Gadis kecil ini kembali pulang setelah 7 tahun lalu ditelan tsunami.
VIVAnews – Tanggal 26 Desember 2011, hanya selisih sehari setelah perayaan Natal 25 Desember, warga Aceh memperingati tragedi memilukan tujuh tahun silam, ketika gempa bumi 9,3 Skala Ritcher dan gelombang tsunami setinggi 9 meter menghantam tanah mereka tanpa ampun.
Tsunami dahsyat itu menyebabkan korban jatuh bergelimpangan. Sebagian di antara mereka terseret ombak dan tak pernah ditemukan lagi hingga saat ini. Tujuh tahun telah berlalu dan Aceh telah bangkit dari dukanya. Tapi siapa sangka, ternyata tsunami Aceh masih menyisakan kisah mengharu-biru, sekaligus bukti atas keajaiban Tuhan.
Keajaiban Tuhan itu terlihat pada seorang bocah asal Desa Ujong Baroh, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh, yang tujuh tahun lalu ikut terserang tsunami dan menghilang bersama ombak. Bocah itu bernama Meri Yulanda alias Wati.
Wati masih berumur 7 tahun ketika tsunami menerjang desanya, 26 Desember 2004 silam. Ibu Wati, Yusnidar, panik saat gelombang tsunami melanda desa mereka. Di tengah kepanikan hebat yang melandanya, Yusnidar berhasil merangkul ketiga anaknya, termasuk Wati.
Bersama-sama, mereka segera menyelamatkan diri ke daerah yang lebih tinggi. Tapi entah bagaimana, Wati terlepas. Yusnidar pun pasrah menerima kenyataan bahwa sang anak hilang terbawa arus tsunami. Ini adalah cerita tentang Wati yang dimuat pertama kali di laman The Telegraph.
Namun Rabu, 21 Desember kemarin, Wati yang kini sudah menginjak remaja berusia 14 tahun, muncul kembali di kampung halamannya, tepat tujuh tahun setelah menghilang tanpa ada kabar sedikit pun. Seorang kenalan keluarga membawa Wati yang kini berkulit lebih gelap, ke rumah kakek Wati, Ibrahim.
Sang Kakek kemudian membawa Wati ke rumah kedua orang tuanya, Yusnidar dan Yusuf, di Meulaboh. Pertemuan antara orang tua dan anak ini berlangsung penuh haru. Setelah bertahun-tahun mereka berpisah, siapa sangka nasib mempersatukan ketiganya kembali. Yusnidar dan Yusuf mengenali Wati dari tahi lalat dan luka kecil di sikunya.
Sebelumnya, Wati ditemukan sedang duduk termenung di sebuah warung kopi. Saat ditanya oleh penduduk setempat, dia mengaku baru saja tiba dari Banda Aceh dan sedang berusaha untuk pulang kampung. Tapi Wati tak tahu bagaimana caranya. Yang dia ingat hanya nama Ibrahim, sang kakeknya.
Dipaksa Mengemis
Pasca tsunami, Wati yang tersesat ternyata dipingit oleh seorang janda di Banda Aceh, dan dipaksa menjadi pengemis. Wati mengaku, selama dijadikan pengemis di Banda Aceh, ia sering disiksa oleh ibu asuhnya. Wati pun pulang ke Ujong Baroh dalam kondisi pinggang terkilir dan rambut gundul.
Kakek Wati, Ibrahim Nur (60 tahun) menyatakan, Wati mengalami penyiksaan dari ibu asuhnya. Dia dipaksa mengemis di jalan-jalan protokol di Banda Aceh. Menurut Ibrahim, Wati bahkan dipaksa mengemis hingga larut malam.
“Kalau tidak mendapat uang, dipukul,” kata Ibrahim kepada VIVAnews, Jumat 23 Desember 2011. Ia lalu mengenang, saat tsunami terjadi, Wati masih berusia 7 tahun. Ia bersama kakaknya, Yulisa (saat itu berusia 13 tahun) diselamatkan oleh ayah mereka, dan ditempatkan di atas sebuah rumah toko.
“Ayah mereka meninggalkan keduanya untuk menyelamatkan salah seorang tetangga yang hanyut dibawa gelombang. Tapi saat ayah mereka kembali, Wati dan Yulisa telah hilang,” ujar Ibrahim. Kisah Ibrahim ini agak berbeda dengan versi yang dimuat oleh The Telegraph. Tapi intinya, Wati hilang bersama tsunami.
Ibrahim melanjutkan, baru minggu ini ia tahu Wati ternyata selamat dari gelombang tsunami, dan sempat terkatung-katung berhari-hari di Kota Meulaboh. Di Terminal Meulaboh, tutur Ibrahim, Wati bertemu seorang wanita yang membujuknya untuk ikut ke Banda Aceh.
Ibrahim menyatakan, pihak keluarga sudah mencari Wati dan Yulisa hampir ke seluruh wilayah Aceh Barat dan Banda Aceh pada masa tanggap darurat. Upaya pencarian itu, kata Ibrahim, tak membuahkan hasil sehingga kedua kaka-adik itu diyakini hilang.
Meri akhirnya kembali pulang ke pangkuan keluarganya, karena menurut Ibrahim, janda yang mengasuhnya tak sanggup lagi mengurus Wati. Sang janda rupanya merasa merugi karena Wati kerap pulang tanpa membawa uang hasil mengemis.
Ibrahim menuturkan, Wati mengaku tak tahan lagi disiksa dan dipaksa mengemis. Ibu asuhnya lantas mengantar Wati ke Terminal Batoh Banda Aceh, sambil memberikan alamat kedua orang tuanya. Si ibu asuh rupanya mengenal orang tua kandung Wati, karena kakek Wati, Ibrahim, termasuk tokoh ternama di kampungnya.
Sesampai di Terminal Meulaboh, papar Ibrahim, Wati kemudian berjalan kaki tanpa tahu tujuan pasti. Seorang tukang becak kemudian membantunya mencari alamat orang tuanya, sambil mengantar Wati kembali ke rumah, pada Rabu 21 Desember 2011 lalu.
“Wati diantar ke rumah kepala desa, dan setelah diberitahu identitas orang tua Wati, saya dipanggil untuk menjemputnya,” jelas Ibrahim.
Ibu kandung Wati, Yusnidar, yakin seratus persen bahwa Wati adalah anaknya. Keyakinannya itu berdasarkan tanda lahir Wati berupa bercak hitam di pinggul, leher, serta tahi lalat di pelipis kanan. “Yusnidar kan ibunya, tentu punya pandangan sendiri. Kalau saya masih perlu mencari tahu lagi,” kata Ibrahim.
Kini, untuk memperingati kembalinya Wati, sekaligus untuk memperingati tujuh tahun tsunami, pihak keluarga akan menggelar syukuran selama dua hari berturut-turut, dimulai sejak Minggu 25 Desember 2011 ini. Pihak keluarga berdoa, semoga kembalinya Wati membuat kakak Wati, Yulisa, turut kembali.
Polisi saat ini sedang mengembangkan kasus Wati untuk melacak keberadaan ibu asuhnya yang telah menyiksa dan memaksa Wati menjadi pengemis selama tujuh tahun terakhir. Polisi telah meminta keterangan Ibrahim dan kedua orang tua kandung Wati. (sj)
Tsunami dahsyat itu menyebabkan korban jatuh bergelimpangan. Sebagian di antara mereka terseret ombak dan tak pernah ditemukan lagi hingga saat ini. Tujuh tahun telah berlalu dan Aceh telah bangkit dari dukanya. Tapi siapa sangka, ternyata tsunami Aceh masih menyisakan kisah mengharu-biru, sekaligus bukti atas keajaiban Tuhan.
Keajaiban Tuhan itu terlihat pada seorang bocah asal Desa Ujong Baroh, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh, yang tujuh tahun lalu ikut terserang tsunami dan menghilang bersama ombak. Bocah itu bernama Meri Yulanda alias Wati.
Wati masih berumur 7 tahun ketika tsunami menerjang desanya, 26 Desember 2004 silam. Ibu Wati, Yusnidar, panik saat gelombang tsunami melanda desa mereka. Di tengah kepanikan hebat yang melandanya, Yusnidar berhasil merangkul ketiga anaknya, termasuk Wati.
Bersama-sama, mereka segera menyelamatkan diri ke daerah yang lebih tinggi. Tapi entah bagaimana, Wati terlepas. Yusnidar pun pasrah menerima kenyataan bahwa sang anak hilang terbawa arus tsunami. Ini adalah cerita tentang Wati yang dimuat pertama kali di laman The Telegraph.
Namun Rabu, 21 Desember kemarin, Wati yang kini sudah menginjak remaja berusia 14 tahun, muncul kembali di kampung halamannya, tepat tujuh tahun setelah menghilang tanpa ada kabar sedikit pun. Seorang kenalan keluarga membawa Wati yang kini berkulit lebih gelap, ke rumah kakek Wati, Ibrahim.
Sang Kakek kemudian membawa Wati ke rumah kedua orang tuanya, Yusnidar dan Yusuf, di Meulaboh. Pertemuan antara orang tua dan anak ini berlangsung penuh haru. Setelah bertahun-tahun mereka berpisah, siapa sangka nasib mempersatukan ketiganya kembali. Yusnidar dan Yusuf mengenali Wati dari tahi lalat dan luka kecil di sikunya.
Sebelumnya, Wati ditemukan sedang duduk termenung di sebuah warung kopi. Saat ditanya oleh penduduk setempat, dia mengaku baru saja tiba dari Banda Aceh dan sedang berusaha untuk pulang kampung. Tapi Wati tak tahu bagaimana caranya. Yang dia ingat hanya nama Ibrahim, sang kakeknya.
Dipaksa Mengemis
Pasca tsunami, Wati yang tersesat ternyata dipingit oleh seorang janda di Banda Aceh, dan dipaksa menjadi pengemis. Wati mengaku, selama dijadikan pengemis di Banda Aceh, ia sering disiksa oleh ibu asuhnya. Wati pun pulang ke Ujong Baroh dalam kondisi pinggang terkilir dan rambut gundul.
Kakek Wati, Ibrahim Nur (60 tahun) menyatakan, Wati mengalami penyiksaan dari ibu asuhnya. Dia dipaksa mengemis di jalan-jalan protokol di Banda Aceh. Menurut Ibrahim, Wati bahkan dipaksa mengemis hingga larut malam.
“Kalau tidak mendapat uang, dipukul,” kata Ibrahim kepada VIVAnews, Jumat 23 Desember 2011. Ia lalu mengenang, saat tsunami terjadi, Wati masih berusia 7 tahun. Ia bersama kakaknya, Yulisa (saat itu berusia 13 tahun) diselamatkan oleh ayah mereka, dan ditempatkan di atas sebuah rumah toko.
“Ayah mereka meninggalkan keduanya untuk menyelamatkan salah seorang tetangga yang hanyut dibawa gelombang. Tapi saat ayah mereka kembali, Wati dan Yulisa telah hilang,” ujar Ibrahim. Kisah Ibrahim ini agak berbeda dengan versi yang dimuat oleh The Telegraph. Tapi intinya, Wati hilang bersama tsunami.
Ibrahim melanjutkan, baru minggu ini ia tahu Wati ternyata selamat dari gelombang tsunami, dan sempat terkatung-katung berhari-hari di Kota Meulaboh. Di Terminal Meulaboh, tutur Ibrahim, Wati bertemu seorang wanita yang membujuknya untuk ikut ke Banda Aceh.
Ibrahim menyatakan, pihak keluarga sudah mencari Wati dan Yulisa hampir ke seluruh wilayah Aceh Barat dan Banda Aceh pada masa tanggap darurat. Upaya pencarian itu, kata Ibrahim, tak membuahkan hasil sehingga kedua kaka-adik itu diyakini hilang.
Meri akhirnya kembali pulang ke pangkuan keluarganya, karena menurut Ibrahim, janda yang mengasuhnya tak sanggup lagi mengurus Wati. Sang janda rupanya merasa merugi karena Wati kerap pulang tanpa membawa uang hasil mengemis.
Ibrahim menuturkan, Wati mengaku tak tahan lagi disiksa dan dipaksa mengemis. Ibu asuhnya lantas mengantar Wati ke Terminal Batoh Banda Aceh, sambil memberikan alamat kedua orang tuanya. Si ibu asuh rupanya mengenal orang tua kandung Wati, karena kakek Wati, Ibrahim, termasuk tokoh ternama di kampungnya.
Sesampai di Terminal Meulaboh, papar Ibrahim, Wati kemudian berjalan kaki tanpa tahu tujuan pasti. Seorang tukang becak kemudian membantunya mencari alamat orang tuanya, sambil mengantar Wati kembali ke rumah, pada Rabu 21 Desember 2011 lalu.
“Wati diantar ke rumah kepala desa, dan setelah diberitahu identitas orang tua Wati, saya dipanggil untuk menjemputnya,” jelas Ibrahim.
Ibu kandung Wati, Yusnidar, yakin seratus persen bahwa Wati adalah anaknya. Keyakinannya itu berdasarkan tanda lahir Wati berupa bercak hitam di pinggul, leher, serta tahi lalat di pelipis kanan. “Yusnidar kan ibunya, tentu punya pandangan sendiri. Kalau saya masih perlu mencari tahu lagi,” kata Ibrahim.
Kini, untuk memperingati kembalinya Wati, sekaligus untuk memperingati tujuh tahun tsunami, pihak keluarga akan menggelar syukuran selama dua hari berturut-turut, dimulai sejak Minggu 25 Desember 2011 ini. Pihak keluarga berdoa, semoga kembalinya Wati membuat kakak Wati, Yulisa, turut kembali.
Polisi saat ini sedang mengembangkan kasus Wati untuk melacak keberadaan ibu asuhnya yang telah menyiksa dan memaksa Wati menjadi pengemis selama tujuh tahun terakhir. Polisi telah meminta keterangan Ibrahim dan kedua orang tua kandung Wati. (sj)
0 comments:
Post a Comment