Mempunyai
teman memang menyenangkan. Setiap hari selalu bersama sambil menceritakan
banyak hal yang dialami. Kadang bercerita tentang sesuatu hal yang menyedihkan,
tapi terkadang juga menceritakan hal yang menyenangkan hingga membuat kami
tertawa bersama. Seperti itulah hubungan persahabatan yang telah kami jalin
selama 3 tahun ini.
Namaku
Alicia. Saat ini usiaku baru menginjak 14 tahun dan duduk di bangku kelas 3
SMP. Tak ada yang istimewa dariku. Aku hanyalah gadis biasa, bodoh, dan selalu
bersikap dingin, sehingga tak memiliki banyak teman karena hampir semua orang
selalu menjauhiku. Sejak saat itu, aku jadi sulit mempercayai orang lain. Aku
selalu menganggap kalau sendirian itu lebih menyenangkan dari pada memiliki
teman, tapi ternyata anggapanku itu salah. Pada akhirnya, selama SD aku selalu
merasa sangat kesepian dan iri pada orang lain karena mereka memiliki banyak
teman.
Tiga
tahun lalu aku bertemu dengan 4 orang gadis yang seumuran denganku. Tepatnya
pada saat upacara penerimaan murid tahun ajaran baru di SMP tempatku bersekolah
saat ini. Rasti, Angel, Diana, dan Tricia. Itulah nama keempat gadis itu dan
sekarang mereka telah menjadi sahabatku. Sejak saat itu hidupku berubah menjadi
lebih baik dan menyenangkan.
Tetap
Abadi Meski Terpisah
***
Hari
ini masih sama seperti biasanya. Di bawah langit yang cerah, kami berkumpul di
sini, di sebuah lahan kosong yang tak jauh dari rumah kami. Tempat ini memang
hanya sebuah lahan yang terabaikan dan dipenuhi rumput dan tanaman liar. Namun,
kami selalu merasa kalau tempat ini sangat nyaman. Biasanya yang kami lakukan
di sini hanya bermain bersama sambil menceritakan banyak hal yang telah kami
alami.
“Oh,
ya. Bukannya satu minggu lagi Ujian Nasional, ya?” tanya Rasti memastikan.
“Hm…
kurasa itu akan menjadi saat-saat yang menyiksa bagi otakku yang pelupa ini,”
gumamku sambil memukul-mukul kepalaku pelan.
“Tenang
saja! Kan, di setiap nomor ada pilihan jawaban. Tinggal pilih saja salah
satunya. Kalau beruntung mungkin hasilnya akan memuaskan,” ujar Diana santai
sambil tertawa.
“Iya,
kalau beruntung. Kalau nggak beruntung, kan nanti nilainya jelek,” sahut Angel
sambil menyenggol bahu Diana. Sementara Diana tak menjawab dan terus tertawa.
“Eh,
tadi malam aku mimpi buruk,” kata Tricia secara tiba-tiba, sehingga membuat
pandangan kami langsung tertuju padanya.
“Mimpi
apa?” tanya kami kompak.
“Tapi
jangan marah, ya? Soalnya mimpiku benar-benar buruk,” jawab Tricia dengan wajah
yang tampak ragu.
“Udah,
cerita aja!” kata Rasti tak sabar. Sepertinya ia benar-benar merasa penasaran
dengan mimpi yang dialami Tricia.
Tricia
menghela nafas. Ia menatap kami satu-persatu dengan tatapan ragu. “Tadi malam…”
Tricia mulai bercerita dengan suara kecil. Kami segera mendekatinya agar bisa
mendengarkan suaranya lebih jelas. “Tadi malam…” Tricia mengulang kalimat yang
tadi telah ia ucapkan.
“Udah,
cepet cerita!” gerutu Rasti yang merasa jengkel karena sejak tadi Tricia hanya
mengulang-ulang kalimatnya.
“Iya,
iya,” jawab Tricia. “Tadi malam aku bermimpi melihat diriku sendiri, Rasti,
Angel, dan Diana sedang duduk mengelilingi mayat…” Tricia tak melanjutkan
kalimatnya.
“Mayat
apa?” tanya Angel.
Tricia
kembali menatap kami satu-persatu sambil menghela nafas. Sepertinya ia merasa
sangat ragu untuk menceritakan mimpinya pada kami. “Mayat Alicia,” sambungnya
dengan wajah tertunduk.
Rasti,
Diana, dan Angel tampak kaget. Sementara aku hanya terdiam karena merasa sangat
terkejut dengan cerita Tricia. Apalagi di dalam mimpi Tricia, aku telah
meninggal. Hal itu membuat jantungku tiba-tiba berdetak kencang tak terkendali.
“Sudah,
tenang saja! Itu kan, cuma mimpi. Jadi nggak ada yang perlu dikhawatirkan,”
Diana berusaha menenangkanku sambil menepuk-nepuk bahuku perlahan.
Aku
menatap keempat sahabatku sambil tersenyum tipis. “Apa kalian mau berjanji?”
pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari bibirku. Mereka berempat langsung
menganggukkan kepala tanpa ragu. “Jika setelah lulus SMP nanti kita berpisah,
maukah kalian berjanji untuk tidak melupakan satu sama lain?” tanyaku. Awalnya
mereka terdiam, tapi kemudian mereka tersenyum lalu mendekatiku. “Tentu saja,”
jawab mereka dengan suara keras, sehingga membuat telingaku terasa sedikit
sakit.
Tiba-tiba
hujan turun dengan merasa derasnya. Kami merasa sedikit aneh karena sebelumnya,
langit tampak begitu cerah dan tak sedikit pun awan mendung yang terlihat.
Namun kami tak memperdulikan hal itu. Kami lebih memilih untuk berlari dengan
cepat dan pulang ke rumah masing-masing agar tidak kehujanan.
Pagi
ini langit tampak begitu cerah. Namun tak secerah hatiku. Sama seperti yang
dikatakan Rasti seminggu yang lalu. Hari ini adalah hari dimulainya Ujian
Nasional. Hal itu benar-benar membuatku merasa seperti orang gila. Apa lagi
tadi pagi aku bangun kesiangan. Rasanya kepalaku seperti mau pecah saja.
“Duh,
udah jam segini lagi,” gerutuku setelah menatap jam tanganku yang telah
menunjukkan pukul tujuh kurang dua puluh menit. Dengan terburu-buru aku
mempercepat lariku karena takut terlambat.
“Tin….
Tin….” Suara klakson mobil itu terdengar sangat keras. Aku menghentikan
langkahku. Aku melirik kearah suara itu berasal. Ternyata saat itu sebuah mobil
melaju kencang menuju kearahku. Aku berusaha berlari menuju ke seberang jalan,
tapi terlambat. Mobil itu telah menabrakku. Tubuhku yang terbaring lemas di
tengah jalan tak bisa merasakan apa-apa, bahkan rasa sakit sekali pun. Yang
bisa kurasakan hanya pandanganku yang terasa buram sampai akhirnya aku tak
sadarkan diri.
Saat
sadar, aku sudah terbaring di sebuah kasur yang berada dalam kamar dengan
tembok yang di cat warna putih. Aroma obat terasa menusuk hidung. Sepertinya
saat ini aku sedang berada di salah satu kamar rumah sakit.
Aku
melihat di sekelilingku. Kulihat Ayah dan Ibu sedang duduk di sebelahku sambil
menangis. Aku bertanya kenapa mereka menangis, tapi mereka tak menjawab dan
terus menangis. sudah berkali-kali aku bertanya, tapi mereka tetap tak
menjawab. Karena merasa jengkel, aku pun segera bangkit lalu turun dari kasur.
Aku
berbalik untuk menatap mereka. Namun tepat di saat itu juga aku langsung kaget.
Kakiku terasa kaku dan tak bisa di gunakan untuk berjalan. Bagaimana tidak?
Saat ini, aku melihat tubuhku sendiri yang masih terbaring di kasur dengan
beberapa peralatan medis yang dipasang dokter untuk membantuku bernafas. Kucoba
untuk bertanya pada Ibu lagi sambil menggenggam tangannya, tapi hal yang buruk
membuatku semakin terkejut. Saat aku mencoba menyentuh tangan Ibu, tanganku
menembus tangan Ibu begitu saja.
“Kenapa
kau tidak mati saja? Tidak ada untungnya hidup dalam keadaan koma. Mungkin pada
akhirnya kau juga akan mati sepertiku,” ujar seorang pria dari sudut ruangan.
Tubuhnya terlihat tak pernah diurus. Ia membiarkan rambutnya panjang sampai
bahu. Bahkan pakaian yang ia gunakan hanyalah baju berwarna hitam dan panjang
yang telah lusuh.
“S-siapa
k-kau? D-dan apa maksudmu tadi?” tanyaku sambil menatapnya ketakutan.
“Aku
adalah orang yang meninggal di kamar ini dua bulan lalu. Tepatnya setelah aku
koma hampir setahun,” jawabnya.
“A-apa?
Itu berarti kau hantu?” tanyaku dengan suara keras karena merasa kaget.
“Tidak
usah kaget seperti itu. Bukankah sekarang kau juga hantu?” pria itu malah balik
bertanya.
“A-apa?”
aku tersentak kaget mendengar ucapan pria itu.
“Kau
tak percaya? Coba lihat dirimu sekarang! Tubuhmu dengan mudahnya menembus benda
padat, berkeliaran ke sana-sini tanpa disadari orang lain, suara yang tak bisa
di dengar oleh siapa pun, dan seragam berlumuran darah yang kau kenakan
sekarang. Apa itu belum membuktikan bahwa kau sekarang telah menjadi hantu?”
pria itu berusaha meyakinkanku kalau aku benar-benar telah menjadi hantu.
Berkali-kali
aku membantah apa yang dikatakan pria itu, tapi dia terus mengatakan kalau aku
tidak punya banyak harapan untuk tetap hidup. Setelah kami berdebat cukup lama,
akhirnya pria itu pergi dan menghilang dalam sekejap. Sementara aku hanya duduk
tersipuh di lantai. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menangis.
Waktu
terus berlalu. Hari pun semakin siang. Aku menatap jam yang tergantung di
dinding. Jarum jam telah menunjukkan pukul 12.45. Meski begitu, keadaan masih
belum berubah. Ayah dan Ibu masih duduk di samping tubuhku yang terbaring lemah
sambil terus menangis tanpa henti. Hal itu membuatku sedikit khawatir karena
melihat mata mereka yang sembab.
Tiba-tiba
pintu kamar terbuka. Saat kulihat, ternyata yang membuka pintu itu adalah
Tricia, Rasti, Diana, dan Angel. Wajah mereka tampak sangat kaget ketika
melihat tubuhku yang sedang terbaring di kasur. Tepat saat itu juga, tiba-tiba
Angel jatuh pingsan, sehingga ia harus dibawa ke ruangan lain. Karena merasa
cemas, aku pun mengikuti ke tempat dimana Angel dibawa. Sementara Rasti, masih
berada di dalam kamar tempatku dirawat.
“Diana,
bukankah ini sedikit mirip dengan mimpi yang kuceritakan pada kalian seminggu
lalu?” tanya Tricia dengan wajah yang terlihat takut.
“Entahlah,
mungkin kau benar,” jawab Diana.
“Lalu
apa Alicia akan meninggal?” tanya Tricia lagi.
“Aku
tak tahu. Lebih baik sekarang terus berdoa agar Alicia bisa sembuh dan
berkumpul bersama kita lagi,” jawab Diana. Ia memeluk Tricia untuk membuatnya
tenang.
Aku
berusaha mengingat mimpi yang diceritakan Tricia seminggu lalu. Beberapa saat
kemudian, aku mulai mengingat cerita Tricia. Ya, dia bilang kalau di malam
sebelumnya, ia sempat bermimpi melihatku yang sudah terbaring tak bernyawa. Aku
terus berpikir kalau mimpi itu mungkin adalah suatu pertanda. Namun, aku
berusaha untuk melupakannya karena sekarang semuanya sudah terlanjur terjadi
dan tak ada yang bisa kulakukan. Akhirnya dengan perasaan sedikit putus asa,
aku melangkahkan kaki meninggalkan ruangan itu.
“Kenapa
berwajah kusut seperti itu?” tanya seorang wanita dari arah samping.
Aku
melirik kearah wanita itu. Wajahnya terlihat sangat pucat. Sepertinya dia juga
bukan manusia. “Kau siapa?” tanyaku sedikit sinis karena saat ini, aku merasa
sedang tidak ingin bicara.
“Namaku
Vani. Aku memang roh, tapi aku belum mati,” jawabnya.
Aku
menatapnya tajam. “Kau bilang, kau belum mati?” tanyaku bingung. Aku merasa itu
adalah hal yang sangat tak mungkin setelah melihat kulitnya yang pucat seperti
orang yang sudah mati.
“Ya,
sama sepertimu. Saat ini tubuhku sedang terbaring koma setelah mengalami
kecelakaan empat bulan yang lalu,” jawabnya santai.
“Lalu
apa kau masih bisa hidup?” tanyaku sedikit berharap untuk mendapatkan jawaban
yang akan membuatku mempunyai sedikit harapan untuk hidup lagi.
“Ya,
mungkin jika aku masih diberi kesempatan untuk hidup,” jawab Vani sambil
beranjak pergi meninggalkanku.
“Setidaknya
aku masih punya harapan untuk hidup. Jadi sekarang lebih baik aku menjalani
hidupku sebagai hantu,” gumamku sambil menghela nafas dengan sedikit senyum
yang terpancar dari wajahku.
7
bulan kemudian…
Aku
berdiri di sini. Di depan gerbang SMP tempatku bersekolah. Murid baru telah
diterima. Sementara semua murid kelas 9 telah meninggalkan sekolah ini dan
saling berpisah menuju SMA favorit yang telah mereka pilih. Sering kali aku
merasa iri ketika melihat teman-teman sekelasku dulu telah menggunakan seragam
SMA. Namun sayang, tubuhku masih terbaring lemah di rumah sakit.
Seiring
berjalannya waktu, kini semuanya telah berubah. Setelah lulus dari SMP,
ternyata Rasti, Angel, Diana, dan Tricia memilih untuk bersekolah di SMA yang
berbeda. Akibatnya, lama-kelamaan mereka mulai melupakan satu sama lain.
Bahkan, aku yang sekarang sedang koma. Padahal dulu mereka sering datang ke
rumah sakit untuk menjenguk dan membantu Ibu merawatku. Namun sejak lulus SMP,
mereka tidak pernah datang lagi. Hal itu membuatku merasa tidak tenang. Aku
ingin seperti dulu lagi. Tidak seperti kami yang sekarang saling melupakan.
Hampir
setiap hari aku duduk di halaman rumah sakit. Yang aku lakukan hanya diam dan
menatap langit sambil menunggu sampai arwahku bisa masuk ke dalam tubuhku dan
hidup lagi sebagai manusia. Namun hari ini aku tidak hanya duduk dan diam, tapi
juga sibuk memikirkan masalah tentang keempat sahabatku.
“Hei,
lagi mikir apa?” tanya Vani yang tiba-tiba muncul dan duduk di sampingku.
Kehadirannya yang secara tiba-tiba itu membuatku sedikit kaget.
“Ini
tentang sahabat-sahabatku,” jawabku lesu.
“Oh,
empat gadis yang dulu sering datang untuk menjengukmu?” tebak Vani. Aku
menganggukkan kepala. “Apa terjadi suatu hal yang buruk pada mereka?” tanya
Vani lagi. Aku hanya menggeleng dengan wajah kusut. “Lalu?” Vani tampak
bingung.
“Akhir-akhir
ini aku merasa kalau hubungan diantara kami sudah tidak seperti dulu lagi.
Bahkan, aku sering berpikir kalau mereka telah melupakan satu sama lain. Hal
itu membuatku merasa tidak tenang dan takut jika suatu saat nanti, mereka
benar-benar akan melupakan persahabatan yang telah kami jalin selama tiga
tahun. Aku ingin melakukan sesuatu, tapi aku tidak bisa karena saat ini, wujudku
saat ini hanya arwah yang tak bisa dilihat. Bahkan, suaraku pun tak bisa
didengar,” jawabku dengan wajah tertunduk. Tanpa terasa air mata mulai mengalir
di pipiku. Setelah sadar, aku pun segera menghapus air mataku.
“Tenang
saja! Kau masih bisa berkomunikasi dengan mereka, kok,” ujar Vani. Aku melirik
kearahnya. Kulihat, ia sedang menatapku dengan senyum yang tersirat di
wajahnya.
“Bagaimana
caranya?” tanyaku penasaran.
“Kau,
kan hantu. Jadi kau bisa menampakkan diri atau merasuki tubuh orang lain,”
jelas Vani.
“Apa
kau yakin?” tanyaku sedikit berharap.
“Seratus
persen aku yakin,” jawab Vani sambil tersenyum sebelum akhirnya menghilang.
Hampir
seharian aku memikirkan ucapan Vani tadi siang. Ada sedikit rasa cemas dalam
hatiku. Bagaimana kalau aku gagal melakukan komunikasi dengan mereka? Namun
dalam hatiku, aku merasa harus mencobanya. Walau mungkin pada akhirnya akan
gagal, tapi setidaknya aku harus mencoba untuk mengetahui hasilnya.
Setelah
mencari tahu dimana tempat sahabat-sahabatku bersekolah, aku memutuskan untuk
mencoba berkomunikasi dengan Angel lebih dulu. Pagi-pagi sekali aku sudah
berada di depan gerbang. Tak kulihat satu pun murid yang beraktivitas. Mungkin
karena sekarang masih terlalu pagi. Namun setelah menunggu beberapa lama,
akhirnya aku melihat segerombolan murid mulai berdatangan dan memasuki area
sekolah. Di tengah-tengah gerombolan itu, akhirnya aku menemukan Angel. Tanpa
berpikir panjang, aku pun segera berjalan mengikutinya karena takut kalau
nantinya akan kehilangan jejaknya. Setelah menemukan waktu yang tepat, barulah
aku akan mencoba melakukan komunikasi dengan Angel.
Waktu
terus berlalu. Saat ini pelajaran sedang berlangsung di kelas Angel. Aku
menatap jam dinding yang telah menunjukkan pukul 10.30. Sudah berjam-jam aku
menunggu, tapi belum juga menemukan waktu yang tepat untuk melakukan komunikasi
dengan Angel. Hal itu membuatku merasa ingin menyerah saja.
Bel
berbunyi menandakan waktunya bagi para murid untuk istirahat. Sebagian murid
memilih keluar dari kelas. Kebanyakan dari mereka terlihat menuju kantin.
Begitu juga dengan Angel. Dengan segera aku mengikutinya yang sedang berjalan
bersama teman-temannya menuju kantin.
Seperti
saran Vani. Saat Angel sedang asyik menyantap makanannya di sebuah meja yang
ada di kantin, aku masuk ke dalam tubuh seorang gadis yang sedang berjalan
menuju meja Angel sambil membawa segelas minuman di tangannya. Setelah berhasil
masuk, aku pun menumpahkan sedikit minuman itu ke baju Angel karena aku yakin,
Angel akan pergi ke toilet untuk membersihkan tumpahan minuman itu.
Ternyata
perkiraanku benar. Bersama seorang temannya, Angel bergegas meninggalkan kantin
untuk menuju toilet. Saat sampai, untunglah teman Angel tidak ikut masuk, jadi
aku bisa lebih mudah berkomunikasi dengan Angel.
Saat
di dalam toilet, kulihat Angel sedang sibuk membersihkan tumpahan minuman itu
dengan air yang mengalir dari sebuah keran. Segera aku berdiri di belakangnya.
Tiba-tiba dadaku terasa berdebar. Rasanya gugup sekali. Aku pun menghela nafas
untuk menghilangkan rasa gugup itu.
“Angel,
masih ingatkah kau padaku?” tanyaku dari arah belakang. Angel menoleh ke
belakang. Tepat di saat itu, ia seperti akan berteriak, tapi tak bisa.
Sepertinya Angel ketakutan karena ia mungkin melihat sosokku. “Jangan takut.
Aku Alicia, sahabatmu yang sedang koma,” kataku mencoba menenangkannya agar
Angel tak merasa semakin takut dan akhirnya membuatnya berteriak hingga membuat
keributan.
“Aku
tak mengenalmu! Jangan ganggu aku!” kata Angel yang ketakutan. Mendengar hal
itu, aku merasa sangat kecewa. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk pergi.
Hari
semakin malam. Aku berdiri di kamar tempatku di rawat. Kulihat tubuhku masih
terbaring dan tak bisa melakukan apa-apa. Sementara Ibu, sedang tertidur di
sebuah kursi yang berada tak jauh dari tempat tidurku. Tiba-tiba aku teringat
ucapan pria yang kutemui saat pertama kali aku dirawat di sini. Benar juga apa
katanya. Bukankah aku memang lebih baik mati saja dari pada harus hidup dalam
keadaan seperti ini?
“Lagi-lagi
wajahmu kusut begitu,” ujar Vani yang baru saja muncul dan sekarang sedang
berdiri sambil menatapku.
“Sepertinya
aku tidak akan berhasil membuat teman-temanku ingat padaku. Aku rasa mereka
benar-benar telah melupakanku,” jawabku.
“Kau
baru mencoba sekali, kan?” tanya Vani. Aku menganggukkan kepala. “Kalau begitu
coba saja lagi. Jika hanya mencoba sekali, mana mungkin langsung berhasil,”
ujarnya.
Aku
berpikir sejenak. “Kurasa kau benar. Besok aku akan mencoba lagi,” jawabku
sambil tersenyum pada Vani.
“Semoga
berhasil,” ucap Vani sebelum pergi.
Hari-hari
berikutnya, aku kembali mencoba melakukan komunikasi dengan sahabat-sahabatku
yang lain. Setelah Angel, aku mencoba melakukannya bersama Rasti, lalu
Diana,dan yang terakhir, aku mencoba melakukannya dengan Tricia. Namun,
hasilnya sama seperti saat aku menemui Angel. Mereka juga telah melupakanku.
Entah cara apa lagi yang harus kucoba. Tapi yang jelas, sekarang aku
benar-benar telah menyerah.
Siang
yang tenang. Aku menelusuri lorong rumah sakit yang sepi untuk menuju kamar
dimana Vani dirawat, karena sejak tadi aku mencarinya, tapi belum juga
menemukannya. Jadi kupikir mungkin saat ini dia sedang berada di kamarnya.
Namun saat sampai di kamarnya, aku juga tak menemukannya. Bahkan aku tak
melihat tubuh Vani di kasur.
“Apa
dia sudah sadar dan dipindahkan ke ruangan lain?” pikirku.
“Kau
mencari siapa?” tanya seorang wanita berambut panjang yang tiba-tiba muncul.
Aku menoleh kearahnya yang saat itu sedang berdiri di sudut ruangan. Jika
dilihat dari kakinya yang tidak menyentuh lantai, sepertinya dia juga bukan
manusia.
“Apa
gadis yang dirawat di ruangan ini sudah dipindahkan ke ruangan lain?” tanyaku.
“Oh,
tadi siang dia meninggal. Jadi mungkin sekarang, arwahnya sudah tidak di sini
lagi,” jawab wanita berambut panjang itu.
Aku
tersentak kaget mendengar jawaban wanita itu. Rasanya aku tak percaya kalau
Vani sudah meninggal.
“Kau
baik-baik saja?” tanya wanita itu sambil menatapku. Aku tak menjawab
pertanyaannya dan lebih memilih untuk pergi meninggalkan ruangan itu.
Di
bawah langit yang cerah, aku duduk sendiri di sini. Di lahan kosong tempat
dimana aku dan sahabat-sahabatku dulu sering berkumpul untuk bermain bersama
dan saling bertukar cerita. Tapi sekarang, tak ada lagi sahabat yang bisa
kuajak bertukar cerita. Mereka semua telah melupakanku. Padahal saat ini ada
banyak hal yang ingin kuceritakan pada mereka.
“Bagaimana
jika nasibku akan sama seperti Vani?” pikirku sambil menatap langit. Tanpa
terasa aku meneteskan air mata. Namun sekarang aku tak lagi menghapusnya. Aku
membiarkan air mataku mengalir bebas di pipiku karena aku merasa lebih tenang
saat menangis.
“Alicia?”
suara itu terdengar dari arah belakang. Saat kutoleh, aku benar-benar terkejut.
Ternyata orang yang memanggilku itu adalah Angel. Tidak hanya itu, tapi di
sampingnya juga ada Rasti, Diana, dan Tricia yang sedang berdiri sambil
tersenyum padaku.
“K-kalian
mengingatku?” tanyaku yang merasa sagat keget sambil menatap mereka penuh
harap.
Tiba-tiba
mereka memelukku. Walau tak bisa saling menyentuh karena kami berbeda, tapi aku
masih bisa merasakan rasa hangat saat berada dalam pelukan keempat sahabat yang
sangat kusayangi. Saat itu aku benar-benar merasa senang. Walau masih menjadi
arwah, tapi saat berada dalam pelukan mereka, aku merasa seperti telah hidup
kembali sebagai manusia.
“Maafkan
kami yang sudah melupakanmu,” ujar Rasti. Bisa kurasakan air matanya yang jatuh
tepat di bahuku.
“Padahal
kami sudah berjanji untuk tidak melupakan satu sama lain, tapi kami melupakan
janji itu. Bahkan, kami juga melupakanmu yang saat ini sedang koma di rumah
sakit,” sambung Angel.
“Maaf
juga karena telah membuatmu sampai harus berusaha keras hanya untuk membuat
kami kembali mengingat persahabatan ini,” ujar Diana.
“Sekarang
kami sadar kalau persahabatan yang indah ini tidak boleh dilupakan,” kata
Tricia.
Aku
tak bisa mengatakan apa-apa. Yang kulakukan hanya memeluk mereka sambil
menangis. Rasanya aku tidak ingin kehilangan saat-saat indah seperti ini. Apa
lagi saat ini aku merasa kalau mungkin sebentar lagi aku akan mati. Tapi yang
jelas, aku sangat berharap agar persahabatan kami tetap abadi meski kami
terpisah sangat jauh.
Tiba-tiba
cahaya menyilaukan muncul dan mengelilingi tubuhku. Hal itu membuat Rasti,
Angel, Tricia dan Diana harus melepaskan tubuhku. Lama-lama tubuhku juga
berubah menjadi butiran-butiran cahaya yang semakin lama terus menjauh dari
sahabat-sahabatku dan terbang menuju langit. Aku rasa sepertinya aku akan mati
sekarang. Namun sebelum menghilang, aku sempat tersenyum kepada keempat
sahabatku. Sambil menangis, mereka pun membalas senyumanku.
Kini
semua menjadi gelap. Tak ada sedikit pun cahaya yang menerangi, sehingga aku
tak bisa melihat apa pun yang ada di sekelilingku. Apa mungkin aku sudah mati?
“Selamat
ya, karena kau telah berhasil membuat teman-teman yang kau sayangi kembali
mengingatmu,” suara itu terdengar tak asing lagi bagiku.
“Vani?”
aku mencoba menebak pemilik suara itu, tapi tak mendapatkan jawaban.
Tiba-tiba
aku merasa seperti ada seseorang menggenggam tanganku. Aku juga merasa ada air
mata yang menetes tepat di pipiku. Aku tak tau siapa pemilik tangan mau pun air
mata itu, tapi yang jelas, aku merasa sangat bingung saat berada dalam
kegelapan ini.
“Kamu
sudah sadar, Alicia?” bisa kudengar suara Ibu dengan jelas.
Aku
membuka mata. Semua kegelapan yang tadi kurasakan telah tergantikan oleh cahaya
lampu yang menerangi ruangan yang terasa tak asing lagi bagiku. Ya, aku ingat!
Ini adalah ruangan tempat dimana aku dirawat selama hampir 8 bulan. Meski
terasa pusing, tapi aku mencoba melirik ke sekelilingku. Kulihat Ayah dan Ibuku
sedang duduk sambil menggenggam tanganku. Bahkan di belakang mereka, aku
melihat Rasti, Angel, Tricia, dan Diana sedang berdiri sambil menatapku. Air
mata mengalir deras di pipi mereka.
Tiba-tiba
pintu kamar terbuka. Aku melihat seorang dokter bersama suster yang
mendampinginya datang. Dengan sigap, dokter itu memeriksa keadaanku. Setelah
selesai, tiba-tiba dokter itu tersenyum. Aku tak tahu apa arti dari senyuman
dokter itu, tapi aku sangat berharap agar dokter itu memberi berita yang
menyenangkan.
“Sepertinya
putri anda akan sembuh dalam beberapa hari lagi,” kata dokter itu setelah
selesai memeriksa keadaanku. Berita itu disambut senyum bahagia dari keluarga
dan sahabat-sahabatku. Begitu juga aku yang tak kalah senang.
5
hari kemudian, aku telah diijinkan keluar dari rumah sakit ini. Karena masih
belum bisa berjalan, terpaksa aku harus menggunakan sebuah kursi roda. Di
gerbang, aku melihat Rasti, Angel, Tricia, dan Diana sedang menungguku. Setelah
melihatku, mereka segera berlari menuju kearahku lalu menggantikan Ibuku untuk
mendorong kursi rodaku menuju mobil. Kurasa setelah ini akan menjadi lebih
menyenangkan lagi.
Setelah
benar-benar sembuh, aku kembali bersekolah dan harus mengulang semester kelas 3
di SMP tempatku bersekolah dulu. Meski terasa sepi karena harus bersekolah
tanpa sahabat-sahabatku, tapi aku tetap merasa senang karena masih bisa menemui
mereka di lahan kosong yang sering kami gunakan untuk berkumpul bersama. Selain
itu, aku juga merasa sangat berterima kasih pada Tuhan karena telah memberiku
kesempatan kedua untuk hidup.
Sumber Dari : http://blogbustamil.blogspot.qa
0 comments:
Post a Comment