Cinta Beda Keyakinan (Ilustrasi) |
“Hubungan kami sudah pada level tak mungkin
dilanjutkan tapi diberhentikan pun tak sanggup.”
Sekalimat pesan masuk ke
ponselku saat aku sedang duduk santai di Bandara Soekarno Hatta. Aku yang lagi
bengong memantau hilir mudik penumpang, merenung sejenak membaca pesan sahabat
sekolahku ini.
Kawanku ini, seorang perempuan.
Dulu dialah yang mendengarkan berbagai kisah
cinta monyetku. Naksir teman sekelas, ngasih nasihat ngehadapin cewek sampai
menjadi comblang dengan gebetanku. Sebaliknya, aku juga menjadi tempat sampah
saat dia berantem dan punya masalah dengan pacarnya dulu.
Sampai awal kuliah, aku masih sering
mendengarkan kisah cintanya yang selalu berakhir tragis. Semester makin besar
kami terjebak pada rutinitas masing-masing dan mulai saling melupakan. Pada
akhirnya hidup kami berjalan di atas jalannya masing-masing.
Itu sudah hampir delapan tahun yang lalu.
Aku tersadar sudah bertahun-tahun kami nggak
saling sapa. Bahkan untuk menanyakan kabar atau mengucapkan selamat ulang
tahun. “Enam tahun? Tujuh tahun?” Aku bertanya padanya soal lenyapnya
komunikasi diantara kami berdua. Aku merasa berdosa. Rupanya sejak sekian lama
kawanku ini tak punya orang yang bisa dipercaya untuk bercerita
Kawanku kemudian bercerita tentang kisah
cintanya. Kali ini yang ketiga aku ketahui. Dia bertemu dengan seseorang karena
menyukai band yang sama. Nyambung saat diskusi lalu jadian karena saling
menyayangi. Pertemuan-pertemuan yang intensif adalah candu dan kemudian mereka
terjebak dalam hubungan yang saling membutuhkan.
Semua berjalan baik-baik saja. Hingga kemudian
mereka menemukan satu selaput yang mengganjal hubungan mereka hari ini: agama.
Tidak ada yang bersedia mengalah.
Dulu mereka berprinsip, “Jalani saja dulu, yang
bakal terjadi nanti kami pikirkan nanti.” Apa yang rencana untuk dipikirkan
dulu rupanya menjadi beban hari ini. Mereka rupanya hanya menunda masalah
karena perjalanan sudah terlampau jauh dan perasaan sudah terlampau dalam.
“Kamu punya opsi apa?” Aku bertanya.
“Barangkali ini yang namanya masih sayang tapi
mesti putus.”
Aku diam mendengar jawabannya.
Aku selalu kagum pada mereka yang menjalani
hubungan beda agama. Mereka yang bertahan pada hubungan ini meyakinkanku bahwa
kekuatan cinta mengatasi perbedaan apapun. Agama adalah hal fundamental yang
membentuk watak dan perilaku kita. Aku percaya ada nilai-nilai universal yang
dibawa semua agama. Tetapi dalam prakteknya, cara untuk mencapai nilai
universal itu tetap saja berbeda. Cara inilah yang kemudian membentuk sudut
pandang setiap dari kita. Dalam konteks ini, antara kawanku dan pacarnya.
Soal cinta beda agama, aku hanya berani
berkoar-koar dan menuliskannya dalam blog. Pengalaman sih nol besar. Tapi aku
mengamati dari dekat, mereka yang menjalani hubungan beda agama. Mereka adalah
orang yang teguh dan ulet. Setidaknya untuk memperoleh restu dari kedua orang
tua masing-masing. Cinta beda agama mungkin tak menjadi apa-apa jika tak ada
beban membakukan hubungan ke jenjang pernikahan. Pembakuan hubungan itu akan
berbenturan agama, keluarga dan negara.
Sialnya (atau untungnya?), beberapa kawan yang
menjalani hubungan beda agama bisa mempertahankan hubungan dengan sangat lama.
Perbedaan yang terentang membuat mereka saling menguatkan dan mengingatkan.
Pada akhirnya rasa senasib sepenanggungan adalah salah satu kiat ampuh mengapa
sebuah hubungan bisa bertahan lama. Ketika perjalanan sudah terlampau jauh,
semakin tak ada waktu untuk kembali ke titik awal. Tapi itulah, mencintai
adalah menyerahkan diri untuk disakiti, dengan kesakitan-kesakitan yang manis.
Sumber Dari : http://ruangkata.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment