RSS
Container Icon

::. Bablu Jatav : Pria India Yang Menarik Becak Sambil Menggendong Bayinya .::

Berikut ini adalah kisah nyata mengenai seorang ayah yang menjadi orangtua tunggal bagi anak semata wayangnya. Ia menjadi orangtua tunggal setelah istrinya meninggal pasca melahirkan. Dengan hanya bekerja sebagai penarik becak (rickshaw) ia berjuang untuk membesarkan anaknya.


Organisasi kesehatan dunia (WHO) kemungkinan akan menerbitkan sebuah buletin berisi kisah Bablu Jatav, seorang penarik becak berusia 38 tahun dari distrik Bharatpur India. Shanti istrinya meninggal dunia pada tanggal 20 September tahun lalu (2012), saat melahirkan Damini, anak pertama mereka.

Karena Bablu Jatav hidup seorang diri dan jauh dari sanak saudara serta teman yang dapat dimintai bantuan untuk merawat dan mengasuh bayi perempuannya (Damini) yang baru berusia 1 bulan ini, maka Bablu pun memutuskan untuk merawat Damini sendiri sebagai ayah dan sekaligus pengganti ibu bagi anaknya.

Dan yang memilukan adalah karena tidak adanya orang yang dapat dimintai bantuan untuk menitipkan Damini saat Bablu bekerja, maka setiap hari Bablu harus menarik becak sembari menggendong Damini yang baru berusia 1 bulang tersebut dalam kain gendongan yang diselempangkan di pundaknya, dibawah teriknya panas matahari di Bharatpur.

Pekerjaan memandikan anak, menyuapi makanan, memberikan susu, mengganti popok, dan juga hal-hal lain yang harus dilakukan dalam merawat bayi, harus dilakukan oleh Bablu disela-sela kesibukannya sebagai penarik becak, seringkali hal ini juga membuatnya kurang istirahat karena harus menidurkan anaknya setiap kali terbangun ditengah malam.


Teriknya matahari debu jalanan serta hiruk pikuk jalanan, membuat Damini sakit parah. Damini kemudian dilarikan ke sebuah rumah sakit swasta di Jaipur di negara bagian Rajasthan. Pihak rumah sakit menyatakan Damini menderita gangguan pernapasan, syok karena pengaruh lingkungan, gagal ginjal, gangguan elektrolit dan jamur septikemia (suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya patogen dalam darah)

Bablu Jatav yang hanya berpenghasilan pas-pasan tentu saja harus berkerja lebih keras lagi untuk mampu membiayai perawatan Damini, sedangkan untuk menyewa becak saja ia harus menyisihkan 30 rupee, plus setiap bulan ia secara rutin harus menyisihkan 500 rupee untuk sewa rumahnya, belum lagi biaya hidup hariannya, maka akan menjadi lebih berat saat ia harus menyisihkan lagi uang tambahan bagi biaya perawatan Damini.


Berita mengenai perjuangan Bablu rupanya cepat menyebar di India, hingga situs BBC Hindi memuat kisahnya. Sehingga datanglah berbagai tawaran bantuan untuk Bablu. Dalam sebuah wawancara dengan media lokal Bablu mengatakan bahwa ia masih takut menikah lagi, karena putri semata wayangnya masih kecil, dan ia tidak bisa mempercayakannya pada orang yang baru ia kenal.

Damini adalah buah hati yang sangat dinanti-nantikan setelah 15 tahun ia menikah dengan Shanti. Ia merasa sangat sedih dan terpukul karena Shanti harus pergi meninggalkannya saat buah hati yang didambakannya hadir. Bablu memutuskan untuk membesarkan Damini sekuat tenaganya agar kepergian dan pengorbanan Shanti dalam memberikan buah hati untuknya tidaklah sia-sia.

"Saya tidak butuh apa-apa bagi diri saya sendiri, semua saya berikan untuk putri saya. Saya memang buta huruf tapi saya ingin mengirimnya ke sekolah yang baik. Saya juga ingin memberikan pesan kepada orang-orang yang meninggalkan anak perempuan, bahwa anak perempuan tidaklah menjadi beban, melainkan berkat Tuhan, “kata Bablu seperti dikutip dari media First Post.

Pemerintah daerah wilayah Rajashtan dan beberapa donor swasta berhasil menggalang dana bantuan untuk biaya perawatan Damini, dan juga memberikan sebuah becak baru bagi Bablu.
Beberapa LSM bahkan menawarkan untuk merawat Damini setidaknya untuk 2 tahun kedepan.


Perjuangan Bablu Jatav, tampaknya menuai hasil yang manis . . . . perjuangan tulus dan niat baik, mampu mendatangkan kebaikan pula.


Sumber Dari : http://www.astrodigi.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

::. Siti Aisyah : 3 Tahun Merawat Ayah Yang Mengidap Penyakit Paru-paru di Atas Becak .::


Wajah Siti Aisyah Pulungan terlihat sedikit bahagia. Bocah usia delapan tahun ini pun banyak menaruh harapan. Beban penderitaan yang dirasakan selama hampir dua tahun itu, dirasakan mulai berkurang. Tidak lagi merawat ayah tercintanya, Muhammad Nawawi Pulungan, yang tak berdaya tidur di atas becak barang,

Selama ini, ayah Aisyah itu hanya tergeletak di atas becak. Badannya yang kurus kering tidak mampu untuk bangkit. Aisyah merawat ayahnya itu meski hanya mengandalkan air minum dan mencari makan dari belas kasihan orang. Aisyah tidak pernah mengeluh.

"Dulu aku pernah duduk di bangku kelas satu sekolah dasar di kawasan Halat. Tapi saya berhenti sekolah karena merawat ayah yang sakit. Kami tidak punya tempat tinggal," ujar Aisyah kepada SP saat ditemui di Rumah Sakit Umum (RSU) Dr Pirngadi Medan, Kamis (20/3).

Selama hampir tiga tahun itu, Aisyah setia merawat Nawawi. Saban hari, mereka mengharapkan belas kasihan dari dermawan ketika melewati Masjid Raya kawasan Jl Sisingamangaraja Medan, yang tidak jauh dari lokasi Istana Maimun Medan.

"Jika malam tiba, saya bersama ayah tidur di atas becak. Kami tidur di depan pertokoan dan salon. Pagi hari, saya ambil air dari masjid, begitu juga sore harinya. Air itu buat membersihkan badan ayah, biar tidak merasa kegerahan, dan supaya tubuhnya tetap terlihat bersih," katanya.

Karena Nawawi sakit, Aisyah lah yang selalu mengayuh becak setiap harinya. Tidak sedikit orang yang melihat pemandangan memilukan tersebut. Ada yang menaruh rasa kasihan saat melihat kisah hidup ayah dan anak itu. Warga yang prihatin selalu memberikan bantuan makanan, minuman dan uang.

Namun, tidak sedikit pula di antara masyarakat yang melihat kejadian tersebut menganggapnya pemandangan biasa saja. Bahkan, Aisyah kerap kali harus memanjat tembok untuk mengambil air dari masjid. Itu dia lakukan supaya pejabat yang salat, tidak melihatnya.

"Aku sengaja membawa ayah untuk menghindari pemandangan pejabat. Ini kulakukan agar kami tidak diusir dari tempat biasa mencari nafkah. Setiap hari, saya dan ayah di trotoar kawasan Masjid Raya itu. Malamnya, kami pergi dan tidur di depan pertokoan maupun rumah orang," ungkapnya.

Tubuh kurus Aisyah pun tidak menghalangi semangatnya membawa ayahtercintanya. Anak malang ini tidak mengenal wajah ibunya yang bernama Sugiarti. Sejak berusia satu tahun, Aisyah ditinggalkan bersama Nawawi. Sugiarti meninggalkan suami dan anaknya itu karena faktor ekonomi.

Selama menjalani kehidupan berat tersebut, Aisyah tidak pernah menyerah. Demi Nawawi dia mengaku tidak pernah mengeluh tidur di atas becak. Becak itu merupakan harta paling berharga. Jika ban bocor, Aisyah mengharapkan bantuan tukang tempel ban untuk menambalnya.

Dzulmi Eldin (Plt Walikota Medan)
Kebahagiaan Aisyah mulai terpancar dari raut wajahnya ketika Pelaksana tugas Wali Kota Medan, Dzulmi Eldin akhirnya menerima laporan. Eldin langsung melakukan pengecekan, dan melihat langsung kisah memilukan tersebut. Nawawi yang dalam kondisi lemas diboyong ke rumah sakit.

Aisyah pun juga dibawa. Pihak medis pun memberikan pertolongan. Nawawi ternyata sudah lama mengidap penyakit paru-paru. Usai menjalani pemeriksaan di unit gawat darurat, Nawawi langsung dibawa ke dalam Ruang Flamboyan 18. Aisyah masih setia mendampinginya.

"Dulu anak ini pernah sekolah namun terpaksa berhenti. Anak malang ini masih sangat menginginkan untuk sekolah lagi. Mulai besok, dia dapat sekolah di SD Purwo, yang tidak jauh dari rumah sakit ini. Pulang sekolah, dia bisa mendampingi ayahnya. Jadi, mereka terus bersama," ujar Eldin.

Dalam kesempatan itu, Eldin yang kembali menyambangi Nawawi dan Aisyah di rumah sakit. Eldin memberikan bantuan pakaian seragam sekolah, buku, tas dan alat tulis untuk perlengkapan sekolah anak malang tersebut. Eldin merasa iba dengan melihat kehidupan anak itu.


"Biaya perawatan Nawawi selama di rumah sakit dan biaya pendidikan buat Aisyah akan ditanggung oleh pemerintah. Aisyah memang harus mendapatkan pendidikan yang layak. Bahkan, kita merencanakan mempersiapkan rusunawa buat tempat tinggal mereka," ungkapnya.

Kisah Aisyah ternyata mengundang banyak perhatian. Tidak sedikit yang memberikan bantuan, bahkan ada yang merencanakan menggalang dana melalui perkumpulan pengusaha dermawan supaya membantu Aisyah. Ada komite donatur yang dipimpin Cahyo Pramono untuk mendesain bantuan buat Aisyah. Buat dermawan yang ingin membantu, bisa langsung melakukan komunikasi dengan Cahyo di nomor 0811638383.

Pengamat sosial di Medan, Badaruddin menyampaikan, kisah pilu Aisyah bersama ayahnya, harus menjadi perhatian semua orang. Bahkan, pemerintah diminta tidak hanya berjanji untuk memberikan tempat tinggal. Sebab, perjalanan hidup bapak dan anak itu masih panjang.


"Selain memberikan pendidikan gratis, perawatan gratis selama di rumah sakit, pemerintah juga harus memikirkan upaya menyambung hidup bapak dan anak tersebut. Misalnya, Nawawi setelah sembuh diberikan pekerjaan untuk menafkahi anaknya, atau diberikan modal untuk berjualan," jelasnya.

Dia mengkhawatirkan, kisah pilu ini akan terjadi lagi jika pemerintah tidak mempertimbangkan hal tersebut. Sebab, kisah Aisyah merupakan bagian dari segelintir kasus anak yang terpaksa menjalani hidup keras di tengah perkotaan. Lembaga untuk penanganan anak pun diharapkan mempunyai peranan.

Menurut Dewi (40), salah seorang warga di seputaran Jl Mahkamah Medan, Aisyah bersama Nawawi sudah sangat lama hidup terlunta-lunta. Masyarakat di sana sering memberikan bantuan buat bapak dan anak tersebut. Bahkan, keduanya tidak dilarang ketika memarkirkan becak di depan rumah.


"Kalau untuk memberikan bantuan nasi dan makanan sudah sering diberikan. Kita semua kasihan melihatnya. Kami juga bersyukur karena pada akhirnya pemerintah mau membantu Nawawi dan Aisyah. Semoga janji pemerintah direalisasikan, sehingga Aisyah dan ayahnya bisa merasakan tidur di rumah barunya," harapnya.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

::. Hajjah Zakia : Ibunda Para Syuhada ( Ummu Asy-Syuhada ) .::


Setelah menempuh waktu dua bulan pencarian Tidak ada seorang pun yang tertinggal kecuali pasti kami tanyakan tentang Ummu Asy-Syuhada namun jawaban yang kami dapatkan simpang siur. Ada yang mengatakan ia telah menghilang atau meninggal. Informasi lain menyebutkan ia telah pergi menuju sebuah perkampungan dipinggir Falujjah untuk melihat anak perempuannya.


Ummu Asy-Syuhada, umurnya 62 tahun, ibu dari tiga perwira Islam; Ahmed, Muheeb dan Umar. Putra-putra itu semua telah syahid (Insha Allah) dalam perang kedua di Falujjah.

Ia tinggal seorang diri di sebuah rumah mungil di Falujjah menghabiskan umurnya dengan bekerja bercucuran keringat – meskipun di usianya yang senja, membuat beberapa sapu untuk kemudian dijual di daerah-daerah sekitar. Ia menolak semua bantuan yang diberikan padanya baik dari pedagang dan orang kaya di Falujjah. Ia juga dikenal sebagai seorang yang do'anya senantiasa terkabul. 

Anda akan menemukan orang-orang mengunjunginya untuk memintanya mendo'akan mereka setiap harinya. Banyak dari mereka adalah wanita yang akan melahirkan atau mereka yang akan pergi bersafar, sakit dan bahkan ada pula para mujahidin. Para mujahidin itu datang padanya sebelum operasi dilakukan, memintanya untuk berdo'a pada Allah SWT agar menepatkan tembakan dan melindungi mereka.

Kami menuju rumahnya dan ia sedang memperbaiki beberapa sapu di kebun. Kebunnya sempit namun asri dengan pohon palm nan hijau menghiasi serta lima ekor ayam yang setia menemaninya.

“Assalamu’alaikum, wahai amah (bibi)!”
“Walaikumussalam warahmatullaahi wabarakatuh. Ahlan anakku, masuklah!.”

Kami masuk kedalam rumah lalu duduk di permadani yang dibuat dari bulu domba. Ummu Asy-Syuhada melihat kamera dan buku catatan yang kami bawa, segera ia meletakkan apa yang ada ditangannya di sisi tubuhnya sembari berucap ramah: “Selamat datang anakku, apakah ada yang bisa saya bantu.”

“Amah, Kami dari ***** , kami ingin mendengar tentang kisah Falujjah selama peperangan yang kedua dari anda jika tidak keberatan.”

Disini Ummu Asy-Syuhada memandang keheranan dan mengatakan : ***** ?Dari mana kalian berasal? Aku tidak pernah mendengar tentang nama itu di televisi”

“Oh Ummi, itu adalah sebuah situs Islam di internet yang memperhatikan umat Muslim di Iraq dan negari-negeri muslim lainnya.”

Ummu Asy-Syuhada tertawa dan mengatakan “Wallahi anakku, aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Bagaimanapun, aku persilahkan untuk bertanya dan aku akan menjawabmu Insha Allah”

“Kami ingin anda bercerita tentang peperangan Falujjah yang kedua.”

Secara reflek sang wartawan segera memfokuskan lensa kamera kearah Ummu Asy-Syuhada, bagaimanapun ia tidak berniat untuk merekam Ummu Asy-Syuhada.

Sejurus Ummu Asy-Syuhada mengatakan “Wallahi anakku, aku tidak suka kamera ini. haram bagiku dan aku adalah ibumu, seorang wanita yang terjaga. Tidak peduli setua apapun aku, aku tetap seorang wanita dan aku tidak mengizinkan apa yang telah Allah larang untuk wanita.”

Hajjah Zakia Ummu Asy-Syuhada memulai menceritakan kisahnya:

“Aku adalah seorang wanita tua di Falujjah yang percaya bahwa Allah SWT adalah benar, sehingga Allah memberi cobaan pada hambanya yang perempuan dan laki-laki…. dan aku memohon dari-Nya semoga ia menerima agar aku dapat melewati cobaan melelahkan ini, demi Allah.

Suamiku telah wafat sepuluh tahun yang lalu, ia seorang suami yang sangat baik, semoga Allah merahmatinya. Aku dikaruniai tiga anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Mereka adalah Ahmad, Muheeb, Umar dan Khulood. Ahmad yang tertua, usianya tiga puluh lima tahun disusul Khulood, Muheeb dan si bungsu Umar. Suamiku dan aku mengabdikan diri kami untuk membesarkan mereka, memperhatikan mereka dan melihat pertumbuhan mereka.

Ayah mereka - semoga Allah menempatkannya di Jannah- turun langsung mendidik sampai mereka dewasa hingga lulus kuliah. Mereka tetap menjaga kedekatan pada masjid sejak kecil hingga mereka meninggal. Mereka bergabung dengan kelompok mujahidin di Falujjah setelah berhenti bekerja.

Kisah ini adalah kisah keluarga yang mengawali kisah Falujjah sehingga menjadi sebuah cerita yang panjang. Aku akan meringkas kisah ini karena aku sedang berpuasa dan aku pun memiliki banyak pekerjaan di rumah, terlebih ada orang-orang yang sudah membayarku untuk memperbaiki sapu-sapu mereka.

Sepekan sebelum pertempuran kedua di Falujjah, aku bercengkrama dengan anak-anak laki-lakiku Ahmad, Muheeb dan Umar, semoga Allah SWT merahmati mereka, di rumah tua kami di daerah Al-Shuhda’a (Asy-Syuhada -ed). Ketika itu sore hari, kami minum teh bersama-sama. Mereka sedang mencoba membujukku untuk pergi ke rumah saudari perempuan mereka di sebuah kampung di luar Falujjah. Mereka mengkhawatirkan keselamatanku karena pertempuran yang akan datang. Amerika, Syiah dan Kurdis, mereka bergabung seperti serangga mengepung empat gerbang Falujjah.

Aku menolak usulan ini dan mereka, semoga Allah SWT merahmati mereka, merengek padaku agar mau pergi, terutama Umar, yang terkecil di antara anak laki-lakiku. Ia mengatakan padaku: 
Wahai ummi, tinggalkanlah Falujjah dan tinggalkan kami untuk bertempur sementara itu hati kami tenang akan dirimu. Pergilah, atau aku akan memaksa membawamu dengan mobil pickup.

Ia membujukku, semoga Allah SWT merahmatinya. Umar memiliki sifat periang dan semua teman-temannya mencintainya karena pancaran cahayanya. Bahkan ia memanggilku hajji bukan hajjah sembari berkata: “Keberaniamu adalah untuk pria bukan untuk wanita

Semua bujuk rayu mereka aku tolak mentah, aku katakan : “Aku akan tetap tinggal dan memasak untuk mu, untuk kelompokmu dan merawat lukamu. Aku tidak akan meninggalkan Falujjah selama kamu ada di dalamnya. Wallahi, aku tidak dapat meniggalkan hatiku di Falujjah dan pergi begitu saja

Melihat ketetapanku, mereka meniggalkan ku seorang diri, semoga Allah SWT merahmati mereka, dan keputusan terakhir kami adalah kami tetap tinggal di Falujjah sampai akhir pertempuran, baik memperoleh kemenangan maupun kesyahidan. Alhamdulillah putera-puteraku mendapatkan salah satu yang kita harapkan, mencapai kesyahidan.

Ahmad, Muheeb dan Umar, masing-masing mereka berada dalam kelompok yang berbeda dan mereka mendiskusikan diantara mereka sendiri tentang sebuah rencana untuk tetap menjaga komunikasi selama pertempuran.

Aku mendengar percakapan mereka dengan sedih sebagaimana aku mengenang mereka ketika mereka masih kanak-kanak, bagaimana ayah mereka memegang mereka dan bermain dengan mereka, bagaimana mereka tumbuh, bagaimana mereka melewati bangku sekolah dan diakhiri bagaimana janggut dan kumis mereka tumbuh.

Sampai-sampai aku mengenang masing-masing dari mereka bagaimana mereka merencanakan rencana pertama hidup mereka. Aku juga mengenang kegembiraanku saat hari pertama mereka melangkah, dan ketika gigi pertama mereka tumbuh dan aku mentahnikkan jari ku pada mereka untuk di kunyah dan kemudian tertawa pada mereka. Juga hari pertama mereka di sekolahdengan tas mungil mereka.

Aku menangis dalam sepi, khawatir bercampur keraguan. Sebelumnya aku yakin bahwa mereka akan syahid dalam pertempuran. “Beritahu padaku, apa yang anda pikirkan jika semua anak-anakmu meninggal, maka apa yang akan kau lakukan?”

Dengan kesedihan dan pilu ini, aku tetap berdoa pada Allah SWT bahwa ia akan mengambil jiwa ku juga sehingga dukaku kan lenyap dan aku tidak merasakan lagi lara anak-anakku. Ummu Asy-Syuhada menitikkan air mata yang mengalir jatuh mengikuti keriput wajahnya, tangisan tanpa suara dan sejujurnya, kami pun menangis bersama.

Tiba-tiba ia berdiri dan berkata lirih: “Permisi, aku mau melihat sup, aku khawatir gosong.”

Kami mengetahui ia tidak pergi ke dapur, kami mendengar tangisnya di sebuah ruangan dengan jendela yang menghadap kebun. Tangisan- yang berbeda dari tangisan perempuan yang meraung- do'a datang dari wanita renta ini yang memanjatkan:

“Allahuma yang Maha Merajai dan Mengurusi siapa saja orang yang datang padanya dan janganlah menolak mereka ataupun tidak mengabulkan permintaan mereka bahkan jika mereka dihukum untuk mati. Ya Allah dan Engkaulah Raja dari Segala Raja, aku berdiri disini, di pintumu untuk memohon pada-Mu agar mengambil jiwaku karena kerinduanku pada putera-puteraku dan suamiku. Tidak satupun yang akan membuatku bertahan di kehidupan ini. Ya Allah, janganlah menolakku, seorang janda miskin yang semua puteranya telah tiada. Ya Allah yang Maha Menyanggupi, janganlah biarkankan aku ternggelam dalam kesedihan.”

Beberapa menit kemudian Ummu Asy-Syuhada kembali, matanya memerah karena tangis. Ia bersandar pada sebuah tongkat yang tidak ia gunakan ketika pertama kali tadi kami melihatnya dan seakan tubuhnya ambruk karena tangisan dan kelemahan. Dengan senang ia mengatakan: “Gas yang kami gunakan untuk kompor itu telah habis dalam satu hari. Aku yakin mereka menipu kita dan menjualnya kepada kita dengan harga yang tinggi. Semoga Allah memaafkan mereka.” Wanita tua itu tidak mengetahui bahwa kami mendengar tangisan dan doanya.

Ia melanjutkan kisahnya: “Pada tanggal 11 Juli 2004 terjadi pemboman sporadis dan intensif sebagai upaya untuk menembus benteng Falujjah dari utara. Mereka melemparkan bom-bom yang sangat menyala. Saat itu pukul sebelas malam, aku sedang sendirian dirumah dan aku memulai membaca apa yang aku hafal dari Al-Qur’an sampai aku menyelesaikan semua surat-surat pendek yang aku hafal. Kemudian aku bangun untuk berdoa pada Allah, yang pertama untuk kemenangan dan yang kedua agar ia melindungi putera-puteraku. Aku tidak tertidur malam itu, hingga waktu fajr.

Aku merasa Umar berdiri di dekat kepalaku saat aku berada di atas sajadah. ia mengatakan padaku : “Oh ummi, aku melihatmu tidak tidur. Kami semua baik-baik saja dan aku bersama Muheeb dan Ahmad, mereka semua baik-baik saja dan mereka ingin engkau membuat cukup makanan dan teh untuk empat belas Mujahidin. Apa yang engkau pikirkan, tidakkah engkau menginginkan pahala?”

Wallahi, aku sangat bahagia dengan tamu-tamuku sehingga dengan cepat pergi kedapur dan menyiapkan makanan yang cukup untuk empat belas pria. Teh dan roti panas aku siapkan dengan cepat.

Aku keluar dengannya dengan cepat ke pintu dan membantunya untuk membawakan makanan ke dalam mobil. ia mengatakan: “Oh ummi, makan siang ini atas mu, saudaraku Muheeb menjadi sukarelawan makan siang bagi Mujahidin Arab.”

Aku sholat Fajar dan berdoa pada Allah SWT agar ia melindungi mereka semua. Sementara itu Falujjah masih tetap menjadi target serangan pesawat dan rudal Amerika. Setiap terjadi ledakan, atap diatas kepalaku seoalah-olah akan runtuh. Aku kembalikan kepada Allah dengan Do'a dan Al-Qur’an. Aku akan menyiapkan makan siang untuk mereka.

Muheeb datang dan mencium tanganku sebagaimana yang biasa ia lakukan. ia meminta padaku jika saudara-saudaranya datang, mereka harus bertemu dengannya, penting pesannya. Aku bertanya padanya tentang masalah itu dan ia menjawab “Ummi, hanya soal sederhana. Tak perlulah engkau risaukan.”

Segera ia berlalu. Pandangan mataku mengikutinya hingga ia jauh. Muheeb dikaruniai badan yang tinggi dan kekar. semoga Allah SWT merahmatinya.

Hari berikutnya – dan aku telah memanggang lebih dari dua ratus roti sampai tanganku kelelahan menguleni adonan dan aku pun menyiapkan dua panci besar nasi dan rebusan – Anak-anakku semua datang dan tinggal denganku hingga jam satu malam. Aku menciumi mereka seolah-olah mereka masih kecil dan aku terus memandang mereka dengan erat seolah aku tahu bahwa aku tidak akan melihat mereka lagi setelah hari itu.

Wallahi, aku tidak akan melupakan ciumanku atas mereka selama aku hidup. Ayah mereka wafat dan tidak ada satupun didunia ini yang menggantikannya kecuali anak-anak ini. Wallahi, aku mengenal satu persatu wangi mereka. Setelah satu jam mereka pergi bersama-sama sembari membawa makanan, mereka mencium kening dan tanganku dan mengatakan padaku :

“Wahai ummi, berdo'alah untuk kami karena Allah.”

Aku katakan pada mereka: “Mengapa engkau bersumpah atas nama Allah, aku selalu berdoa untukmu siang dan malam.”

Mereka menjawab: “Bukan untuk kami, tetapi untuk seluruh Falujjah.”

Mereka pergi dan aku tidak pernah melihat mereka kembali, selamanya...

Falujjah melalui banyak malam dengan pertempuran sengit yang dapat membuat seseorang gila. Aku tidak mendengarkan apa-apa melainkan tangisan “Allahu Akbar”, doa dari masjid, serangan dari mujahidin dan tembakan dari penjajah. Setiap hari aku duduk di ambang pintu rumah, jam demi jam melihat kearah jalan berharap kedatangan putera-puteraku. Aku akan bertanya kepada siapapun yang datang di jalan dan berlari kearah mereka: “Hei, Oh salah satu dari kalian, apakah anda melihat Ahmad, apakah anda melihat Muheeb, dan apakah anda melihat anakku Umar?”

UmmuA sy-Syuhada kembali menangis.

“Beberapa dari mereka mengatakan padaku bahwa mereka tidak mengenal anak-anakku dan yang lain mengatakan bahwa mereka tidak melihat. Hanya ada satu orang yang mengabarkan padaku “Ya ummi, Ahmad dan Umar mereka berada di daerah Al-Jumhooriya dan Muheeb berada di daerah An-Nizaal dan mereka dalam keadaan baik.”

Dia segera bergegas berlalu, aku berlari mengikutinya hingga tersandung dan terjatuh. Hidungku terantuk hingga berdarah. Aku memohon padanya untuk menghentikan langkah agar berbicara lebih banyak padaku. Akhirnya ia berhenti dan berkata: “Ibuku, aku telah mengatakan bahwa mereka baik-baik saja dan tidak ada yang salah dengan mereka alhamdulillah, tetapi jangan membuatku terlambat. Aku memiliki pekerjaan yang sangat penting untuk dilakukan. Jika aku melihat mereka lagi aku akan menyampaikan salam anda”.

Ia memberiku ghutrah dan menghiburku: “Hapuslah darahmu wahai Ibu”, kemudian ia pergi.

Kondisi seperti ini terus berlanjut hingga tanggal 12 Desember. Bagaimanapun aku telah memutuskan setelah ini bahwa aku akan menguatkan hatiku, percaya pada Allah SWT dan melakukan sesuatu untuk Mujahidin. Aku mulai menyibukkan diri untuk memasak makanan dan membagi-bagikan minuman diantara para mujahidin Arab. Aku juga membuat perban dari tirai rumah, potongan bahan dari sekitar rumah dan mengambil kapas bantal. Kemudian aku merawat mujahidin yang terluka di peperangan. Dan Alhamdulillah semua yang telah aku rawat kembali ke pertempuran. Jumlah mereka lebih dari dua puluh orang.

Sebelum datang tanggal 12 Desember, yakni pada tanggal 9 Desember- saya yakin, sebagaimana aku menghitung hari-hari semenjak aku dipisahkan dari anak-anakku- hari ini yahudi menyebar bahan kimia yang sangat kuat di sekitar Falujjah, khususnya dipusat kota. Banyak orang syahid sampai senjata kimia itu pun membakar pepohonan dan hewan-hewan. Hal ini menambah kesibukan di pusat kota, dalam beberapa jam puluhan mujahidin mati syahid. Kemudian sebuah isu menyebar diantara Mujahidin dari sumber yang mana sampai sekarang masih belum diketahui. Tapi aku meyakini bahwa hal itu berasal dari seorang agen intel penjajah.

Isu itu mengabarkan bahwa Umar Hadid dan Abdullah Al-Janaabi syahid dalam serangan senjata kimia. Kepanikan diantara kelompok-kelompok menyebar di Falujjah, hanya Allah SWT yang maha mengetahui. Aku mendengar hal ini dari seorang yang sedang ku rawat.

Namun Umar Hadid dan Abdullah Al-Janaabi menampik rumor itu ketika mereka tiba-tiba muncul ditengah-tengah mujahidin di hari itu. Peristiwa ini meningkatkan semangat mujahidin dan memberikan kerugian yang besar atas pekerjaan penjajah, hanya Allah yang Maha Tahu.

Pertempuran dahsyat terus berlangsung antara mujahidin dan rakyatnya melawan aliansi penjajah.Aku mendengar berita ada puluhan syuhada diantara mujahidin. Aku memohon pada Allah untuk menyenangkan mata saya suatu hari nanti dengan melihat tiga putra saya.

Kemudian, saat pukul 11 malam tanggal 12 Desember 2004 hari ahad, disana terjadi pertempuran sengit antara mujahidin dan Amerika yang mencoba untuk merebut daerah Al-Shuhda’a. Pertempuran terjadi sangat dekat dengan rumahku dan aku dapat melihat langit menyala memenuhi api, sebuah pemandangan yang tidak akan aku lupakan di sisa hidupku.

Betapa banyak syuhada yang gugur selama pertempuran ini dan aku mendengar rintihan mereka dekat dengan rumahku. Situasi seperti itu berlangsung kira-kira selama 4 jam, semenjak pukul 11 sampai pukul 3 dini hari, atau kurang sedikit. Selama ini serangan Amerika atas daerah ini gagal. Aku keluar menuju pintu rumah dan aku mendengar raungan datang dari seorang mujahidin yang terluka. ia mengingat Allah SWT dan ia tidak berhenti menyebut laa illaha illaa allah muhammad rasululullah.

Aku bergegas mendekatinya, ternyata dia masih hidup sehingga aku menyeretnya dengan segala kekuatan kedalam rumah. Dia terluka di dada dan wajahnya. Aku bergegas membawakan air dan membersihkan wajahnya dan membalut luka-lukanya sampai pendarahan berhenti. Ia menangis dan aku pikir ia menangis karena rasa sakitnya. Setiap kali ia menatapku dia akan menangis, sehingga aku katakan padanya:

“Percayalah pada Allah, lukamu tidak parah Insha Allah, dapat disembuhkan. Menyadari bahwa anda baik-baik saja adalah hal yang penting. Subuh semakin dekat, kelompok anda akan segera datang kemari, mereka akan membawa mu dan merawatmu. Bagaimanapun biarkan aku pergi dan melihat jika kelompokmu masih ada yang hidup atau tidak.”

Kali ini ia mulai menangis lebih keras, seolah-olah ia tidak ingin ditinggalkan seorang diri, sehingga aku berfikir mungkin ia merasa bahwa kematiannya sudah dekat dan ia tidak ingin mati sendirian. Aku mengatakan bahwa teman-teman yang lain mungkin membutuhkan bantuan, aku akan pergi dan kembali secepat mungkin.

Aku pergi kejalan raya- setelah menyentakkan abayaku dan mengikatnya di pinggang-. Aku memutuskan bahwa aku akan menolong yang terluka terlebih dahulu. Benar aku kemudian menemukan seorang korban berikutnya, orang arab. Aku menyeretnya kedalam rumah dan memulai untuk melakukan apa yang harus dilakukan dengannya. Aku heran ketika ia menyebutku dengan sebutan “Wahai Amah, Ummu Muheeb”. Seolah-olah ia mengenal ku padahal biasanya orang-orang memanggil ku dengan Ummu Ahmad.

Aku menduga ia teman putraku dan mengetahui rumah kami. Dia terluka dari bawah pusarnya, semoga Allah SWT merahmatinya dan ususnya keluar menjulur. Dia mengatakan kepadaku bahwa semua yang ia inginkan hanya beberapa lumpur dari kebun, garam dan perban. Aku memberinya apa yang ia inginkan dan kemudian aku kembali keluar kejalan.

Disana aku menemukan dua mayat, terpisah dua rumah dariku. Aku menyeret yang pertama dengan sekuat tenaga ke rumah dan meletakkannya di kebun. Lalu aku mengambil sekop berniat untuk menggali kuburan untuknya. Dan sungguh aku menggali dengan rentang kedalaman seadanya sepanjang dua meter kemudian aku menimbunnya. Aku hanya ingin ia terkubur secara darurat sampai keluarganya atau temannya datang untuk memindahkan tubuhnya agar dapat menguburkannya lebih tepat sesuai dengan syariah.

Setelah aku menguburkan yang pertama aku sangat kelelahan karena aku terlalu tua untuk menyeret orang yang terluka dan satu jenazah puluhan meter. Namun aku bertawakal kepada Allah SWT dan mengatakan pada diriku sendiri. Semoga Allah SWT akan melindungi anak-anakku dari kematian, sebagai imbalan atas apa yang telah saya lakukan.

Aku keluar menuju jalan lagi dan menemukan satu lagi syuhada yang berbadan besar dan tinggi. Aku mulai perlahan-lahan menariknya dari kakinya. Setelah beberapa menit sampailah aku di kebun rumahku. Disini aku mulai curiga jika aku mengenali syuhada ini – dan kemejanya robek dibagian belakang – juga baunya sangat aku kenali. Saat itu malam hari dan sangat gelap, bahkan aku tidak dapat melihat telapak tanganku. Aku berlari menuju rumah dan menyalakan sebuah lentera, walaupun sesuatu yang membahayakan untuk memancarkan cahaya dari rumah. Hal ini karena pesawat penjajah dapat membom setiap menit.

Ketika aku mendekatkan lentera semakin dekat ke wajah sang syahid yang berlumuran darah dan pasir, aku membeku di tempatku seperti tersambar petir. Aku tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Syuhada yang aku seret kali ini tidak lain adalah Muheeb anakku yang kedua!”


Ummu Asy-Syuhada diam dan tangisnya meledak. Ia berucap: “Wallahi Oh Muheeb kau mematahkan kekuatanku, kau dan saudara-saudaramu meniggalkanku dan pergi begitu saja”. Kemudian ia tersadar; “inna lillahi wa innaa ilayhi raaji’oon” aku telah merencanakan untuk tidak menangis atas mereka dan kali ini adalah ketiga kalinya saya menangisi mereka hari ini”.

Kemudian wanita yang terhentak itu melanjutkan kisahnya: “Aku mengangkat kepalanya dan memeluknya, aku menangisinya dan berbicara dengannya selama sekitar setengah jam seakan-akan ia masih hidup. Aku mengingatnya atas tutur katanya yang baik denganku, kenangan ketika ia masih kecil dan ia tertidur di pangkuanku. Aku membelai lembut rambutnya yang indah sebagai mana yang selalu kulakukan. Aku mengatakan padanya: 


Wahai Muheeb, aku adalah ibumu….tidurlah oh cahaya mataku, tidur dan beristirahatlah dari dunia ini. Engkau telah menang!

Wallahi! Aku tidak ingin melepaskannya dari pangkuanku. Aku menguburkannya dibawah pohon zaitun yang ia cintai dan tempatnya belajar ketika ia masih kecil. Aku membuat lubang yang dalam, aku memutuskan bahwa rumahnya akan menjadi makamnya.

Di pagi hari sekelompok Mujahidin tiba dan aku masih berada di makam Muheeb. Menjaga anakku yang syahid seakan-akan ada orang yang hendak menculiknya. Aku menangisinya dari malam sampai pagi hingga aku menyadari kedatangan mereka setelah mendengar suara mereka di jalan. Aku pergi menemui mereka dan mengenalku. Aku mengetahui bahwa mereka adalah teman-teman Ahmad dan Umar.

Aku bertanya kepada mereka: “Katakan padaku, dimana anak-anakku Ahmad dan Umar?”

Mereka membungkukkan kepala kebawah dan mengatakan: “Oh bibi, ingatlah mereka dengan Allah. Tadi malam Ahmad dan Umar wafat di daerah Nizaal dan kami menguburkan mereka di halaman rumah Hajji Khaleel Al-Fiyaad.”

Aku tidak tahu mengapa aku tidak menangis pada saat berita itu sampai. Mungkin karena aku telah sangat letih menangisi Muheeb atau karena saat itu aku tersentak. Aku bertanya pada mereka: “Apakah mereka wafat dalam keadaan maju atau mundur di medan peperangan?”

Salah satu dari mereka menjawab:”Wallahi, mereka wafat saat maju dan mereka menerima pembalasan dendam atas mereka sebelum mereka wafat”.

Aku memuji pada Allah SWT dan kemudian aku mengatakan kepada mereka untuk memasuki rumah agar mengambil dua orang yang terluka dengan mereka. Ketika mereka memasukinya mereka menemukan satu dari mereka, yaitu yang arab sudah tidak bernyawa. Sedangkan yang lainnya masih hidup dan mereka membawanya. Mereka menguburkan yang wafat di kebun rumahku.

Mereka terkesan bahwa aku mampu menggali dua buah kuburan dalam satu jam. Aku mengatakan bahwa kuburan dibawah pohon zaitun itu milik anakku Muheeb dan yang lain, adalah seorang syuhada yang tidak aku kenali dan ia tidak di kuburkan dengan selayaknya. Sehingga aku meminta salah satu dari mereka untuk menguburkannya kembali dan membuatkan kuburan yang lebih layak.

Setelah selesai, mereka memohon kepadaku untuk ikut dengan mereka mencoba keluar meninggalkan Fallujah. Aku menolak. Salah satu dari mereka, tampaknya bukan orang Iraq berkata: “Oh Ibu engkau telah kehilangan tiga putera dan kami semua adalah anak-anakmu. Insha Allah Ahmad, Umar dan Muheeb berada di dalam Jannah”

Kemudian mereka pergi tergesa-gesa dan aku kembali kedalam rumah untuk sholat Dhuha. Tiga pertempuran kembali pecah dalam tiga malam berikutnya. Selama waktu itu aku mampu menarik empat syuhada lainnya dan menguburkan mereka di kebun rumahku. Hingga kini kebun rumah itu terdapat tujuh kuburan parasyuhada. Seluruh kebun dan rumah dipenuhi dengan aroma misk yang belum pernah aku cium sebelumnya. Aroma ini membuat aku merasa senang dan memberikanku kesabaran.

Aku tidur selama empat malam disamping makam Muheeb dan aku mendapatkan aroma itu di kuburannya. Aku tidur dengannya seperti ibu yang menimang anaknya ketika ia sedang tertidur. Aku tetap tertahan dirumah dengan para syuhada selama tujuh hari hingga tanggal 13 Januari 2005, ketika bulan sabit merah masuk dari arah utara atas izin dari penjajah.

Mereka memaksaku untuk pergi dengan mereka ke sebuah kamp pengungsian di As-Saqlaawiya. Disana aku mengetahui bahwa setelah peperangan para pekerja sukarela dari Fallujah menggali kuburan Muheeb dan teman-temannya dan mengambil mereka untuk dikuburkan kembali dengan saudara-saudaranya di pekuburan khusus para syuhada.

Ini adalah kisahku dan aku berusaha menceritakannya meskipun sakit dan pedih. Pula, aku berharap bahwa aku memiliki tiga putra yang akan mati demi Allah meskipun betapa berat kesedihanku atas mereka. Sebagai ibumu adalah kebanggaan karena ia adalah ibu dari para syuhada.

Umm Asy-Syuhada mengakhiri ceritanya dengan beberapa bait syair badui yang mampu kami tulis. Dia berkata: “Syair untuk para ulama yang selalu memakai surban di kepala mereka. Untuk mereka aku mendedikasikan dua syair ini. Aku bertanya kepada mereka. Apa yang akan Anda katakan pada hari Anda berdiri di antara penuntut balas dan Maha Kuat?

Bunyi syair beliau seperti ini:



Kami berharap dengan anda dan berpikir anda akan menyelamatkan kami
Kami tidak berharap, anda berlalu mencampakkan kami setelah melihat penderitaan ini

Kami berharap dengan anda (….)
Oh ketidakadilan, harapan telah sirna dan pendusta telah muncul

Demi Allah, Anda telah mematahkan hati kami dan membuat kami berurai air mata. Wahai ibu para syuhada. Semoga Allah SWT menerima anak-anakmu sebagai syuhada dan mengumpulkan kamu dengan mereka di surga tertinggi, Al-Firdaus. Amin.

Semoga Allah merahmati anak-anakmu wahai ibu

Ummu Asy-Syuhada dan kenangannya tentang Falujjah.

Garis rapuh tergores dikeningnya
Hanya waktu berpihak
Jemari mulai kaku menuntut untuk hidup
Apa daya hanya sisa raja dinanti

Garis rapuh terlukis di dahinya
Sang tua berjalan tanpa tandu
Tiada naung peristirahatannya
Berlaku sehari setetes semadu

Garis tua itu Nampak hanyut
Kusut bertabur peluh
Setengah perjalanan penguasa pencari buntut
Acuh setengah hati

Garis tua itu berontak
Garis tua itu saksi tirani
Garis tua itu berteriak
Mencari upa terselip di ketiak-ketiak sumbi
Dawlah kini harapan
Penjajah asa bermuram kelam
Secercah suria kemenangan

Menutup lembaran Fallujah dalam temaram



Sumber Dari : http://www.arrahmah.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

::. Bakti Seorang Anak Kepada Ibunya Yang Memiliki Keterbelakangan Mental .::

Oleh : Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairy

Kebaktian Seorang Anak Kepada Ibunya (Ilustrasi)
Salah seorang dokter bercerita tentang kisah sangat menyentuh yang pernah dialaminya. Hingga aku tidak dapat menahan diri saat mendengarnya… Aku pun menangis karena tersentuh kisah tersebut…
Dokter itu memulai ceritanya dengan mengatakan :“Suatu hari, masuklah seorang wanita lanjut usia ke ruang praktek saya di sebuah Rumah Sakit.

Wanita itu ditemani seorang pemuda yang usianya sekitar 30 tahun. Saya perhatikan pemuda itu memberikan perhatian yang lebih kepada wanita tersebut dengan memegang tangannya, memperbaiki pakaiannya, dan memberikan makanan serta minuman padanya. Setelah saya menanyainya seputar masalah kesehatan dan memintanya untuk diperiksa, saya bertanya pada pemuda itu tentang kondisi akalnya, karena saya dapati bahwa perilaku dan jawaban wanita tersebut tidak sesuai dengan pertanyaan yang ku ajukan.

Pemuda itu menjawab :“Dia ibuku, dan memiliki keterbelakangan mental sejak aku lahir”. Keingintahuanku mendorongku untuk bertanya lagi : “Siapa yang merawatnya?”
Ia menjawab: “Aku”
Aku bertanya lagi : “Lalu siapa yang memandikan dan mencuci pakaiannya?”
Ia menjawab: “Aku suruh ia masuk ke kamar mandi dan membawakan baju untuknya serta menantinya hingga ia selesai. 
Aku yang melipat dan menyusun bajunya di lemari. 
Aku masukkan pakaiannya yang kotor ke dalam mesin cuci dan membelikannya pakaian yang dibutuhkannya”
Aku bertanya: “Mengapa engkau tidak mencarikan untuknya pembantu?”
Ia menjawab: “Karena ibuku tidak bisa melakukan apa-apa dan seperti anak kecil, aku khawatir pembantu tidak memperhatikannya dengan baik dan tidak dapat memahaminya, sementara aku sangat paham dengan ibuku”

Aku terperangah dengan jawabannya dan baktinya yang begitu besar..
Aku pun bertanya : “Apakah engkau sudah beristri?”
Ia menjawab: “Alhamdulillah,.. aku sudah beristri dan punya beberapa anak”
Aku berkomentar: “Kalau begitu berarti istrimu juga ikut merawat ibumu?”
Ia menjawab: “Istriku membantu semampunya, dia yang memasak dan menyuguhkannya kepada ibuku. Aku telah mendatangkan pembantu untuk istriku agar dapat membantu pekerjaannya. Akan tetapi aku berusaha selalu untuk makan bersama ibuku supaya dapat mengontrol kadar gulanya”
Aku Tanya : “Memangnya ibumu juga terkena penyakit Gula?”
Ia menjawab: “Ya, (tapi tetap saja) Alhamdulillah atas segalanya”

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya  kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sakali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkatan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (Q.S. Al Isra' : 23)

Aku semakin takjub dengan pemuda ini dan aku berusaha menahan air mataku…
Aku mencuri pandang pada kuku tangan wanita itu, dan aku dapati kukunya pendek dan bersih.
Aku bertanya lagi: “Siapa yang memotong kuku-kukunya?”
Ia menjawab: “Aku. Dokter, ibuku tidak dapat melakukan apa-apa”
Tiba-tiba sang ibu memandang putranya dan bertanya seperti anak kecil: “Kapan engkau akan membelikan untukku kentang?”
Ia menjawab: “Tenanglah ibu, sekarang kita akan pergi ke kedai”
Ibunya meloncat-loncat karena kegirangan dan berkata: “Sekarang…sekarang!”
Pemuda itu menoleh kepadaku dan berkata: “Demi Allah, kebahagiaanku melihat ibuku gembira lebih besar dari kebahagiaanku melihat anak-anakku gembira…”

Aku sangat tersentuh dengan kata-katanya…
dan aku pun pura-pura melihat ke lembaran data ibunya. Lalu aku bertanya lagi: “Apakah Anda punya saudara?”
Ia menjawab: “Aku putranya semata wayang, karena ayahku menceraikannya sebulan setelah pernikahan mereka”
Aku bertanya: “Jadi Anda dirawat ayah?”
Ia menjawab: “Tidak, tapi nenek yang merawatku dan ibuku. Nenek telah meninggal – semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmatinya – saat aku berusia 10 tahun”
Aku bertanya: “Apakah ibumu merawatmu saat Anda sakit, atau ingatkah Anda bahwa ibu pernah memperhatikan Anda? Atau dia ikut bahagia atas kebahagiaan Anda, atau sedih karena kesedihan Anda?”
Ia menjawab: “Dokter… Sejak aku lahir ibu tidak mengerti apa-apa…kasihan dia…dan aku sudah merawatnya sejak usiaku 10 tahun”. 

Aku pun menuliskan resep serta menjelaskannya. Ia memegang tangan ibunya dan berkata:
“Mari kita ke kedai..”
Ibunya menjawab: “Tidak, aku sekarang mau ke Makkah saja!”
Aku heran mendengar ucapan ibu tersebut. Maka aku bertanya padanya : “Mengapa ibu ingin pergi ke Makkah?”
Ibu itu menjawab dengan girang: “Agar aku bisa naik pesawat!”
Aku pun bertanya pada putranya : “Apakah Anda akan benar-benar membawanya ke Makkah?”
Ia menjawab: “Tentu… aku akan mengusahakan berangkat kesana akhir pekan ini”
Aku katakan pada pemuda itu: “Tidak ada kewajiban umrah bagi ibu Anda…lalu mengapa Anda membawanya ke Makkah?”
Ia menjawab: “Mungkin saja kebahagiaan yang ia rasakan saat aku membawanya ke Makkah akan membuat pahalaku lebih besar daripada aku pergi umrah tanpa membawanya”.

Lalu pemuda dan ibunya itu meninggalkan tempat praktekku. Aku pun segera meminta pada perawat agar keluar dari ruanganku dengan alasan aku ingin istirahat. Padahal sebenarnya aku tidak tahan lagi menahan tangis haru. Aku pun menangis sejadi-jadinya menumpahkan seluruh yang ada dalam hatiku… Aku berkata dalam diriku:

“Begitu berbaktinya pemuda itu, padahal ibunya tidak pernah menjadi ibu sepenuhnya… 
Ia hanya mengandung dan melahirkan pemuda itu…
Ibunya tidak pernah merawatnya…
Tidak pernah mendekap dan membelainya penuh kasih sayang…
Tidak pernah menyuapinya ketika masih kecil…
Tidak pernah begadang malam…
Tidak pernah mengajarinya…
Tidak pernah sedih karenanya…
Tidak pernah menangis untuknya…
Tidak pernah tertawa melihat kelucuannya…
Tidak pernah terganggu tidurnya disebabkan khawatir pada putranya…
Tidak pernah….dan tidak pernah…!

Walaupun demikian… pemuda itu berbakti sepenuhnya pada sang ibu”. Apakah kita akan berbakti pada ibu-ibu kita yang kondisinya sehat….seperti bakti pemuda itu pada ibunya yang memiliki keterbelakangan mental??





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS