Tak
banyak orang yang mengenal nama Sayyidina Robbibinur namun bagi sebagian warga
Sukerejo, Kendal namanya sudah tak asing lagi. Sayyidina Robbibinur diyakini
memiliki banyak karomah sehingga dikenal sebagai Wali Biru. Salah satu
karomahnya yaitu bisa menandingi kesaktian Syekh Siti Jenar.
Sayyidina
Robbibinur merupakan seorang ulama yang berasal dari Yaman tepatnya dari Hadra
Maut. Sayyidina Robbibinur adalah cucu ke 26 dari Rosulullah Muhammad SAW.
Sekitar
tahun 1417 M, Sayyidina Robbibinur bersama saudara – saudaranya sesama Habaib,
seperti: Sayyidina Shonhaji (Mbah Bolong - Ampel), Sayyidina Ahmad Faqih (Mbah
Kaliagung – Tirem – Gresik), Sayyidina Silbani (Wales – Blado), Sayyidina
Laduni (Kebagusan – Jeporo) berangkat dari Yaman ke tanah Jawa.
Keberangkatan
mereka atas petunjuk Sayyidina Abdul
Majid yang mendapat petunjuk dari Allah SWT, agar berguru kepada Sayyidina Ali
Rohmatullah atau Sunan Ampel di Ampel Delta Surabaya.
Sesampainya
di Ampel, rombongan yang dipimpin Sayyidina Robbibinur diterima Sunan Ampel
dengan senang hati. Bahkan
semua fasilitas sudah disiapkan. Mereka sangat terkejut ketika Sunan Ampel
memberitahukan kepada rombongan bahwa dia sering kontak dengan Sayyidina Abdul
Majid.
Kemudian
Sayyidina Robbibinur beserta saudaranya belajar dengan rajin, tekun dan penuh kesabaran.
Sesama santri dia tidak mau dibedakan atau membeda bedakan, tidak melihat
keturunan, golongan, bangsa, yang penting seiman. Karena
kemampuanya yang sangat tinggi dan semangat belajar yang besar serta dilandasi
sikap sopan santun itulah yang membuat Sayyidina Robbibinur sangat menonjol
diantara sesama santri.
Selain
menguasai ilmu agama lahir batin juga menguasai ilmu kanuragan, tata negara dan
tataperang, perdagangan juga pertanian.
Karena
itulah Syekh Nurhadi (Sunan Bungkul – Surabaya) ingin menjadikanya menantu.
Dengan seizin Sunan Ampel akhirnya menjadi menantu Sunan Bungkul dan dikaruniai
putra yang bernama Sayyidina Soleh atau Mbah Soleh. Mbah Soleh oleh ayahnya
disuruh mengabdi kepada Sunan Ampel sampai wafat.
Mbah
Soleh diyakini pernah hidup mati sampai sembilan kali dan dimakamkan didepan
Masjid Ampel – Surabaya. Lalu
Sayyidina Robbibinur mendapat tugas dari Sunan Ampel untuk berdakwah keliling
Jawa Timur. Dengan
penuh semangat, tekun dan sopan santun membuat dakwahnya berhasil dimana –
mana, sehingga hal ini didengar oleh para wali dan ulama, bahkan Sultan Demak
Raden Fattah juga mendengarnya.
Ketika
itu Kasultanan Demak sedang terusik oleh kegiatan penyebaran faham Syeh Siti
Jenar dan Kiageng Kebo Kenongo yang dirasa menyimpang dari Syariat Islam. Setelah
para wali mendapat petunjuk dari Allah SWT, kemudian mengadakan musyawarah yang
dipimpin oleh Sunan Giri.
Hasil
musyawarah, yang bisa mengatasi kegiatan Syeh Siti Jenar adalah Sayyidina
Robbibinur. Kemudian
Sayyidina Robbibinur dipanggil dan datang ke Kasultanan Demak untuk mendapat
tugas membendung ajaran Syeh Siti Jenar.
Sayyidina
Robbibinur berangkat ke daerah Rawa Pening/Banyu Biru dan membikin pesantren
sebagai sarana untuk memperlancar tugas dan sarana dakwah. Namun Syekh Siti
Jenar juga mendirikan Padepokan di sebelah timur Banyu Biru. Dengan
kemampuan lahir batin yang mumpuni dari Sayyidina Robbibinur, membuat Syeh Siti
Jenar kesulitan mengembangkan ajarannya bahkan muridnya semakin berkurang.
Karena
bertempat di Banyu Biru itulah maka Sayyidina Robbibinur dijuluki Wali Biru
atau Kiai Biru atau Wali Biru. Ketika
itu Mbah Wali Biru juga mempunyai dua orang murid istimewa yaitu Sunan Bonang
dan Patih Wonosalam (Patih Kasultanan Demak).
Setelah
Syeh Siti Jenar diadili para wali, Mbah Wali Biru diminta Raden Fattah dan
persetujuan Wali Sembilan untuk menjadi penasihat Kasultanan Demak.
Kemudian
Mbah Wali Biru ditunjuk untuk berdakwah di Kadipaten Kaliwungu. Setelah pindah
di Kaliwungu Mbah Wali Biru mendirikan Pesantren di daerah Geseng – Kendal.
Karena
kemampuan yang tinggi dari Mbah Wali Biru akhirnya Kaliwungu menjadi pusat
terbesar pendidikan Agama Islam se Negara Kesultanan Demak Bintoro. Santrinya
tidak hanya dari wilayah Kasultanan Demak bahkan ada yang dari luar negeri.
Mbah
Wali Biru berdakwah di Kaliwungu selama 9 tahun dan menghasilkan ulama’ – ulama’
besar yang menyebar di wilayah Kasultanan Demak.
Pada
zaman Kesultanan Demak nama Selokaton adalah Selotlangu yang merupakan wilayah
Kepatihan atau Kawedanan. Setelah
zaman Kasultanan Surakarta nama Selotlangu dirubah menjadi Selokaton. Mbah Wali
Biru sudah merasa sangat tua dan berkeinginan untuk hidup didaerah yang sepi.
Kebetulan
waktu itu Patih Selotlangu mohon bantuan ulama kepada Adipati Kaliwungu agar
berdakwah di wilayahnya. Sebab masyarakat Selotlangu kurang mengenal Agama
Islam, bahkan sebagian besar rakyatnya masih berkepercayaan Animisme dan
Dinamisme.
Akhirnya
Mbah Wali Biru bersama beberapa santrinya yang dibawa dari Banyu Biru dan
Kaliwungu berangkat ke Selotlangu setelah mendapat izin dari Adipati Kaliwungu.
Patih
Selotlangu memberi daerah perdikan untuk didirikan padepokan kepada Mbah Wali
Biru yang berupa hutan.
Para
santri kemudian membabat alas yang dipimpin oleh Mbah Wali Biru, yang kemudian
diberi nama Padukuan Biron. Setelah
Padepokan berdiri Mbah Wali Biru mulai menyusun strategi berdakwah dengan cara
mengajarkan ilmu kesaktian. Karena dengan cara itu menarik minat masyarakat
Selotlangu.
Awalnya
Mbah Wali Biru memperagakan ilmu silat yang ditonton oleh rakyat Selotlangu di
padepokan, akhirnya mereka berminat dan banyak yang mendaftarkan diri untuk
belajar silat.
Bila
ikut silat saratnya hanya dengan berwudhu, dan bila mereka sudah menguasai ilmu
dasar silat maka dikukuhkan dengan membaca syahadat.
Kalau
ingin bertambah sakti para murid disuruh membaca mantra dan bergerak menirukan
gerakannya Sebenarnya yang dikerjakan oleh Mbah Wali Biru adalah memberikan
contoh tatacara mengerjakan Salat.
Setelah
mereka bisa baru dijelaskan bahwa yang mereka kerjakan itu adalah salat yang
wajib dikerjakan bagi setiap orang Islam. Dalam waktu singkat padepokan
berkembang dengan pesat dan santrinya dari mana – mana.
Atas
seizin Sultan Demak, Para Wali, Mbah Wali Biru menetap di Selokaton sampai
wafat. Adapun istri dan anaknya jauh sebelumnya sudah wafat dan dimakamkan di
Surabaya. Karena Mbah Wali Biru wafat dalam usia 155 tahun dan dimakamkan di
sekitar Padepokan Pesantren Biron –
Selokaton.
Salah
satu ulama di tanah Jawa KH Siroj – Payaman – Magelang pada 1954 mengatakan
ketika sedang ngaji dia kedatangan sosok Mbah Wali Biru. Kemudian
KH Siroj menceritakan jika Mbah Wali Biru berpesan kepadanya, "Apabila
suatu saat nanti Tanah Biru keluar asapnya, Banyu Biru keluar candinya, maka
saat itulah makam dia (Wali Biru) dirawat oleh anak cucu,”. Lalu pada 1987 apa
yang dipesankan oleh Wali Biru itu terjadi dan nyata, yaitu Tanah Biru (Dieng –
Wonosobo) berhari hari keluar asapnya, Banyu Biru (Rawa Pening – Ambarawa)
keluar candinya, dan di tahun itu juga ditemukan makam Wali Biru di Biron,
Selokaton, Sukorejo, Kendal.
Sejak
itulah makam dibangun dan dirawat bersama – sama oleh Jamaah Alkaromah dan
warga masyarakat Selokaton sampai sekarang.
Sumber Dari : http://daerah.sindonews.com
0 comments:
Post a Comment