TENTU,
tidak sembarang orang bisa menjadi imam Masjidil haram. Pasti, memiliki
keistimewaan dan keutamaan khusus dalam segala hal. Orang
istimewa itu adalah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syekh Muhammad
Nawawi Al-Bantani Al-Jawi.
Syekh
Khatib merupakan orang pertama dari Indonesia yang menjadi imam Masjidil haram,
setelah itu orang kedua yang menjadi imam Masjidil haram adalah Syekh Nawawi
(Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi).
Bukan
hanya imam, Syekh Khatib juga pernah menjadi khatib dan guru besar di
Masjidil haram, sekaligus Mufti (ulama Makkah yang memiliki wewenang untuk
menginterpretasikan teks dan memberikan fatwa kepada umat) Mazhab Syafi'i pada
akhir Abad ke-19 dan awal Abad ke-20.
Dia
memiliki peranan penting di Makkah Al-Mukarramah dan di sana menjadi guru para
ulama Indonesia. Terkait kisah pengangkatan Syekh Khatib menjadi imam
Masjidil haram, ada dua riwayat (pendapat) yang berbeda.
Riwayat
pertama disampaikan oleh Umar Abdul Jabbar dalam kamus tarajim-nya, Siyar wa
Tarajim (Hal. 39). Umar Abdul Jabbar mencatat, bahwa jabatan imam dan khatib
itu diperoleh berkat permintaan Syekh Shalih Al-Kurdi (mertua Syekh Khatib)
kepada Syarif ‘Aunur Rafiq, agar berkenan mengangkat Syekh Khatib menjadi imam
& khatib.
Sedangkan
riwayat kedua disampaikan oleh Prof Dr Buya Hamka dalam buku karangannya,
Ayahku, Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di
Sumatera, yang kemudian dinukil oleh Dr Akhria Nazwar dan Dadang A Dahlan.
Buya
Hamka menyebutkan sebuah cerita Abdul Hamid bin Ahmad Al-Khathib (putra Syekh
Khatib), ketika dalam sebuah salat berjamaah yang diimami langsung Syekh Syarif
Aunur Rafiq. Pada saat salat, ternyata ada bacaan imam yang salah.
Mengetahui
hal ini, Syekh Khatib yang ketika itu juga menjadi makmum, berusaha membetulkan
bacaan imam. Setelah salat, Syekh Syarif Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan
yang telah membenarkan bacaannya tadi.
Lalu
ditunjukkannya Syekh Khatib, yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya,
Syekh Shalih Al-Kurdi, yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu.
Akhirnya, Syarif Aunur Rafiq mengangkat Syekh Khatib sebagai imam dan khatib
Masjidil haram untuk Madzhab Syafi’i.
Syekh
Khatib memiliki nama lengkap Al-Allamah Asy-Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah
bin Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Aziz Al-Khathib
Al-Minangkabawi Al-Jawi Al-Makki Asy- Syafi’i Al-Atsari Rahimahullah.
Syekh
Khatib lahir di Koto Tuo, Kenagarian Balai Gurah, Kecamatan Ampek Angkek
Candung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar), tepatnya hari Senin, 6
Dzulhijjah 1276 H (26 Mei 1860 M) dan wafat di Makkah hari Senin, 8 Jumadil
Awal 1334 H (1916 M) dalam usia 56 tahun.
Ibunya,
bernama Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak. Ayahnya bernama Abdul Lathif yang
berasal dari Koto Gadang. Kakeknya bernama Abdullah (dalam riwayat lain
Abdullah adalah buyutnya), merupakan seorang ulama kenamaan. Abdullah ditunjuk
oleh masyarakat Koto Gadang sebagai imam dan khatib. Sejak itulah gelar Khatib
Nagari melekat di belakang namanya dan berlanjut ke keturunannya di kemudian
hari.
Ketika
masih di kampung kelahirannya, Syekh Khatib kecil sempat mengenyam pendidikan
formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweek School
dan tamat 1871 M.
Di
samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda, Syekh Khatib kecil
juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari ayahnya, Syekh Abdul
Lathif. Dari sang ayah pula, Syekh Khatib kecil menghafal Alquran dan berhasil
menghafalkan beberapa juz.
Pada
tahun 1287 H, Syech Khatib kecil diajak oleh ayahnya ke Tanah Suci Makkah untuk
menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, sang
ayah kembali ke Tanah Air, sementara Syekh Khatib tetap tinggal di Makkah untuk
menyelesaikan hafalan Alquran-nya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama
Makkah, terutama yang mengajar di Masjidilharam.
Di
antara kebiasaan Syekh Khatib di Makkah adalah menyeringkan diri mengunjungi
toko buku milik Syekh Shalih Al-Kurdi yang terletak di dekat Masjidilharam
untuk membeli kitab-kitab yang dibutuhkan atau sekadar membaca buku saja, jika
belum memiliki uang untuk membeli.
Karena
seringnya Syekh Khatib mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko, Syekh
Shalih Al-Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui
kerajinan, ketekunan, kepandaian, dan penguasaannya terhadap ilmu agama, serta
keshalihannya.
Ketertarikannya
itu dibuktikan dengan menjadikan Syekh Khatib sebagai menantu oleh Syekh Shalih
Al-Kurdi. Setelah banyak mengetahui tentang perihal dan kepribadian Syekh
Khatib, Syekh Shalih Al-Kurdi pun menikahkannya dengan putri pertamanya yang
menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar bernama Khadijah.
Sebenarnya
Syekh Khatib sempat ragu menerima tawaran dari Syekh Shalih Al-Kurdi karena
tidak adanya biaya yang mencukupi (bahkan telah mengatakan terus terang terkait
hal ini), tetapi tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari Syekh Shalih
Al-Kurdi untuk menjadikannya sebagai menantu.
Bahkan
Syech Shalih Al-Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan, termasuk
mahar, dan kebutuhan hidup keluarga Syekh Khatib. Jika karena bukan kepribadian
Syekh Khatib yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan
pernah terjadi.
Tentang
pengambilan Syekh Khatib sebagai menantu Syekh Shalih Al-Kurdi, Syarif ‘Aunur
Rafiq bertanya dengan terheran-heran kepada Syekh Shalih Al-Kurdi, “Aku dengar
Anda telah menikahkan putri Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa
arab, kecuali setelah belajar di Makkah?”
“Akan
tetapi, ia adalah lelaki shalih dan bertaqwa,” jawab Syekh Shalih Al-Kurdi
seketika. “Padahal Rasulullah SAW bersabda, “Jika datang kepada kalian
seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian ridhai, maka nikahkanlah ia,”
imbuh Syaikh Shalih.
Dari
pernikahannya dengan Khadijah itu, Syekh Khatib dikaruniai seorang putra, yaitu
Abdul Karim (1300-1357 H). Ternyata pernikahan Syekh Khatib dengan Khadijah
tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia.
Syekh
Shalih Al-Kurdi, sang mertua, meminta kembali agar Syekh Khatib untuk menikah
kembali dengan putrinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama
Fathimah. Fathimah adalah seorang seorang wanita teladan dalam keshalihan dan
memiliki hafalan Alquran yang baik.
Oleh
karena itu, tidak heran jika anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang
memiliki kedudukan tinggi di Timur Tengah, yaitu Abdul Malik Al-Khatib dan
Abdul Hamid Al-Khatib. Abdul Malik sebagai ketua redaksi koran Al-Qiblah dan
memiliki kedudukan tinggi di Al-Hasyimiyyah (Yordan).
Sedangkan,
Abdul Hamid Al-Khatib, seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang pernah
menjadi staf pengajar di Masjidilharam dan duta besar Saudi Arabia untuk
Pakistan. Di antara karya ilmiahnya adalah Tafsir Al-Khathib Al-Makki 4 jilid,
sebuah nazham (sya’ir) berjudul Sirah Sayyid Walad Adam Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, Al-Imam Al-Adil (sejarah dan biografi untuk Raja ‘Abdul ‘Aziz Alu
Su’ud)
Pertama
kali di Makkah, dia berguru dengan beberapa ulama terkemuka, seperti Sayyid
Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman
Hasbullah Al-Makkiy.
Selain
itu, Syekh Khatib juga memiliki murid. Kelak, di kemudian hari mereka menjadi
ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), ayah
dari Buya Hamka; Syekh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi; Syekh Sulaiman
Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi; Syekh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang;
Syekh Abbas Qadhi, Ladang Lawas, Bukittinggi.
Selain
itu, Syekh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki; Syekh Khatib Ali Padang; Syekh
Ibrahim Musa Parabek; Syekh Mustafa Husein; Purba Baru, Mandailing, dan Syekh
Hasan Maksum, Medan. K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama yang
masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah, juga merupakan murid dari Syekh Khatib.
Syekh
Khatib adalah tiang tengah dari mazhab Syafi'i dalam dunia Islam pada permulaan
abad ke-20. Dia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap
pencerdasan umat. Syekh Khatib juga seorang ilmuwan yang menguasai Ilmu Fiqih,
Sejarah Islam, Al-Jabar, Ilmu Falak, Ilmu Hitung, dan Ilmu Ukur (geometri).
Perhatiannya
terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum
waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam.
Martin van Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah akhirnya
Syal-Minangkabawi semakin terkenal. Salah satu kritik Syekh Ahmad yang cukup
keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi 'alan Nashara. Di
dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai
konsep Tuhan yang ambigu.
Selain
masalah Teologi, dia juga pakar dalam Ilmu Falak. Hingga saat ini, llmu Falak
digunakan untuk menentukan awal Ramadan dan Syawal, perjalanan matahari,
termasuk perkiraan wahtu salat, gerhana bulan, dan matahari, serta kedudukan
bintang-bintang tsabitah dan sayyarah, galaksi, dan lainnya.
Syekh
Khatib juga pakar dalam geometri dan trigonometri yang berfungsi untuk
memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi
bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar.
Kajian
dalam bidang geometri ini tertuang dalam karyanya yang bertajuk Raudat Al-Hussab
dan Alam Al-Hussab. Karya-karya tulis Syekh Khatib dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa Arab dan karya-karya yang berbahasa
Melayu dengan tulisan Arab.
Kebanyakan
karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian
Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan
adat-adat yang berseberangan dengan Alquran & Sunnah.
Karya-karya
Syekh Khatib dalam bahasa arab antara lain, Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil
Waraqat lil Mahalli; Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah; Ad Da’il
Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal
Furu’; Raudhatul Hussab; Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz; As Suyuf wal
Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir dan puluhan karya lainnya.
Sumber Dari : http://daerah.sindonews.com
0 comments:
Post a Comment