Pantai Tanjung Menangis |
Tanjung
menangis merupakan nama tanjung yang berada di bagian timur pulau Sumbawa. Pada
zaman dahulu, putri dari Sultan Samawa terjangkit penyakit yang sangat aneh,
tak ada seorang pun di seantero tanah Samawa yang dapat menyembuhkannya. Sultan
Samawa telah melakukan berbagai cara demi menyembuhkan putrinya. Dia telah
berkunjung ke rekan-rekannya sesama pemimpin, yaitu kepada sultan Dompu, dan sultan Bima untuk mencari sandro (Tabib) sakti yang dapat menyembuhkan putrinya, namun hasilnya tetap nihil. Bertahun-tahun tuan puteri mengidap penyakit aneh tersebut, namun belum ada orang ataupun sandro yang mampu menyembuhkannya.
Akhirnya Sultan menggelar sayembara, barangsiapa bisa menyembuhkan
putrinya, Apabila dia perempuan maka akan dijadikan sebagai anak angkat namun
jika lelaki akan dijodohkan dengan Sang Putri. Sandro atau dukun dari berbagai
penjuru Tanah Samawa berlomba untuk menyembuhkan sang putri bahkan Sayembara
ini menyebar hingga ke pulau Sulawesi. Telah banyak sandro yang mencoba
mengikuti sayembara ini namun belum seorang pun yang berhasil menyembuhkan tuan
putri.
Suatu hari, datanglah seorang kakek tua renta ke kediaman Datu Samawa.
Dia berasal dari negeri Ujung Pandang (Sulawesi) dan memperkenalkan dirinya
dengan nama Zainal Abidin. Dia telah mendengar kabar tentang penyakit aneh yang
diderita tuan putri dan ingin mencoba mengobati tuan putri bila Tuhan Yang Maha
Kuasa mengijinkan. Dengan kuasa Allah Taala, melalui tangan serta pengetahuan
yang dimiliki Zaenal Abidin, tuan putri pun sembuh seperti sedia kala.
Sesuai dengan janjinya, tibalah waktunya bagi Sultan Samawa untuk
membayar janji kepada Zaenal Abidin yang telah menyembuhkan putrinya. Seperti
yang telah beliau janjikan, beliau harus menikahkan putri beliau dengan Zaenal
Abidin. Namun, karena melihat fisik Zaenal Abidin yang sudah tua renta dan
bungkuk pula, Sultan Samawa merasa tidak rela untuk menikahkan putrinya dengan
Zaenal Abidin. Sultan Samawapun akhirnya merubah hadiah dari sayembara. Sultan
Samawa mempersilahkan Zaenal Abidin untuk mengambil harta sebanyak-banyaknya,
berapapun yang diinginkan olehnya, asalkan Zaenal Abidin bersedia untuk tidak
dinikahkan dengan tuan putri.
Zaenal Abidin merasa sangat terhina dengan sikap Sultan. Beliau menolak
untuk mengambil sepeser harta pun dari istana. Dengan hati teriris, ia pun
pulang kembali ke Ujung Pandang menggunakan sampan kecil yang dilabuhkan di
sebuah tanjung. Putri Sultan Samawa merasa iba melihat kekecewaan di mata
Zaenal Abidin, ia pun menyusul Zaenal Abidin ke tanjung tersebut. Saat putri
Sultan Samawa tiba di pelabuhan, Zaenal Abidin ternyata sudah dalam perahu dan
melabu sampannya. Atas kekuasaan Allah, Zaenal Abidin yang tua renta tersebut
berubah menjadi pemuda yang tampan tiada taranya. Melihat hal tersebut, putri
Datu Samawa menangis, menyesali keputusan yang diambil ayahnya serta menangisi
betapa tersiksa rasanya ditinggal seseorang yang baru ia cintai.
Sementara sambil berlayar Diatas perahu Zaenal Abidin, pemuda sakti nan
tampan itu menembangkan sebuah lawas atau puisi :
Kumenong si sengo sia intan e (Ku mendengar panggilanmu wahai putri)
Leng poto tanjung mu nangis (Diujung Tanjung kamu menangis)
Kupendi onang kukeme. (Aku kasihan namun tiada Daya)
Sambil menangis, putri berlari menyusul sampan Zaenal Abidin hingga
tengah laut tanpa menyadari ia mulai tenggelam. Hal ini menyebabkan Tuan Putri
Sultan Samawa meninggal di tengah laut sambil menangis. Akhirnya, hingga kini
tanjung tempat dimana putri dan Zaenal Abidin berpisah tersebut dinamakan
Tanjung Menangis untuk mengenang kisah tragis antara kedua insan tersebut.
0 comments:
Post a Comment