DUKK.. DUKK.. DUKK..
Waktu itu, aku begitu cuek melihat sebuah konser musik yang megah itu. Panggung besar yang ada di depanku telah diramaikan dengan empat orang yang siap untuk menghibur semua penonton. Waktu itu, banyak lampu sorot menerangi panggung dari bagian atas. Suara dram mulai menggema sebagai permulaan performa itu. Bahkan saat orang itu mulai berbicara, akupun tetap tidak peka.
"Oke, makasih banyak buat semuanya yang sudah datang. Saya berhutang banyak pada kalian semua yang berkenan meluangkan waktunya untuk menonton saya." kata sang vokalis di atas panggung. "Lagu ini adalah lagu medley. Dan saya akan menyanyikannya untuk orang yang sangat spesial. Semoga kalian bisa menikmatinya."
Sang vokalis pun telah berjoget-joget dengan santainya di atas panggung mengikuti irama dram. Disusul dengan lagu yang ia nyanyikan. Panggung itu sudah seperti rumahnya sendiri.
"Sampai waktunya datang.. Aku datang menjemputmu..." senandungnya di atas panggung dengan suara yang apik. Dipadukan dengan suara alto dari temannya. "Sampai waktunya Datang.. Aku yang berlari untukmu!"
Hening menyelimuti suasana setelah sang vokalis menyelesaikan dua kalimat apik itu. Ia menundukkan kepalanya sambil memegang stand mic yang ada di hadapannya. Kemudian dengan perlahan-lahan melepaskan mikrofon dari tempatnya dan segera berbalik badan. Membuat suasana menjadi sangat histeris begitu ia membalikkan badan bersamaan dengan mulainya musik. "Hey Little Baby.. Hey Little Baby.. Hey Little Baby..."
Waktu itu, aku diam mendengarkannya bernyanyi di tengah penonton yang beramai-ramai mengangkat tangan mereka dan melompat-lompat mengikuti irama musik yang dihasilkan band yang ada di atas panggung. Suara musik yang indah itu begitu memekakkan telinga. Yang kurasakan dalam hatiku saat itu adalah betapa bangganya melihat sahabatku bisa bernyanyi di atas panggung semegah itu. Seperti yang diimpikannya sejak dulu.
Betapa terkejutnya aku ketika merasa ditarik oleh seseorang di tengah lagu. Ya, waktu itu sang vokalis menarik tanganku dengan posesif hingga jejak tangannya membekas merah di tanganku. Tanpa peduli mata-mata penonton alias fans yang menatap kami dengan pandangan tanda tanya, kami berjalan menyusuri melewati penonton hingga sampai di panggung.
Kau tau? Semua yang dilakukannya di atas panggung itu sungguh manis. Perempuan mana yang tak leleh menghadapi seorang pemuda yang mengajaknya ke atas panggung, merangkul tubuhnya, bahkan bernyanyi sambil menghadap ke arahnya, seolah-olah lagu itu untuknya.
"Ini semua, betapa besar cintaku padamu.. Tak bisa lagi aku menjelaskan
Yang aku tahu, yang aku tahu, Aku tergila-gila kepadamu.."
Ia mengeluarkan senyum mautnya saat menyanyikan satu bait lagu itu. Tatapan matanya kepada setajam mata elang. Bagaimana aku tidak senang? Orang-orang di bawah sana mengidam-idamkan sebuah kesempatan untuk diperlakukan seperti itu dengan sahabatku. Bahkan diakhiri dengan sebuah kalimat yang ia lontarkan sambil berlutut dengan satu kaki di depanku. Di akhir lagu.
"Would you be mine?"
Ah! Lagi-lagi bayangan itu menerjang hatiku. Ternyata tidak mudah untuk melupakan seseorang yang telah pergi meninggalkan kita. Andai saja waktu itu aku menerimanya, mungkin sekarang aku tidak menyesal. Sampai kapan aku harus hidup dengan rasa bersalah ini?
"Mungkin memang ku cinta
Mungkin memang ku sesali
Pernah tak hiraukan rasamu
Dulu.."
"Amy..."
Aku menoleh ke belakang ketika aku mendengar suara berat di belakangku. "Alvin?"
"Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku lagi sambil berdiri menghadap ke arahnya.
"Cakka adalah sahabatku. Tidak baik kalau aku tidak sering-sering menjenguknya, kan?" kata Alvin. Kemudian, ia berjongkok di hadapan makam yang sejak tadi kutatap. Ia mengelus batu nisan yang tertancap di tanah, kemudian menoleh ke arahku. "Aku juga ingin meminta maaf kepadamu. Soal hubungan kita dulu."
"Aku tau kamu mencintai dia, Vin. Aku tak bisa menyalahkanmu, kan?" kataku sambil tersenyum. Akupun ikut berjongkok di sebelahnya sambil menatap makam itu. "Lagipula, berkat kau, aku bisa menyadari ternyata aku mencintai sahabatku sendiri. Sayang sekali aku terlambat."
Alvin diam. Kurasa dia merasa bersalah karena pernah meninggalkanku untuk perempuan lain semasa sahabatku, Cakka, masih hidup. Namun, andai saja dulu aku tak berpasangan dengan Alvin, aku tak akan merasakan bagaimana sakitnya ditinggalkan Alvin, Cakka juga tidak akan memaksaku untuk datang ke konsernya, aku tidak akan menolak Cakka dan aku tidak akan merasakan penyesalan ini. Mungkin kisah kami bertiga adalah sebuah siklus kehidupan untuk menjadi anak yang lebih baik.
Cinta memang buta. Mungkin aku terlalu menyayangi Alvin yang begitu tampan, kaya dan juga baik hati kepadaku, hingga aku mengabaikan Cakka yang sejak dulu mati-matian menarik perhatianku. Ah, bukan itu saja. Cakka sudah berusaha untuk mengingatkanku bahwa Alvin bukan yang terbaik untukku, namun aku selalu marah kepadanya. Bodoh sekali.
"Kudengar, Cakka nekat pergi ke rumahmu untuk meminta maaf setelah kamu menolak dan memarahinya?" tanya Alvin sambil menatap ke arah makam itu kembali. "Nekat sekali kau, bro... Padahal, waktu itu sedang badai."
Aku mengangguk pelan. Hatiku pedih sekali jika mengingat-ingat kejadian itu. "Sayang sekali hujan dan petir harus mengakhiri hidupnya. Mengerikan sekali kecelakaan itu."
"Kau menyesal?"
"Andai aku masih diberi kesempatan untuk hidup bersamanya, aku pasti akan menarik penolakanku waktu itu. Aku ingin membuatnya bahagia."
Alvin menyinggungkan senyumnya mendengar ucapanku. Ia menolehkan kepalanya kepadaku. "Setelah kau mengaku padanya bahwa kau juga menyayanginya di sini, dia pasti akan bahagia, My."
"Aku hanya ingkari Kata hatiku saja... Tapi mengapa cinta datang terlambat.."
Sumber Dari : http://komunitasceritapenulis.blogspot.com
Waktu itu, aku begitu cuek melihat sebuah konser musik yang megah itu. Panggung besar yang ada di depanku telah diramaikan dengan empat orang yang siap untuk menghibur semua penonton. Waktu itu, banyak lampu sorot menerangi panggung dari bagian atas. Suara dram mulai menggema sebagai permulaan performa itu. Bahkan saat orang itu mulai berbicara, akupun tetap tidak peka.
"Oke, makasih banyak buat semuanya yang sudah datang. Saya berhutang banyak pada kalian semua yang berkenan meluangkan waktunya untuk menonton saya." kata sang vokalis di atas panggung. "Lagu ini adalah lagu medley. Dan saya akan menyanyikannya untuk orang yang sangat spesial. Semoga kalian bisa menikmatinya."
Sang vokalis pun telah berjoget-joget dengan santainya di atas panggung mengikuti irama dram. Disusul dengan lagu yang ia nyanyikan. Panggung itu sudah seperti rumahnya sendiri.
"Sampai waktunya datang.. Aku datang menjemputmu..." senandungnya di atas panggung dengan suara yang apik. Dipadukan dengan suara alto dari temannya. "Sampai waktunya Datang.. Aku yang berlari untukmu!"
Hening menyelimuti suasana setelah sang vokalis menyelesaikan dua kalimat apik itu. Ia menundukkan kepalanya sambil memegang stand mic yang ada di hadapannya. Kemudian dengan perlahan-lahan melepaskan mikrofon dari tempatnya dan segera berbalik badan. Membuat suasana menjadi sangat histeris begitu ia membalikkan badan bersamaan dengan mulainya musik. "Hey Little Baby.. Hey Little Baby.. Hey Little Baby..."
Waktu itu, aku diam mendengarkannya bernyanyi di tengah penonton yang beramai-ramai mengangkat tangan mereka dan melompat-lompat mengikuti irama musik yang dihasilkan band yang ada di atas panggung. Suara musik yang indah itu begitu memekakkan telinga. Yang kurasakan dalam hatiku saat itu adalah betapa bangganya melihat sahabatku bisa bernyanyi di atas panggung semegah itu. Seperti yang diimpikannya sejak dulu.
Betapa terkejutnya aku ketika merasa ditarik oleh seseorang di tengah lagu. Ya, waktu itu sang vokalis menarik tanganku dengan posesif hingga jejak tangannya membekas merah di tanganku. Tanpa peduli mata-mata penonton alias fans yang menatap kami dengan pandangan tanda tanya, kami berjalan menyusuri melewati penonton hingga sampai di panggung.
Kau tau? Semua yang dilakukannya di atas panggung itu sungguh manis. Perempuan mana yang tak leleh menghadapi seorang pemuda yang mengajaknya ke atas panggung, merangkul tubuhnya, bahkan bernyanyi sambil menghadap ke arahnya, seolah-olah lagu itu untuknya.
"Ini semua, betapa besar cintaku padamu.. Tak bisa lagi aku menjelaskan
Yang aku tahu, yang aku tahu, Aku tergila-gila kepadamu.."
Ia mengeluarkan senyum mautnya saat menyanyikan satu bait lagu itu. Tatapan matanya kepada setajam mata elang. Bagaimana aku tidak senang? Orang-orang di bawah sana mengidam-idamkan sebuah kesempatan untuk diperlakukan seperti itu dengan sahabatku. Bahkan diakhiri dengan sebuah kalimat yang ia lontarkan sambil berlutut dengan satu kaki di depanku. Di akhir lagu.
"Would you be mine?"
Ah! Lagi-lagi bayangan itu menerjang hatiku. Ternyata tidak mudah untuk melupakan seseorang yang telah pergi meninggalkan kita. Andai saja waktu itu aku menerimanya, mungkin sekarang aku tidak menyesal. Sampai kapan aku harus hidup dengan rasa bersalah ini?
"Mungkin memang ku cinta
Mungkin memang ku sesali
Pernah tak hiraukan rasamu
Dulu.."
"Amy..."
Aku menoleh ke belakang ketika aku mendengar suara berat di belakangku. "Alvin?"
"Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku lagi sambil berdiri menghadap ke arahnya.
"Cakka adalah sahabatku. Tidak baik kalau aku tidak sering-sering menjenguknya, kan?" kata Alvin. Kemudian, ia berjongkok di hadapan makam yang sejak tadi kutatap. Ia mengelus batu nisan yang tertancap di tanah, kemudian menoleh ke arahku. "Aku juga ingin meminta maaf kepadamu. Soal hubungan kita dulu."
"Aku tau kamu mencintai dia, Vin. Aku tak bisa menyalahkanmu, kan?" kataku sambil tersenyum. Akupun ikut berjongkok di sebelahnya sambil menatap makam itu. "Lagipula, berkat kau, aku bisa menyadari ternyata aku mencintai sahabatku sendiri. Sayang sekali aku terlambat."
Alvin diam. Kurasa dia merasa bersalah karena pernah meninggalkanku untuk perempuan lain semasa sahabatku, Cakka, masih hidup. Namun, andai saja dulu aku tak berpasangan dengan Alvin, aku tak akan merasakan bagaimana sakitnya ditinggalkan Alvin, Cakka juga tidak akan memaksaku untuk datang ke konsernya, aku tidak akan menolak Cakka dan aku tidak akan merasakan penyesalan ini. Mungkin kisah kami bertiga adalah sebuah siklus kehidupan untuk menjadi anak yang lebih baik.
Cinta memang buta. Mungkin aku terlalu menyayangi Alvin yang begitu tampan, kaya dan juga baik hati kepadaku, hingga aku mengabaikan Cakka yang sejak dulu mati-matian menarik perhatianku. Ah, bukan itu saja. Cakka sudah berusaha untuk mengingatkanku bahwa Alvin bukan yang terbaik untukku, namun aku selalu marah kepadanya. Bodoh sekali.
"Kudengar, Cakka nekat pergi ke rumahmu untuk meminta maaf setelah kamu menolak dan memarahinya?" tanya Alvin sambil menatap ke arah makam itu kembali. "Nekat sekali kau, bro... Padahal, waktu itu sedang badai."
Aku mengangguk pelan. Hatiku pedih sekali jika mengingat-ingat kejadian itu. "Sayang sekali hujan dan petir harus mengakhiri hidupnya. Mengerikan sekali kecelakaan itu."
"Kau menyesal?"
"Andai aku masih diberi kesempatan untuk hidup bersamanya, aku pasti akan menarik penolakanku waktu itu. Aku ingin membuatnya bahagia."
Alvin menyinggungkan senyumnya mendengar ucapanku. Ia menolehkan kepalanya kepadaku. "Setelah kau mengaku padanya bahwa kau juga menyayanginya di sini, dia pasti akan bahagia, My."
"Aku hanya ingkari Kata hatiku saja... Tapi mengapa cinta datang terlambat.."
Sumber Dari : http://komunitasceritapenulis.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment