Saat kecil, semasa
SD, aku paling tak suka bila digodain temen-temen sekelas, dijodohkan dengan
Ar. Biasanya aku langsung pergi dan menangis. Bila melihatnya di kejauhan, aku
akan segera menghindar, menghentikan permainan lompat karet dan segera
mengasingkan diri di kelas. Bersembunyi dengan melipat wajahku di meja
dalam-dalam.
Kelas V SD aku pindah
sekolah mengikuti bapak yang pensiun ke desa. Kutinggalkan teman-teman di kota,
juga Ar. Sedih pastinya, tapi aku juga lega, tak lagi digodain mereka.
Waktu berlalu, tanpa
sengaja aku bertemu lagi dengan Ar di sebuah pesta Nasional Kepanduan. Kala itu
aku mewakili kabupaten yang berbeda. Tanpa disangka, saat itu aku bertemu Ana
sahabat SD dulu. Ia yang memberitahu, Ar ikut di pesta kepanduan itu. Entah
mengapa aku begitu gugup mendengar nama Ar disebut. Hingga aku bertemu
dengannya karena suatu tugas upacara.
Sejak itu, kontak
dengan Ana tersambung. Kami sering berkirim surat. Bahkan hingga kuliah
selesai. Sementara kabar Ar aku tak pernah tahu. Hanya sekali selepas lulus SMU
dulu, aku dengar kabar Ar mau mendaftar sekolah program ikatan dinas. Kabar
selanjutnya aku tak tahu lagi. Hari-hari selanjutnya aku sibuk dengan kuliahku
di fakultas kedokteran. Sebenarnya, aku Cuma modal bismillah dan nekat.
Bagaimana tak nekat? Sebenarnya aku khawatir dengan biayanya yang selangit,
tapi bapak dan ibuku mendukungku.
“Nanti, insya Allah
ada jalan. Yang penting kamu sungguh-sungguh kuliah. Tak semua orang bisa
diterima di perguruan tinggi negeri. Kamu sudah punya kesempatan. Gunakan itu.”
Meski awalnya
bimbang, akhirnya aku pergi juga ke rantau untuk kuliah. Diantar Bapak aku
menapakkan kaki pertama kali di kota asing. Hari itu, kami sibuk mencari kos.
Rata-rata dengan biaya menengah ke atas. Meski Bapak bilang tak masalah, aku
yang justru tak tega. Sudah hampir 10 tempat kos kami datangi, rata-rata
menolak karena penuh atau harga yang kelewat tinggi.
Menjelang Ashar belum
juga ada tanda keberuntungan. Bapak memutuskan menunggu Ashar di masjid sambil
istirahat. Qadarullah, kami paling akhir keluar masjid, bersama seorang ibu.
Melihat bawaan kami lumayan banyak, ia langsung menebak.
“Baru datang ya?
Sudah dapat kos?”
“Belum, Bu…
Sedang mencari.”
“Kalau mau, tinggal
sama ibu mertua saya saja. Ia sendirian. Kebetulan saya sedang menengoknya dari
luar kota,”
Seperti mendapat
durian runtuh, kami bersyukur dalam hati. Aku tak dimintai biaya sepeser pun,
hanya diminta merawat rumah dan menemani empunya rumah. Beliau juga sangat
sayang padaku.
Tak terasa, delapan
semester berlalu, lengkap dengan suka dukaku menjalani kuliah dan kehidupan di
rantau. Beruntung aku tak pernah terlibat pergaulan buruk atau terbawa arus
gaya hidup sebagian teman-teman kuliah yang kebanyakan datang dan keluarga berada.
Tapi aku tetap berkawan baik dengan mereka. Mereka punya prinsip, aku juga
punya prinsip. Aku tak mau mengecewakan orangtua yang telah membiayaiku.
Dan Allah memberikan
aku hidayah mengenal manhaj salaf semenjak aku masuk semester IV. Di antara
kebahagian itu, kami selalu saling menjaga dan menasihati satu sama lain,
bahkan seperti saudara. Jadi aku tak merasa sendiri di rantau. Punya ibu kos
yang baik, juga teman-teman yang insya Allah tenjaga pergaulannya.
Libur semester kali
ini aku tak pulang. Sibuk dengan praktik, juga kerja magang di sebuah RS. Sore
itu aku pulang ke tempat kos seperti biasa. Rumah tampak ramai, ada mobil di
depan rumah. Kupikir terjadi sesuatu pada ibu kos, ternyata anak beliau pulang
dengan beberapa temannya, aku lega.
Empunya rumah bilang, teman anaknya
sedang mencari jodoh.
“Barangkali dapat
jodoh di sini. Katanya mau dikenalkan teman-teman SMU Sony (anak empunya
rumah), barangkali cocok.” Aku tersenyum mengangguk.
Tak kusangka, paginya
beliau malah menemuiku dengan berita yang mengejutkan.
“Nok, (Nak. Orang
Jawa umumnya menggunakan panggilan ini untuk anak perempuan). kata Sony,
temannya mau kenalan sama kamu. Kemarin ia lihat waktu kamu pulang lewat pintu
samping. Malah ia kira kamu adik Sony. Syukur, Si Nok mau serius.”
“Ya, terima kasih
mbah (aku biasa memanggil ibu kost dengan panggilan mbah)”.
“Lho, kok cuma terima
kasih. Kenalannya mau nggak?”
“Nanti saya
piker-pikir dulu, Mbah”
“Jangan nanti-nanti,
soalnya mereka pulang besok sore. Kantornya sudah masuk lusa.”
Malamnya, Mbah
mengantar selembar kertas ke kamar. Beliau tahu aku “tak menemui pria”.
Ternyata, kertas itu berisi biodata teman anak ibu kos. Sekilas kubaca. Namun
kertas biodata di tanganku benar-benar menarik perhatianku. Hingga memaksaku
mencermatinya kembali. Kubaca ulang. Masya Allah, nama itu begitu kukenal. Dan
alamatnya? Tak salah, ini pasti Ar. Entah mengapa jantungku berdebar kencang
dan berbunga-bunga. Inikah jodoh? Di manapun aku ada selalu saja tanpa sengaja
aku bertemu dengannya.
Pada akhirnya, aku memang
menikah dengan Mas Ar,” kekasih” masa lalu yang sering dijodohkan teman-teman
SD ku dulu. Aku menikah tiga bulan kemudian, meski belum wisuda. Alhamdulillah,
aku akhirnya bisa menyelesaikan kuliahku seperti harapan bapak dan ibu.
Kini telah kami miliki
empat buah hati di tengah kesibukan dinasku dan Mas Ar. Semoga pernikahan kami
penuh dengan sakinah, mawadah warahmah. (***) Aminnnn....!!!
Sumber Dari : https://enkripsi.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment