Dahulu
kala, hiduplah seorang pemuda yang bernama Qais. Ia anak tunggal dari seorang
kepala suku yang terkemuka. Qais tampan, gagah dan dicintai semua orang. Ia
juga memiliki segudang keterampilan, tetapi hanya syair yang paling ia gemari.
Setelah
cukup umur, Qais bersekolah di sekolah yang paling prestisius di zamannya.
Hanya mereka dari keluarga terpandang yang dapat bersekolah di sana, termasuk
sang putri dari kepala suku tetangga, Laila. Cantik jelita, ramah mempesona.
Banyak yang melamarnya, tapi hanya pulang dengan tangan hampa.
Takdir
telah ditetapkan, Qais dan Laila ternyata teman sekelas. Mereka langsung saling
mencinta sejak pandangan pertama. Percikan cinta berubah menjadi gelora
membara, membuat sekolah yang mulanya tempat belajar menjadi jumpa sang
kekasih.
Masyarakat
menggunjing, perihal Qais dan Laila yang semakin menjadi-jadi. Dunia seakan
milik berdua, menafikan segala eksistensi lain di sekitarnya. Orangtua Laila
yang malu, menarik anaknya dari sekolah, menyisakan Qais yang hampa tanpa
belahan jiwa. Ia menggila, meninggalkan rumah dan sekolah demi mencari sang
pelita. Syair-syair mengiringi rasa rindu dan gundah, membuat orang-orang di
sekitar berpikir, “Qais sudah gila (Majnun)!”
Beberapa isi syair Qais untuk Laila:
Beberapa isi syair Qais untuk Laila:
“Mereka Jauhkan aku dari rumah Layla,Hatiku pun mendampingi penghuni rumah itu,Adakah jalan bagiku dan baginya menuju cintaAndaikan semua air susu membeku untuk dituangkan.Lantaran kasihnya lah, ia kan mencair dan mengalir untukku. ”
“Bila dekat rumah (Layla), aku merasa terbebani,tetapi bila aku jauh darinya aku merasa sedih,sehingga dekat maupun jauh tidak bahagia dan terus meronta.Bila dia janji, cintaku kian menggebu menantinya,bila tidak janji aku mati menanti janjinya,sehingga jauh maupun dekat aku teringankan.Namun, belum menyembuhkan apa yang kami rasakan,sungguhpun demikian dekat dengannya lebih baik ketimbang jauh darinya.”
Majnun kini tinggal di puncak bukit, dekat desa Laila. Semuanya demi memuaskan rindu terhadap sang kekasih. Berbulan-bulan lamanya, ia kedatangan tamu juga, teman dekatnya. Mereka yang peduli terhadapnya, membantu Majnun untuk mempertemukannya dengan Laila.
Demi
cinta, segalanya dilakukan, termasuk menyamar menjadi pelayan wanita dan
menyusup ke dalam kediaman sang gadis tercinta. Laila yang merasakan getaran
batin Majnun yang menggebu-gebu, segera menghias diri dengan pakaian indah nan
menawan. Benar saja, ia akhirnya bertemu lagi dengan sang pangeran hati. Tak
perlu kata, degup jantung sudah dapat berbicara. Kedua mata mereka saling
merekam keindahan dari pelabuhan cintanya. Sayang, sang penjaga tiba-tiba
datang dan memaksa mereka pulang. Orang tuanya pun memperketat penjagaan,
menjauhkan sang malam dari rembulannya.
Majnun
semakin gila. Orangtuanya berniat untuk menghiburnya dengan wanita-wanita
cantik lainnya, tapi justru sia-sia. Majnun pun kabur dari rumah dan tinggal di
alam bebas, demi hidupnya, demi cintanya. Di sebrang sana, Laila semakin gundah
gulana. Terpenjara dalam kamar, hanya dapat bersahabat dengan sepi dan
mencintai yang tak tampak.
Suatu
ketika, seorang bangsawan yang terkemuka melihatnya di taman. Serta merta
hatinya segera tunduk pada kecantikannya. Orangtua Laila yang mengetahuinya,
segera melangsungkan pernikahan keduanya. Tentu, Laila menolak dengan sejuta
alasan, tapi keputusan telah ditetapkan dan mereka berdua pun menikah.
Kerabat dan handai- taulanku mencelaKarena aku telah dimabukkan oleh diaAyah, putera- putera paman dan bibikMencela dan menghardik akuMereka tak bisa membedakan cinta dan hawa nafsuNafsu mengatakan pada mereka, keluarga kami berseteruMereka tidak tahu, dalam cinta tak ada seteru atau sahabatCinta hanya mengenal kasih sayangTidakkah mereka mengetahui?Kini cintaku telah terbagiSatu belahan adalah dirikuSedang yang lain ku berikan untuknyaTiada tersisa selain untuk kamiWahai burung- burung merpati yang terbang diangkasaWahai negeri Irak yang damaiTolonglah aku !Sembuhkan rasa gundah- gundah yang membuat kalbu tersiksaDengarkanlah tangisankuSuara batinkuWaktu terus berlalu, usia makin dewasaNamun jiwaku yang telah terbakar rinduBelum sembuh juaBahkan semakin parahBila kami ditakdirkan berjumpaAkan kugandeng lengannyaBerjalan bertelanjang kaki menuju kesunyianSambil memanjatkan doa- doa pujian kepada Allah SWTYa Raab, telah kujadikan diaAngan- angan dan harapkuHiburlah diriku dengan cahaya matanyaSeperti Kau hiasi dia untukkuAtau buatlah dia membencikuDan keluarganya dengki padakuSedang aku akan tetap mencintainyaMeski sulit aku rasaMereka mencela dan menghina dirikuDan mengatakan aku hilang ingatanSedang dia sering terdiam mengawasi bintangMenanti kedatangankuAduhai, betapa mengherankannyaOrang- orang mencela cintaDan menganggapnya sebagai penyakitYang meluluh- lantakan dinding ketabahanAku berseru pada singgahsana langitBerikan kami kebahagiaan dalam cintaSingkaplah tirai deritaYang selalu membelenggu kalbuBagaimana mungkin aku tidak gilaBila melihat gadis bermata indahYang wajahnya bak matahari pagi bersinar cerahMenggapai balik bukit, memecah kegelapan malamKeluarga berkataMengapakah hatinya wahai ananda?Mengapa engkau mencintai pemudaSedang engkau tidak melihat harapan untuk bersanding dengannyaCinta, kasih dan sayang telah menyatuMengalir bersama aliran darah di tubuhkuCinta bukankah harapan atau ratapanWalau tiada harapan, aku akan tetap mencintainyaSungguh beruntung orang yang memiliki kekasihYang menjadi karib dalam suka maupun dukaKarena Allah akan menghilangkanDari kalbu rasa sedih, bingung dan cemasAku tak mampu melepas diriDari jeratan tali kasih asmaraKarena surga menciptakan cinta untukkuDan aku tidak mampu menolaknyaSampaikan salamku kepada dia,wahai angin malamKatakan, aku akan tetap menungguHingga ajal datang menjelang
Hati Majnun hancur, namun ia berhasil menguatkannya dengan ketulusan cinta. Ia menulis surat untuk Laila. Mendoakan pernikahannya dan hanya meminta satu tanda bukti cinta Laila kepadanya; mengingat nama Qais dalam hatinya. Laila semakin luluh, ia membalasnya dengan sepucuk surat cinta yang terdapat anting di dalamnya, sebagai tanda pengabdian jiwa kepada sang kasih.
Bertahun-tahun
berlalu, Majnun masih tinggal bersama alam yang kian menemaninya siang dan
malam. Sementara Laila yang sudah bersuami, tak juga menampakkan kegoyahan pada
pendirianny. Hatinya tetap untuk Qais, padahal sang suami sudah berusaha
membahagiakannya selama ini. Akhirnya, suami Laila jatuh sakit dan meninggal.
Laila menangis sejadi-jadinya, tapi bukan suaminya yang ia tangisi, melainkan
Majnun yang selama ini tidak juga ada kabarnya. Ia takut, kekasihnya sudah
berpulang ke akhirat mendahuluinya.
Hal
ini membuat Laila hidup secara tidak teratur; enggan makan, tidak pernah tidur
dan banyak melamun. Kondisi kejiwaan Laila yang semakin parah membuatnya jatuh
sakit. Hingga pada suatu malam di musim dingin, di tengah sakitnya, Laila
meninggal dunia sambil terus bergumam, “Majnun,” berkali-kali.
Berita
duka ini akhirnya sampai ke telinga Majnun. Betapa sedih hatinya, mengetahui
kekasihnya sudah pergi mendahuluinya, sampai-sampai ia pingsan tak sadarkan
diri selama berhari-hari. Setelah ia siuman, ia langsung bergegas menuju
kuburan Laila. Di tengah perjalanan, karena lelah yang tak terkira, ia terjatuh
dan tak bisa bangkit lagi. Dengan susah payah, ia menyeret tubuhnya tanpa henti
sampai di tanah tempat Laila kekasihnya dikuburkan.
Kuburan Laila & Majnun di India |
Demi
menawar rindu, ia menempelkan kepalanya di atas tanah kubur Laila dan kembali
tak sadarkan diri. Di saat itulah, malaikat maut menjemput ruhnya dan
membawanya ke langit. Jasad Majnun ditemukan kurang dari setahun setelah
kematian Laila. Kerabat yang menemukan jasad Majnun dapat segera mengenali
karena keadaan tubuhnya yang sama sekali tidak membusuk, seolah baru meninggal
kemarin. Ia pun dikuburkan di samping Laila. Kini, dua insan yang sejak
bertahun-tahun lamanya terpisah oleh takdir, akhirnya berjumpa lagi di
kehidupan yang selanjutnya.
Sumber Dari : http://www.muslimahdaily.com
0 comments:
Post a Comment