Makam Abu di Jerman |
Beberapa waktu yang lalu aku melewati pemakaman orang Jerman. Terlihat seperti taman bunga, dengan deretan bunga warna-warni kecuali ada nisan menyembul di sela-selanya. Tampaknya kebiasaan orang Jerman menanam bunga di atas makam. Kalau tidak langsung ditanam di atas tanah, kadang pot-pot bunga diletakkan di atasnya. Tapi bukan ini yang aneh.
Setelah
melewati komplek pemakaman penuh bunga, aku melewati komplek pemakaman berbaris
dan berderet yang masing-masing besarnya hanya seukuran ubin. Membuatku berpikir
lama. Makam apakah ini? Mengapa kecil sekali? Makam binatangkah? Maklum, orang
Jerman ini mencintai anjing sebagaimana mencintai anak.
Ternyata
makam kecil ini adalah makam abu. Makam manusia yang dibakar dan abunya
dikubur. Saking begitu atheisnya sebagian besar orang Jerman, mereka tidak
percaya dengan kematian. Tidak pula percaya dengan kehidupan setelah kematian.
Harga tanah untuk pemakaman sangat mahal dan biaya perawatan dan sewanya per tahun juga sangat mahal. Jadi, tidak jarang orang Jerman -sekalipun kaya- karena berpikir terlalu ‘realistis’, tidak sedikit pun takut kematian dan tidak ingin memberatkan orang yang masih hidup, mereka berwasiat dibakar saja. Kadang kalau ingin anonim atau tidak ingin memberatkan lagi, abunya diterbangkan saja di udara. Dan jika masih ingin dikenang tapi dengan sewa tanah murah cukup menyewa tanah pemakaman seukuran ubin. Dan itulah deretan makam yang kulihat saat itu.
Harga tanah untuk pemakaman sangat mahal dan biaya perawatan dan sewanya per tahun juga sangat mahal. Jadi, tidak jarang orang Jerman -sekalipun kaya- karena berpikir terlalu ‘realistis’, tidak sedikit pun takut kematian dan tidak ingin memberatkan orang yang masih hidup, mereka berwasiat dibakar saja. Kadang kalau ingin anonim atau tidak ingin memberatkan lagi, abunya diterbangkan saja di udara. Dan jika masih ingin dikenang tapi dengan sewa tanah murah cukup menyewa tanah pemakaman seukuran ubin. Dan itulah deretan makam yang kulihat saat itu.
Selanjutnya,
aku melompat ke kisah pertemuanku dengan seorang muslimah Jerman (mualaf) yang
masih muda. Dia masih SMU dan sebagaimana kebiasaan umumnya remaja Jerman saat
puber, mereka mulai memisahkan diri tinggal dari ortunya. Biasanya mereka akan
tinggal bersama pacarnya di apartemen. Dan muslimah mualaf ini pun mempunyai
masa lalu seperti itu. Hingga dia memeluk Islam secara diam-diam, dan mencari
Islam lewat internet dan kini dia tinggal seorang diri.
Kadang sepekan sekali dia mengunjungi orang tuanya. Tetapi jika hendak memasuki rumah ortunya, dia akan tengok kanan kiri dulu hingga tidak ada orang, lalu di depan pintu dia melepas jilbabnya. Alasannya, karena ayahnya memiliki penyakit jantung dan selama ini ayahnya sangat membenci Islam. Jadi dia tidak ingin ayahnya kaget lalu memperparah sakitnya.
Kadang sepekan sekali dia mengunjungi orang tuanya. Tetapi jika hendak memasuki rumah ortunya, dia akan tengok kanan kiri dulu hingga tidak ada orang, lalu di depan pintu dia melepas jilbabnya. Alasannya, karena ayahnya memiliki penyakit jantung dan selama ini ayahnya sangat membenci Islam. Jadi dia tidak ingin ayahnya kaget lalu memperparah sakitnya.
Perlu
Anda ketahui, meskipun dia baru berjilbab saat awal ramadhan kemarin, tapi dari
pertama aku bertemu dengannya saat ramadhan, kerudungnya menjuntai hingga
selutut, dan dia menggunakan rok lebar berwarna gelap. Simpel dan polos. Inilah
yang membuatku penasaran. Aku bertanya darimana dia mengetahui tentang jilbab
hingga memutuskan berjilbab seperti ini. Padahal menurut pengakuannya, sebelum
masuk Islam dia senang menggunakan pakaian minim dan sexy. Dia menjawab,
mengetahuinya dari internet. Rasa penasarannya terhadap Islam sangat kuat
hingga dia mencari apa-apa dari internet karena memang dia tidak tahu ke mana
dia harus bertanya. Lalu apa yang membuatnya berani berubah sedrastis ini? Dia
menjawab: karena dia merenungi kematian. Dulu sebagaimana remaja yang lahir dan
tumbuh di negara macam Jerman pada umumnya, dia tidak percaya Tuhan hingga dia
mulai berpikir tentang kematian.
“Mengapa
kamu memilih Islam?”, tanyaku lagi semakin penasaran. Lalu dia bercerita bahwa
sejak sekolah setingkat SD dia memiliki teman-teman muslim yang berkebangsaan
Turki, karena bangsa Turki adalah komunitas muslim yang mendominasi Jerman.
Sayangnya, tidak ada satu pun dari mereka hingga remaja yang menjalankan
agamanya, tetapi orang tua mereka terkadang ada yang masih menjalankannya,
meskipun ala kadarnya.
Saat berkunjung ke rumah teman-temannya yang muslim dan melihat orang tua mereka masih menjalankan syariat Islam, itulah yang membuat dia berpikir bahwa begitulah seharusnya orang menjalani hidup. Lalu entah bagaimana dia juga selalu merasa tenang setiap mendengar bacaan Al-Qur’an. Dari rasa penasarannya itu, tujuh tahun dia membaca-baca tentang Islam dari internet hingga akhirnya dia memutuskan masuk Islam. “I feel like I am addicted to Islam”, begitulah pengakuannya.
Saat berkunjung ke rumah teman-temannya yang muslim dan melihat orang tua mereka masih menjalankan syariat Islam, itulah yang membuat dia berpikir bahwa begitulah seharusnya orang menjalani hidup. Lalu entah bagaimana dia juga selalu merasa tenang setiap mendengar bacaan Al-Qur’an. Dari rasa penasarannya itu, tujuh tahun dia membaca-baca tentang Islam dari internet hingga akhirnya dia memutuskan masuk Islam. “I feel like I am addicted to Islam”, begitulah pengakuannya.
Dia
menunjukkan mobile phone-nya yang berisi list murotal Al-Qur’an. “Aku sudah
mencoba mendengar semua reciter yang ada di sini, tapi aku paling suka yang
ini,” katanya. Dia senang mendengar bacaan Al-Qur’an sehingga pernah aku
menemuinya sedang mendengarkan murotal sambil jalan sebagaimana remaja-remaja
seusianya mendengarkan musik, meski dia tidak mengetahui sedikit pun artinya.
Jawabannya selalu sama, “I feel like I am addicted.”
Lalu
beberapa waktu yang lalu tiba-tiba dia berkata padaku, “Aku akan segera
menceritakan ke ayahku bahwa aku adalah muslim. Aku benar-benar ingin segera,”
katanya. “Kenapa?” tanyaku penasaran karena baru beberapa hari yang lalu dia
bercerita dia akan memberitahukan ke ayahnya pelan-pelan saja karena khawatir
penyakit ayahnya semakin parah. Jawabannya itu yg akhirnya benar-benar membuatku
merinding.
“Aku
sangat menyayangi ayahku dan aku mendengar ayahku berwasiat jika dia meninggal
dia ingin dibakar, dan aku tidak ingin itu. Aku harus membawakannya banyak
buku-buku Islam dan aku akan memintanya mendengarkan Al-Qur’an agar dia masuk
Islam dan aku menginginkannya segera, agar jika dia meninggal dia telah menjadi
muslim dan dia tidak menginginkan dibakar lagi.”
Lalu
dia melanjutkan kata-katanya lagi, “Aku juga harus segera menulis surat wasiat.
Usia manusia tidak ada yang tahu. Jika nanti meninggal, aku tidak ingin orang
tuaku memakamkanku dengan prosesi pemakaman bukan Islam. Orang tuaku harus
segera tahu bahwa aku muslim dan aku akan membuat wasiat dimakamkan harus
secara muslim. Aku juga harus mulai menabung karena biayanya sangat besar, jika
orang tuaku tidak setuju mereka tetap harus melaksanakan wasiatku karena
prosesi itu semua akan menggunakan uang tabunganku sendiri, bukan uang mereka.”
Sebelumnya perlu saya sampaikan, bahwa dia ini muallaf, masih SMU, baru berjilbab awal ramadhan kemarin, dan dia dalam kondisi sehat wal afiat saat ini dan insya Allah tidak sedang sakit apa pun. Tapi itulah sedikit dari penuturannya yg membuatku terkesan.
Sebelumnya perlu saya sampaikan, bahwa dia ini muallaf, masih SMU, baru berjilbab awal ramadhan kemarin, dan dia dalam kondisi sehat wal afiat saat ini dan insya Allah tidak sedang sakit apa pun. Tapi itulah sedikit dari penuturannya yg membuatku terkesan.
0 comments:
Post a Comment