi seluruh tubuh) dan muka ditutupi cadar,untuk bersekolah dipersulit,
tidak boleh bepergian sendiri apalagi menyetir mobil sendiri..hukumnya haram.
Sejak saat itu pula mereka dipersiapkan untuk segera menikah, tinggal menunggu
perintah ayahnya yang segera mencarikan jodoh diantara para kerabat,
terkadang dengan pertimbangan keuntungan bisnis, tidak jarang
gadis yang masih belasan tahun ini mendapat jodoh sebagai istri kesekian dari
seorang laki-laki yang sudah seumur ayah atau kakeknya.
Begitupun para istri
tidak bisa bebas bergerak, sumber berita hanya diperoleh dari para suami. Beruntung bagi keluarga kaya seperti mereka yang dikelilingi oleh
para pembantu maka tidak ada pekerjaan atau kegiatan yang bisa mereka
lakukan selain berbelanja, berpesta dengan baju-baju dan perhiasan
mewah ( dipakai dalam abaya dan abaya itu dilepas ketika sesama perempuan
berkumpul ) dan tentunya bergosip tiada henti.
Bagi
perempuan yang dilimpahi kekayaan tapi tanpa aktifitas maka rasa kejenuhan
sudah menjadi persoalan nasional.
Sultana
menikah sekitar thn 1973 ketika dia berumur 16 tahun dengan Karim salah seorang
kerabat kerajaan yang kaya. Nasib Sultana lebih beruntung dibandingkan dengan
perempuan-perempuan disekitar nya , bahkan dibandingkan dengan Sara kakak
perempuan terdekatnya yang menikah sebagai istri kesekian dengan seorang yang
pantas jadi kakeknya dan berakhir dengan perceraian karena mengalami
KDRT. Berbeda dengan Karim yang umurnya tidak terpaut jauh dengan
Sultana dan sepertinya kelakuan dan jalan pikirannya berbeda dengan
kebanyakan laki-laki.
Meskipun
harus mengahadapi kesulitan dari lingkungannya kehidupan perkawinan Sultana dan
Karim yang dikarunia 3 anak pada awalnya cukup berbahagia. Namun
akhirnya apa yang dialami Sultana tidak jauh berbeda dengan perempuan lain,
ketika menderita kanker pada usia 24 thn dan demi keselamatannya
dia tidak dapat melahirkkan lagi, suaminya berniat kawin lagi dengan
alasan ingin menambah keturunan.
Jean Sasson (Pengarang) |
Sultanapun memberontak dengan caranya ..walaupun
tidak jadi dimadu tapi semua sudah berubah , ‘rasa’ yang dulu ada sudah
berbeda. Kemudian penderitaan bertambah ketika dia divonis menderita
penyakit kelamin , penyebabnya adalah ..suaminya sendiri yang ternyata sering
‘bermain’ dengan wanita lain… Pada akhirnya wanita jualah yang
menanggung derita.
Sungguh miris membaca
penderitaan kaum wanita yang berada di negara/wilayah yang didominasi oleh
kekuasaan laki-laki apalagi bila kekuasaan tersebut mengatasnamakan adat
dan agama yang sangat sulit duraikan karena pada kenyataannya sebagian
besar dari mereka baik pelaku maupun korban , beranggapan bahwa memang
begitulah seharusnya..,
Sumber Dari : http://nanniaminilibrary.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment