Segelas
air putih terletak di meja kayu. Lelaki itu mengangkatnya untuk terakhir kali.
Diteguk habis. Sejak kemarin siang belum ada satu butir nasipun yang singgah di
perutnya. Hanya air putih. Itupun hanya air sumur di belakang. Kata orang air
itu kotor. Tidak layak untuk diminum.
Tapi
apakah orang masih bisa berpikir kesehatan, higienis atau tidak, ketika tidak
ada lagi pilihan? Tadi pagi dia hanya memanasi air itu dengan alat pemanas
kecil yang diperolehnya beberapa waktu lalu dari seseorang.
Bagaimana
dengan dua anak dan istrinya? Dihela nafas panjang. Sejak kemarin persediaan
beras sudah habis. Mau hutang pada tetangga sudah tidak mungkin lagi. Sudah
banyak tetangga yang dimintai tolong untuk meminjaminya uang atau beras.
Satupun belum ada yang dia bayar. Dia malu bila harus datang lagi ke salah satu
dari mereka untuk meminjam uang atau beras.
Lelaki
itu berjalan keluar. Berdiri diambang pintu rumah kontrakkan. Sebuah
pintu yang sempit dari sebuah kamar ukuran 3X4. Inilah rumahnya. Satu
dari sekian deretan rumah petak. Dilihatnya beberapa anak bersiap-siap
berangkat ke sekolah.
Maria, anaknya yang tertua masih duduk di kelas II SD.
Dia baru selesai mandi di kamar mandi umum. Sebentar
lagi dia akan berangkat ke sekolah juga. Lelaki itu menghela nafas kembali.
Apakah Maria akan bolos sekolah lagi? Keluh hatinya.
Kemarin
Maria sudah bolos 3 hari. Bukan karena sakit atau malas, melainkan tidak ada
uang saku untuk naik angkot. Sekali jalan dia harus bayar Rp 1000.
Kalau
pergi pulang sudah Rp 2000. Darimana dia dapat uang Rp 2000?
Sekolah
Maria cukup jauh. Dulu dia sengaja menyekolahkan Maria di sekolah ini, sebab
dia ingin anaknya memperoleh pendidikan yang bermutu. Ketika masih bekerja
semua bisa diatasi. Setelah tidak bekerja dia sudah dua kali memohon keringanan
dari kepala sekolah, sekarang Maria tinggal membayar separo dari uang
sekolahnya semula. Namun ini masih sangat terasa berat sekali. Sekarang sudah 2
bulan Maria belum membayar uang sekolah.
Pernah
dia meminta bantuan pada seseorang ternyata tidak diberi, melainkan mendapatkan
jawaban yang sangat menyakitkan hati. Dengan angkuh dia mengatakan kalau memang
tidak mempunyai uang mengapa disekolahkan disana?
Siapakah
yang tahu bahwa dia akan ter PHK? Siapakah yang tidak ingin menyekolahkan
anaknya di tempatnya. Sekali lagi lelaki itu menghembuskan nafas kesal. Dia
kesal pada diri sendiri.
Mengapa
tidak bisa menemukan pekerjaan? Sudah hampir 6 bulan dia menganggur. Semula dia
bekerja di sebuah perusahaan yang cukup baik. Tapi karena pemimpinnya korupsi,
maka perusahaan menjadi bangkrut. Semua karyawan di PHK tanpa pesangon. Mau
menuntut pada pemilik perusahaan tampaknya tidak mungkin sebab dia sekarang
masuk dalam penjara. Hartanya disita. Dia dituduh menggelapkan uang milik
seseorang dan terjerat hutang di sebuah bank.
Selama
6 bulan ini sudah banyak kertas lamaran dibuat. Sudah banyak perusahaan
dimasukinya, tapi semua jawabannya sama. Tidak ada lowongan atau yang lebih
agak halus tunggu panggilan. Satu demi satu apa yang dimilikinya dari hasil
bekerja sekian tahun telah dijualnya. Rumah dari kontrakan satu rumah menjadi
sebuah kamar. Makan pun kini sudah semakin susah. Setiap hari hanya berpikir
kepada siapa dia akan hutang lagi?
Dilihatnya
matahari yang cerah menyinari genting yang berjajar rapat.
Apakah
kalau dia pulang ke daerah asal semua akan beres? Apakah disana ada pekerjaan?
Bukankah dia sampai merantau ke kota sebab di daerahnya tidak ada lagi yang
bisa dijadikan peganggan untuk hidup? Orang tuanya hanya mewariskan sepetak
tanah gersang yang sangat minim hasilnya. Di desa dia akan semakin tidak
berdaya. Belum lagi pendidikan anak-anaknya. Pasti disana tidak akan terjamin.
Lelaki
itu terus termenung di depan pintu. Mau kemana lagi hari ini?
Apakah
yang bisa dimakan hari ini? Dia melihat Maria sudah berpakaian seragam. Hatinya
pedih kalau melihat Maria dengan pakaian seragam dan siap berangkat sekolah.
“Lebih baik kamu tidak masuk saja hari ini.” Kata lelaki itu sambil menatap
Maria. “Aku malu diolok-olok temanku kalau aku bolos sekolah.” Maria mulai
menangis minta sekolah. Hati lelaki itu bagai diremas. Hancur luluh. Semua kata
tercekat ditenggorokan.
Maria
semakin keras menangis. Dia ngotot mau sekolah sebab malu diejek teman-teman di
kampung dan di sekolah. Istrinya datang dari sumur. Dia marah ketika mendengar
Maria menangis. Maria yang sudah sedih hati semakin sedih. Tangisnya semakin
keras. Istrinya merasa tidak didengarkan maka dia mulai berteriak-teriak agar
Maria berhenti menangis. Lelaki itu hanya mampu terdiam di ambang pintu. Teriakan
istrinya dan tangis Maria seperti dua besi yang menjepit kepalanya sehingga mau
pecah.
Semua
tidak salah. Istrinya pun jengkel akan situasi hidup yang membuat tegang. Maria
yang belum faham dengan kesulitan orang tuanya hanya mampu menangis. Kamar menjadi
ribut. Istrinya mulai mengomel panjang lebar.
Suaranya
keras menusuk jiwa. Lelaki itu hanya membisu. Di dekatinya Maria dan digendong
keluar.
Dia
tidak ingin anaknya semakin disakiti dengan perkataan istrinya.
Mereka
tidak pernah menuntut. Makan hanya dengan nasi dan garampun mereka diam saja,
meski banyak temannya makan nasi dengan lauk dan sayur. Mereka jarang sekali
meminta jajan. Mereka seolah faham dengan aneka kesulitan yang dialami oleh
orang tuanya. Kini dia menangis sebab sudah tidak tahan diolok-olok temannya
sebagai pemalas yang suka membolos. Namun dia tidak mungkin menerangkan pada
Maria tentang kesulitan hidupnya.
Maria
terus menangis dalam gendongan. Dia meronta-ronta ingin turun dan berangkat ke
sekolah. Lelaki itu berjalan ke tetangga siapa tahu masih ada orang yang
berbaik hati mau memberi pinjaman uang Rp 2000 untuk ongkos angkot. Seorang tetangga
akhirnya menyodorkan dua lembar ribuan. Maka dengan segala bujuk rayu akhirnya
Maria mau diam dan bersiap ke sekolah.
Namun
dia belum makan. Di rumah hanya ada air putih dari sumur. Apakah dia akan kuat
belajar sampai siang nanti?
Ingin
sekali lelaki itu berteriak untuk melepaskan beban di hatinya. Dia bisa gila
melihat semua ini setiap hari. Bukan dia malas. Dia punya ijasah SMA.
Dia
sudah berusaha mencari pekerjaan meski hanya kuli bangunan. Namun pada jaman
seperti ini, sebuah lowongan sudah dinanti sekian ratus pengangguran.
Faktor
usia dan ijasah membuatnya selalu kalah bersaing.
Lelaki
itu melambaikan tangan pada Maria yang berlari menuju jalan besar untuk
mencegat angkot. Lelaki itu berjalan gontai menuju rumahnya yang kecil.
Sayup-sayup dia mendengar seorang sedang membacakan berita di radio.
Dengan
jelas sekali dia mendengar bahwa terdakwa penggelapan uang negara sebesar 40 M
dibebaskan. Ingin rasanya mengambil batu dan melempar radio itu. Ini sepertinya
sebuah penghinaan pada kaum miskin.
40 M
bukan uang yang sedikit. Dan mereka mengatasnamakan rakyat menggunakan uang itu
untuk memperkaya diri. Memang suara kelaparan dan kegelisahan yang muncul dari
dalam dirinya belum menggema di masyarakat. Namun apakah dia diberi ruang dan
kesempatan untuk bersuara? Kalau toh sudah bersuara apakah akan membuka hati
para koruptor? Apakah ada rasa peduli dari mereka?.
Lelaki
itu hanya salah satu dari jutaan masyarakat yang hidup jauh dibawah garis
kemiskinan. Dia hanya bagian sebuah masyarakat yang sering dihina oleh sikap
orang berkuasa yang dengan wewenang-wenang menggunakan uang rakyat demi
kepentingan pribadi. Lelaki itu berjalan gontai. Perutnya sudah sangat lapar.
Dia harus keluar untuk mencari pekerjaan. Masihkah ada pintu terbuka untukku
sehingga aku bisa menyekolahkan anak-anakku? Siang semakin terik membakar hati
yang gersang…
Sumber Dari : https://ervakurniawan.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment