Sekitar 13 tahun lalu,
Steven Eric Krauss hanyalah seorang pemuda tanggung kebanyakan. Pada 1998, anak
muda yang sedang menjalani masa-masa kuliah itu dilanda kegamangan. Dalam
hatinya tumbuh sebuah keraguan akan kebenaran agama yang tengah dipeluknya
sejak lahir, Kristen Protestan. Kedua orangtua Krauss
adalah pemeluk Kristen Protestan. Meski terlahir dari keluarga Protestan, namun
Krauss mengaku jarang beribadah seperti yang dilakukan pemeluk agama itu. Ia
menjauh dari kegiatan ibadah, karena baginya agama sebagai sebuah institusi,
tidak memberikan apapun dalam kehidupannya.
‘’Sulit untuk mencari
apapun dari agama itu yang bisa saya gunakan untuk kehidupan sehari-hari,”
tulisnya dalam artikel berjudul My journey to Islam – How Malay martial arts
led a theologically dissatisfied American Protestant to Islam. Sejak masa
remaja, Krauss memang sudah merasa tidak puas dengan ajaran Kristen. Ia mengatakan, agama kedua
orangtuanya itu lemah dan kurang mampu memberi penjelasan tentang ketuhanan dan
hubungan antara manusia dengan Tuhan. “Menurut saya, filosofi Kristen itu
sangat bergantung pada sebuah hubungan yang aneh dengan Jesus, yang merupakan
Tuhan, tapi juga manusia,” ujarnya.
Krauss mengaku sulit menerima
cara pandang seorang Kristen yang tidak bisa berdoa langsung pada Tuhan, tapi
justru atas nama Jesus. ‘’Kenapa Tuhan harus mengambil bentuk sebagai
manusia,’’ ujarnya. Pertanyaan-pertanyaan ini yang kemudian mendorongnya untuk
mencari jawaban yang lebih baik tentang Tuhan. Dia lebih mencari nilai
spiritual dari sebuah agama.
Sampailah kemudian ketika
masih duduk di bangku universitas, dia berbagi kamar dengan seorang Yahudi yang
sedang mempelajari pencak silat. Pencak silat yang dipelajari oleh temannya itu
adalah jenis bela diri yang ada di Malaysia. Ketika itu pencak silat tersebut
sangat dekat dengan ajaran Islam. Setiap kali, pemuda Yahudi
itu pulang, dia selalu menceritakan kepada Krauss tentang keunikan silat dan
kekayaan dimensi spiritual yang ada. Dari cerita-cerita itu, akhirnya Steven
merasa tertarik. Suatu Sabtu pagi, dia memilih untuk ikut dengan teman satu
kamarnya itu dalam sebuah sesi latihan pencak silat.
Meskipun pada awalnya dia
belum menyadari bahwa hatinya telah tergetar dengan Islam, Krauss mengakui
latihan silat pertamanya pada 28 Februari 1998 itulah yang mengantarkannya
untuk menjadi mualaf. Ketika itu dia bertemu dengan Cikgu (guru dalam bahasa
Malaysia) Sulaiman. Sang guru silat itulah yang
mengenalkannya kepada Islam. Padahal sebelumnya, agama tersebut tidak pernah
terlintas sedikitpun dalam pikiran Krauss. Merasa semakin tertarik dengan
silat, ia pun meluangkan lebih banyak waktu untuk berlatih dan bertemu dengan
gurunya.
Ia dan teman sekamarnya itu
juga datang ke rumah guru Sulaiman untuk belajar lebih jauh. Pernah, pada musim
panas di tahun 1998, mereka menghabiskan waktu bersama keluarga Sulaiman.
Setiap hari, ia bersentuhan dengan sebuah keluarga Muslim. Ia melihat cara
mereka beribadah, dan gaya hidup seorang Muslim sebenarnya. Hasilnya, pengetahuannya
tentang silat dan Islam pun semakin banyak. Islam menurutnya sebuah agama yang
menjadi bagian dari hidup pemeluknya, hal ini berbeda dengan Kristen yang
memisahkan kehidupan sehari-hari dengan agama.
Awalnya, dia merasa asing
dengan agama Islam. Apalagi ketika itu dia masih menganut paham liberal dan
tidak terlalu tertarik dengan hal-hal yang bersifat dogmatis. Namun,
lama-kelamaan, hal yang dianggap sebagai dogma dalam ajaran Islam itu ternyata
merupakan sebuah kepasrahan kepada Allah. Sebuah cara hidup yang dijalankan
oleh para pemeluknya.
Butuh waktu satu setengah
tahun, atau tepatnya pada 30 Juli 1999, Steven bersyahadat. Dia kemudian
mengambil nama Islam, Abdul-Lateef Abdullah. Dia sadar bahwa budaya Amerika
kemudian datang menjadi tantangan. Kebudayaan negara Adi Daya itu sangat
mengakomodasi nafsu-nafus duniawiah. Di Amerika, kebahagiaan itu
tidak jauh dari konsumsi dan apa yang sudah dipunyai secara materi. Sistem
pasar adalah tolak ukur masyarakat Amerika. Akan tetapi Islam justru
memfokuskan pada cara hidup yang sehat dan positif. Islam sebenarnya bisa
menjadi jawaban bagi permasalahan sosial. Hal inilah yang membedakan Islam
dengan agama yang lain.
‘’Islam juga memberikan
pengetahuan, penjelasan, dan tuntunan dari setiap aspek kehidupan (fisik,
spiritual, mental, finansial, dan sebagainya). Hanya Islam yang memberikan
tujuan hidup yang jelas,’’ papar Abdul-Lateef Abdullah. Sejak menjadi seorang
Muslim, ia akhirnya sadar bahwa Islam benar-benar bisa menjadi pegangan dalam
kehidupan. Apapun yang dikerjakan pemeluknya adalah merupakan cara untuk selalu
mengingat Allah. Cara hidup Islam memungkinkan pemeluknya untuk tetap melakukan
itu setiap saat, mulai dari bangun tidur hingga kembali lagi ke peraduan.
Dengan mengingat Allah,
maka umat Muslim mampu menghindarkan diri dari segala macam tindakan dan
perilaku yang kurang sehat dan cenderung tidak berguna. Mereka sangat fokus
pada energi yang diberikan oleh Allah. ‘’Dengan mengingat Allah kita menjadi
semakin kuat dan sehat di setiap aspek kehidupan kita dan kita akan terhindar
dari pikiran dan perilaku yang tidak baik,’’ ucap Abdul Lateef.
Sama halnya dengan
pengalaman mualaf yang lain, ia mengaku harus menyesuaikan hidupnya dengan cara
hidup Islam. Ia bersyukur, diberi kemudahan untuk mengatasi itu semua itu.
Sehingga, Abdul Lateef tetap bisa hidup di antara masyarakat Amerika yang lain,
namun tetap memegang teguh ajaran Islam.
Begitu pula dengan
keluarganya. Ketika pertama kali diberitahu tentang keputusannya masuk Islam,
keluarga dan teman-teman dekatnya mulai menanyakan banyak hal dan sangat
khawatir dengan kehidupannya. Akan tetapi, mereka justru tidak memandang
keputusan itu sebagai sesuatu yang negatif. Dengan penjelasan yang panjang dan
mendalam, akhirnya mereka bisa mengerti.
Ia benar-benar terpikat
dengan kebenaran dan kesempurnaan agama Islam.
*****
Hikmah Dari Sang Guru
Steven Eric Krauss
terbilang beruntung. Untuk menghadapi keluarga dan pertanyaan banyak orang
tentang Islam, ia tak pernah merasa bingung. Krauss memiliki seorang guru agama
yang setiap saat selalu siap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
orang-orang di sekelilingnya tentang seluk-beluk Islam. Selain merasa siap dengan
setiap jawaban, Krauss menjadi semakin mantap dengan tata cara ibadah wajib
yang harus dia lakukan setiap hari. Baginya, guru adalah sosok yang
berpengalaman dan memiliki pengetahuan yang luas. Seseorang mualaf yang baru
belajar tentang Islam, kehadiaran guru itu sangat penting.
Di Amerika, kebanyakan para
mualaf lebih senang belajar tentang Islam secara mandiri dengan menonton video
atau membaca buku. Mereka merasa bisa serta-merta mengaplikasikan Islam dengan
struktur kebudayaan barat. Sebenarnya, jika tanpa pendampingan yang benar, maka
dikhawatirkan akan terjerumus pada pemahaman yang kurang tepat.
Atau justru terjebak dengan
pemahaman yang berpaku pada ego pribadi, sehingga berujung pada kebingungan.
Islam, bagi Krauss, bukan sebuah agama yang bisa diinterpretasi sendirian.
Apalagi bagi seseorang yang baru saja memeluk Islam. Perlu tuntunan dari
seorang guru yang memang benar-benar mengerti tentang Islam. Sejak berabad-abad yang
lalu, Islam sudah selayaknya diajarkan melalui seorang ulama atau guru yang
memang memiliki pengetahuan yang luas. Lewat cara inilah ajaran Islam bisa
disampaikan secara benar. Menurutnya, umat Islam tidak bisa mengerjakan ibadah
tanpa ilmu dan sebaliknya.
‘’Guru juga bisa menjadi
contoh kepada para mualaf bagaimana sebanarnya akhlak yang baik itu, melalui
cara hidup mereka,’’ paparnya. Menurutnya, sangat baik bagi seseorang yang baru
berkenalan dengan Islam untuk melihat bagaimana guru mereka mengimplementasikan
Islam dalam kehidupan. Mulai dari cara shalat dan
cara beribadah yang lain. Termasuk perilakunya. Namun, menurut Krauss, saat ini
juga banyak orang yang mengaku sebagai imam atau syekh, akan tetapi mereka
hanya memiliki pengetahuan yang sedikit tentang Islam.
‘’Jadi jangan mudah
terjebak dengan embel-embel imam atau syikh dalam pencarian seorang guru,’’
paparnya mengingatkan.
Menurut dia, mencari guru yang tepat adalah
suatu hal yang sangat penting. Implementasi dan pemahaman seorang mualaf, kata
dia, tergantung gurunya. Islam adalah cara hidup yang harus dilakukan setiap
saat dalam kehidupan.
0 comments:
Post a Comment